Konten dari Pengguna

Sepak Bola Indonesia Tidak Baik-baik Saja

Wisnu Akbar Prabowo
Wisnu adalah seorang mahasiswa Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang yang tengah menempuh pendidikannya pada semester 4.
30 Maret 2023 6:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
Tulisan dari Wisnu Akbar Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sepak bola Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sepak bola Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketika berbicara soal sepak bola Indonesia, yang selalu terngiang di benak saya adalah salah satu lirik lagu dari band Netral berjudul Garuda di Dadaku. Garuda di dadaku, garuda kebanggaanku, ku yakin hari ini pasti menang.
ADVERTISEMENT
Lagu itu merupakan obat lara untuk menyembuhkan luka-luka yang terjadi di kancah perbolakakian di Nusantara. Akhir-akhir ini, saya sering menyaksikan berita sumbang perihal salah satu cabang olahraga paling digandrungi di dunia tersebut.
Oktober lalu, sebuah kerusuhan terjadi saat laga pertandingan antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Permasalahan yang terjadi pada saat itu dipicu konflik antar suporter dan tembakan gas air mata dari aparat keamanan, hingga akhirnya ratusan nyawa melayang begitu saja.
Hingga kini, pengusutan kasus tragedi Kanjuruhan terkesan seperti panggung sandiwara. Pemerintah seperti mengenakan topeng pantomim ketika mengusut peristiwa tersebut, alias tidak serius sama sekali.
Tangkapan layar video AFPTV yang diambil pada 1 Oktober 2022 ini menunjukkan gas air mata di tengah orang-orang berlarian di lapangan usai pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Foto: AFPTV
Majelis hakim memvonis bebas Mantan Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, yang memerintahkan penembakan gas air mata, yang digadang-gadang menjadi malaikat pencabut nyawa saat peristiwa berlangsung. Menurut hakim, asap gas air mata yang dilontarkan ke tengah lapangan dibelokkan angin ke arah penonton di tribun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, vonis ringan dan bebas untuk para terdakwa lainnya menunjukkan bahwa persidangan tragedi Kanjuruhan memang diniatkan untuk menyelamatkan diri dari sanksi Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), bukan untuk mencari keadilan bagi 135 korban yang kehilangan nyawanya.
Presiden Indonesia Joko Widodo pun sampai bertukar kata dengan Presiden FIFA Gianni Infantino melalui panggilan telepon untuk memastikan Indonesia lolos dari sanksi FIFA dan tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Penyelenggaraan Piala Dunia U-20 dinilai menjadi bunga sakura untuk persepakbolaan dalam negeri.
Dalam menyambut pesta kulit bundar kelas dunia itu, Indonesia menyiapkan venue pertandingan dengan memilih enam stadion sebagai lokasi untuk berlaga, yakni Jakarta, Bandung, Palembang, Solo, Surabaya, dan Gianyar.
Logo Piala Dunia U-20 2023. Foto: FIFA
Logo dan lagu resmi juga telah diciptakan guna memeriahkan gelaran yang satu ini. Sepertinya, Indonesia sudah benar-benar matang dan siap menampung pemain dari 24 negara.
ADVERTISEMENT
Namun, menyambut drawing Piala Dunia U-20 di Denpasar, Bali yang rencananya digelar pada 31 Maret 2023, sesuatu yang pahit datang seketika. Tak ada angin maupun hujan, Gubernur Bali memboikot kehadiran timnas Israel.
Setelahnya, satu persatu kelompok masyarakat mulai berani menyatakan penolakan. Bahkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga turut “menendang” timnas Israel dari Indonesia.
Lalu, pada Minggu (26/03/2023), PSSI merilis pembatalan drawing Piala Dunia U-20. Melalui anggota komite eksekutif PSSI Arya Sinulingga, pembatalan dilakukan oleh FIFA karena adanya penolakan dari Gubernur Bali terhadap timnas Israel.
Semuanya berlandaskan pada ideologi yang tercetus di Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Kelompok masyarakat itu berargumen, penjajah tanah suci Palestina itu harus didepak dari negeri tercinta.
ADVERTISEMENT
Mereka berpegang teguh pada ideologi dan berlapang dada atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya saja, tak banyak yang berpikir kalau dampaknya tidak seringan kapas. Perihal bola, gaduh terjadi di mana-mana. Konflik mulut dan jari-jemari tak pernah usai antara mereka yang pro bola dan anti-Israel. Dan anehnya, segala argumen berujung pada politik.
Politik lagi, lagi-lagi politik. Terkadang, sebuah pertanyaan muncul di hati nurani saya, sebenarnya siapa yang menjajah siapa? Masyarakat ramai-ramai mendukung mimpi anak Palestina, tetapi mengubur mimpi anak sendiri. Mereka berbicara kemanusiaan tanpa memikirkan masa depan anak bangsa Indonesia. Kita seperti dijajah oleh orang-orang kita sendiri.

Derita Bola Indonesia

Fans Sepak Bola (Ilustrasi) Foto: Reuters/Amr Abdallah Dalsh
Mulai dari tragedi Kanjuruhan yang diusut setengah hati, hingga pagelaran bola terbesar di dunia yang dianggap sebelah mata, saya kira pantas jika sepak bola Indonesia disebut sedang tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Jika melihat dari sisi kemanusiaan, tidak elok rasanya jika nyawa menjadi taruhan hanya karena satu hal ceroboh— menembak gas air mata ke kerumunan manusia yang terkurung dalam stadion. Sebab mau bagaimanapun alasannya, sepak bola hanyalah olahraga adu gol, bukan adu nyawa.
Terlebih, para terdakwa tidak divonis sebagaimana mestinya. Apakah kurungan tiga tahun bisa membayar 135 nyawa? Saya kira hukuman itu terlalu ringan untuk dosa kemanusiaan yang berat. Apalagi, ada beberapa terdakwa yang dibebaskan dari dakwaannya.
Kemudian, kolotnya pemikiran warga yang tidak bisa menerima kedatangan seorang penjajah negeri orang untuk bermain bal juga terlampau miris. Mereka beralasan, hal itu berguna untuk mewujudkan mimpi anak Palestina. Namun, tampaknya mereka lupa dengan mimpi anak bangsa Indonesia yang juga tak kalah besar.
ADVERTISEMENT
Tak sedikitpun menjadi masalah untuk kita membantu saudara yang ada di luar sana. Namun mau bagaimanapun juga, tak sekalipun dibenarkan jika harus mengorbankan identitas bangsa. Sebab, yang tinggal di tanah air adalah warganya sendiri, yang kena batunya ya masyarakatnya sendiri.
Ini dari sepak bola, larinya ke mana-mana. Dari nyawa seseorang hingga menanggung malu sedunia, apakah semua itu gara-gara bola? Jika dipikir lebih dalam, sepak bola hanyalah medianya saja. Baik buruknya perbolakakian Indonesia kembali pada pemikiran masyarakat dalam menyikapi desas-desus yang berkaitan dengan sepak kulit bundar.
Semoga dengan apa yang telah terjadi, masyarakat bisa berpikir lebih jernih mengenai masa depan anak bangsa. Olahraga ya olahraga, tidak perlu dicampur aduk dengan yang lain. Kalau dicampur ya begini, runyam jadinya.
ADVERTISEMENT
Kini, mimpi tinggallah mimpi. Sebuah kesempatan besar bagi Indonesia untuk unjuk gigi sebagai penyelenggara laga terbesar itu sekarang hangus tak bersisa. Kendati demikian, cita-cita yang sudah terkubur semoga masih bisa digali lagi.