Menyapa Alam, Menyepi Sejenak dari Riuhnya Kota

Dee Rose
Seorang Dee yang bersyukur atas hidup dan segala pernak perniknya. Positif dan Bahagia serta terus belajar untuk dapat peka melihat Rahmat DIA Sang Pemberi Hidup dalam segala
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2019 22:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dee Rose tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan Kota Sentani dari Tugu McArthur Ifar Gunung, Jayapura, Papua. Dok: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Kota Sentani dari Tugu McArthur Ifar Gunung, Jayapura, Papua. Dok: Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang... Itulah salah satu cuplikan lagu Ebiet G Ade. Sang penyanyi melihat alam diciptakan untuk kita manusia. Sehingga ketika terjadi sesuatu pada alam, misalnya ada bencana dan kita bingung dibuatnya, maka baiknya kita bertanya pada sang alam itu sendiri, yang dalam hal ini diwakili oleh rumput yang bergoyang. Itulah kiasan harmoni hidup antara manusia dengan alam.
ADVERTISEMENT
Sebagai pribadi yang dianugerahi kesempatan untuk berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia dan luar negeri dalam rangka tugas mau pun berlibur, saya dapat melihat keindahan alam ciptaan Sang Kuasa. Kebiasaan saya ketika tiba di tempat yang baru yaitu memandang, ya, memandang keindahan alam. Lalu dilanjutkan dengan melepas alas kaki untuk berharmoni, bersatu dengan alam.
Pemandangan alam diluar Kota Dili, Timor Leste. Dok: Pribadi.
Di saat kaki menyentuh bumi yang saya rasakan melalui sentuhan telapak kaki dengan tanah atau pasir dan rerumputan di sana ada rasa sejuk, hangat dan damai. Saya merasakan harmoni yang luar biasa. Selama ini saya lebih banyak bekerja di dalam gedung. Mau tidak mau saya memisahkan diri dengan sang alam. Karena begitu seringnya di dalam kantor, ketika melihat rumput atau tanah terkadang saya berpikir “mungkin rumput atau tanah itu sudah terlalu banyak terpapar polusi".
ADVERTISEMENT
Saya ingin mengenang kembali sekaligus membagikan pengalaman saat-saat indah bersatu dengan alam. “Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.” Itu satu lagi cuplikan lagu dari penyanyi yang sama. Untuk bersatu dengan alam, ternyata ada satu syaratnya yaitu saya harus berani melepas keegoan saya agar dapat melihat dan merasakan keindahan alam.
Ketika berdiri tanpa ego di tepi hutan, melihat pemandangan alam secara menyeluruh, bagaikan seorang anak kecil yang polos dan mudah terkesima dengan hal sederhana. Saya mulai memperhatikan detailnya satu persatu, daun-daun bagaikan tangan dengan jari-jemarinya yang lentik sedang menari-nari. Bunga-bunga yang mekar mewangi bagaikan bibir merah delima yang melemparkan senyum manisnya kepada saya. Indah, indah sekali.
Tiupan angin sepoi-sepoi bagaikan paduan suara yang sedang melantunkan lagu surgawi. Merdu di telinga dan terasa damai di hati. Membuat diri ini ingin bersandar dan terlena bahkan sampai tertidur saking damai dengan aliran energi positif di pangkuan sang Ibu Bumi.
ADVERTISEMENT
Buah yang didapat, saya menjadi lebih merasakan kesegaran pikiran dan sehatnya badan. Alam memberikan energi positif dan berguna yang saya perlukan dalam hidup dan hiruk pikuknya. Itu terjadi karena Bumi terlebih dahulu menyerap energi negatif dari dalam diri saya saat bersentuhan langsung dengannya.
Tak heranlah jika Khalil Gibran, seorang penyair, penulis, ilustrator, penulis berkebangsaan Lebanon yang hidup antara tahun 1883-1931 menuliskan “Forget not the earth delights to feel your bare feet and the winds long to play with your hair”. Dia meyakini dan merasakan Ibu Bumi bahagia dapat menyentuh kaki-kaki telanjang kita serta rindu untuk memainkan rambut kita bagaikan memetik senar harpa yang halus lembut. Alam menghendaki saya dan kamu, manusia, kembali bersatu dengannya.
Dok: Pixabay
Melihat dan mengamati beberapa tahun penduduk yang tinggal di desa, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa mereka memang tidak mempunyai harta berupa materi tetapi mereka mempunyai harta yang tak bisa dirampas, yaitu rasa bahagia.
ADVERTISEMENT
Ini terjadi karena mereka setiap hari selalu diberi kekuatan positif oleh sang alam. Tanpa alas kaki, mereka menjalani hidup keseharian. Kulit mereka selalu bersentuhan dengan tanah, kerikil, air, dan rerumputan. Bebatuan dan kerikil-kerikil setiap hari memijit titik-titik kesehatan di telapak kaki mereka. Embun pagi tanpa polusi menyegarkan wajah mereka dan menyehatkan, menguatkan paru-paru mereka, rerumputan dan dedaunan hijau menyejukkan, mencerahkan mata mereka.
Keindahan ini tak akan pernah dialami kita yang tinggal di kota. Semua tanah sudah tertutup semen dan aspal. Tubuh kita pun tertutup rapat-rapat. Kaki, kita balut dengan kaos kaki dan sepatu. Badan, kita pakaikan baju yang kadang berlapis-lapis, kepala kita dengan topi.
Kita sendiri yang memisahkan diri dari sumber energi positif, yang menjaga kesehatan dan kebahagiaan. Belum lagi kita bekerja di gedung pencakar langit, gedung bertingkat yang semakin jauh dari Ibu Bumi. Akibatnya fatal, kita menjadi tidak peduli pada kelestarian alam, bahkan tanpa merasa bersalah tega merusaknya.
ADVERTISEMENT
Mengalami betapa ramah dan rindunya alam pada kita, sudah tiba saatnya kita sadar. Hidup sehat dan kebahagiaan kita tidak bisa dipisahkan dari peran sang alam. Karena dia adalah Ibu Bumi yang ingin merawat, menjaga kita setiap saat. Jika kita sering vertigo, stres, depresi, marah-marah itu adalah tanda-tanda awal yang diberikan tubuh kita agar kita mau kembali bersatu dengan alam.
Tak salah bila saya mengutip satu bait lagu sabda alam oleh Chrisye:
Serasa pagi tersenyum mesra
Bertiup bayu membangkit sukma
Adakah esok kau senyum jua
Memberi hangatnya sejuta rasa
Sunset di Pantai Dili, Timor-Leste. Dok: Pribadi
Selamat mencoba dan menikmati bersatu dengan alam, lakukan dengan sederhana. Sempatkan waktu ke taman sekitar kota, sentuhlah rumput tanpa alas kaki, belailah dedaunan dan rasakan aliran energi positif, bonus badan segar dan jiwa bahagia.
ADVERTISEMENT