Konten dari Pengguna

UU ITE, Senjata Pemusnah Kebebasan Berekspresi

Wisnu Akbar Prabowo
Wisnu adalah seorang mahasiswa Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang yang tengah menempuh pendidikannya pada semester 4.
6 Oktober 2021 13:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Akbar Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial. Pixabay/geralt.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial. Pixabay/geralt.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai kebebasan berekspresi tak akan lepas dari amanat Reformasi. Runtuhnya era orde baru merupakan titik balik yang krusial terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Turunnya Presiden Soeharto dari takhtanya menjadi angin segar di Indonesia dalam praktik kebebasan berekspresi dan berpendapat yang sebelumnya sempat dibatasi.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak setiap orang untuk mengemukakan pendapatnya dan mendengarkan pendapat orang lain. Dengan adanya kebebasan tersebut, masyarakat bisa bertukar pendapat satu sama lain tanpa adanya rasa takut akan ancaman-ancaman yang bisa saja terjadi.
Di Indonesia sendiri, kebebasan berekspresi dan berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat” serta Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia memperbolehkan kritik dan saran dari masyarakat untuk menciptakan lingkungan negara yang dinamis, transparan, responsif, dan bertanggung jawab. Selain itu, sebagai amanat Reformasi perlu adanya jalinan check and balance yang menjadi kewajiban setiap pihak untuk mengawasi satu sama lain, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara masyarakat dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Indonesia dalam Kancah Globalisasi
Di era yang serba digital ini, masyarakat dapat mengakses berbagai macam informasi yang tersebar di jagat maya. Menurut laporan yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite dan agensi pemasaran media sosial We Are Social bertajuk “Digital 2021”, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen atau sekitar 202,6 juta jiwa.
Masifnya populasi warga internet (warganet), terkhusus di Indonesia, tentu akan memberikan kemudahan bagi mereka untuk berinteraksi dan mengemukakan pendapat serta mempublikasikannya kepada khayalak luas. Dengan demikian, perputaran informasi akan terjadi dengan sangat cepat.
Hal tersebut perlu mendapat perhatian khusus, mengingat pelaksanaan demokrasi berbasis media digital dapat menjadi bumerang bagi masyarakatnya. Maraknya berita hoaks yang beredar dapat mengancam stabilitas negara, mulai dari rasisme hingga ujaran kebencian yang ditujukan kepada perseorangan.
ADVERTISEMENT
Melesetnya UU ITE dalam Pengawasan Digital
Pemerintah Indonesia tentunya sadar dan selalu membuka mata akan adanya bahaya dari penggunaan internet yang masif. Media massa, khususnya media sosial, perlu mendapat pengawasan lebih yang harus diatur melalui regulasi yang disahkan. Dengan alasan demikian, lahirlah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seperti yang kita kenal sekarang ini.
UU ITE dibentuk pada tahun 2008, bermula dari penelitian untuk menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE) oleh Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, dan Direktorat Jenderal Pos serta Telekomunikasi Perhubungan RI di tahun 1999.
Di tahun 2003, naskah tersebut digabung dengan naskah RUU IETE tahun 2000 yang diusung oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi FH UI bersama Departemen Perindustrian dan Perdagangan, hingga akhirnya terbentuklah satu rancangan undang-undang yang disebut RUU ITE.
ADVERTISEMENT
UU ITE mengusung pasal-pasal hukum dalam cakupan baru yang berkaitan dengan dunia digital dan elektronik, seperti asas kebebasan, mengakui dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah, mengakui tanda tangan elektronik, mengakui hak kekayaan intelektual di dunia digital, dan lain sebagainya.
Terbentuknya UU ITE tentu membawa harapan baru bagi pemerintah dalam mengatasi masalah di dunia digital. Dalam hal itu, UU ITE diharapkan dapat meregulasi tiga aspek yang mudah diterapkan oleh siapa pun. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:
Mengatur perkara e-commerce dan pasar digital;
Mengatur perkara akses ilegal seperti hacking, penyadapan, dan perusakan sistem; serta
Mengatur perkara tindak pidana teknologi informasi yang mencakup konten-konten bersifat ilegal, ucapan berbasis SARA, penipuan, hingga pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Namun, penegakan UU ITE pun kerap menjadi senjata makan tuan. Banyak pasal UU ITE yang dinilai sebagai pasal “karet” oleh masyarakat maupun pakar hukum. UU ITE yang sejatinya adalah pembawa kedamaian di dunia digital justru bertransformasi menjadi kurungan bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pemicunya tak lain adalah kemudahan yang ditawarkan UU ITE untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat melaporkan satu pihak sesuka hati dengan dalih pencemaran nama baik ataupun ujaran kebencian. Korban pun dapat berujung dibui atau didenda jika kalah dalam regulasi hukum.
Dilansir dari Amnesty International, sepanjang 2020, terdapat setidaknya 119 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE. Dari jumlah itu, sebanyak 156 orang menjadi korban yang 18 di antaranya adalah aktivis dan 4 lainnya adalah jurnalis. Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak dalam enam tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasusnya adalah kriminalisasi yang menimpa Prita Mulyasari. Pada 15 Agustus 2008, Prita mengirimkan pesan melalui surat elektronik (surel) berisi keluhan dirinya dan teman-temannya terkait pelayanan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Tangerang. Isi surel yang dikirimkan tersebut secara tak sengaja tersebar di dunia maya.
Mengetahui informasi tersebut, pihak RS Omni mengambil langkah hukum melalui Pengadilan Negeri Tangerang dengan menjerat Prita dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Prita pun mendapat ancaman kurungan selama enam tahun.
Kasus tersebut adalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di luar sana. Memburuknya kebebasan berekspresi ini tentu akan mengancam kebebasan pers, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul, kebebasan berbicara, hak privasi, bahkan hak hidup seseorang.
ADVERTISEMENT
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat bahwa UU ITE dalam praktiknya digunakan untuk membungkam suara-suara yang tak sejalan, termasuk kritikan terhadap pemerintah. Abdul menyarankan Pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 dicabut agar masyarakat tidak saling melaporkan akibat definisi tindak pidana yang tertuang di dalamnya sangat longgar.
Mengingat kerap terjadi kekeliruan dalam pendefinisiannya, perlu adanya pembuatan pedoman interpretasi pasal-pasal UU ITE sebagai solusi sebagai permasalahan ini. Dalam pedoman itu akan tertuang dengan spesifik maksud dari pasal-pasal UU ITE agar tidak terjadi kesalahpahaman dan menghindari kriminalisasi atas dasar ketidaksukaan.
Epilog
Kebebasan berekspresi dan berpendapat pada dasarnya merupakan hak bagi setiap manusia. Jika kebebasan tersebut terus dikekang, maka nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan semasa reformasi hanyalah isapan jempol belaka.
ADVERTISEMENT
UU ITE yang awalnya bertujuan sebagai pengawas dunia digital menjadi pembasmi opini rakyat melalui pasal-pasal karetnya, terutama Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 yang rawan disalahartikan dan justru dijadikan senjata oleh pihak-pihak yang merasa tersinggung atau tidak menyukai perkataan seseorang.
Ke depannya diharapkan dapat tercipta dunia digital yang aman dan nyaman bagi masyarakat serta memberikan dampak positif bagi pemerintah. Konstitusi negara yang demokratis harus dijunjung dengan pelaksanaan demokrasi yang bebas dan terbuka, namun tetap dalam pengawasan regulasi yang tepat.