Menutup 2020 dengan Pameran Lukis Eternal, Karena Yang Fana Adalah Waktu?

Wahyu Ari Wicaksono
Newsteller and writerpreneur.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 8:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Ari Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Puisi berjudul "Yang Fana Adalah Waktu" dari buku kumpulan sajak berajuk "Perahu Kertas" karya almarhum Sapardi Djoko Damono tahun 1982, boleh jadi bisa mewakili filosofi dari penyelenggaraan pameran lukisan ini.
Waktu memanglah tidak kekal. Karena itulah tahun 2020 ini akan segera berakhir. Tentu saja kita akan kekal. Entah di dunia fana maupun di dunia yang baka nantinya.
Karena itu sangatlah tepat jika tiga orang pelukis dari Kota Bandung, Andi Sopiandi, Supriatna dan Tondi Hasibuan memilih untuk menutup tahun 2020 ini dengan pameran koaborasi yang diberi tajuk "Eternal"
Suasana pembukaan pameran lukis bertajuk "Eternal" di Balai Budaya Jakarta (20/12/2020) - sumber foto: seni dotcoid.
Akhirnya terselenggaralah Pameran Lukisan "Eternal" ini yang digelar di “Balai Budaya Jakarta” Jalan Gereja Theresia no.47 Menteng-Jakarta mulai 20-30 Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Mengantisipasi masih adanya pandemi Covid-19 yang tak kunjung bisa tertangani pemerintahan Jokowi, maka dengan tetap mengadaptasi prokes secara ketat sesuai arahan tim gugas Covid-19, seremoni pameran ini dibuka oleh kesultanan yang tergabung dalam keraton Nusantara pada 20 Desember 2020 sore.
Lukisan-lukisan yang dipamerkan dengan konsep kreatif yang berbeda-beda - Sumber Foto: seni dotcoid.
Dalam perbedaan kreatifitas yang dimiliki, ketiga seniman ini mampu menampilkan keunikan dan keunggulan masing-masing yang mempesona. Andi yang notabene merupakan seorang seniman otodidak, melukis dengan penuh ketelatenan hingga menghasilkan karya yang mampu membawa kita menyelami palung lautan naturalis hingga dasar.
Jika dinikmati, gaya ungkap visual Andi mengingatkan kita pada pelukis Wahdi Sumanta, pelukis naturalius dari kelompok Lima (Affandi, Hendra, Barli, Wahdi dan Sudarso). Mungkin dipengaruhi oleh hobi mendaki gunung yang disukainya, kara lukisan Andi terasa seakan menorehkan kesan alami yang kuat dan kental daya pikat.
ADVERTISEMENT
“Lukisan Andi banyak merekam keindahan alam/ lanskap dengan rasa warna- warna yang segar, sebagai endapan alam bawah sadarnya yang menyimpan kenangan sebagai seorang pecinta alam. Bahasa rupa pada karya-karyanya yang mengambil tema lanskap, dikerjakan dengan teknik yang sangat halus dengan dominasi warna-warna teduh hijau/ biru, sedikit transparan mengingatkan akan kerja pelukis Wahdi dengan lanskap-lanskapnya dengan teknis yang lebih transparan lagi,” komentar Aisul Yanto dalam paparan pembukaannya.
Sementara itu, pelukis lainnya, Supriatna lebih suka mengolah sosok perempuan. Sosok yang diakuinya dekat dengan dirinya. Hanya saja, sosok perempuan ini ia garap dalam bingkai kehidupan tentang seorang penari. Karakter-karakter penari yang diolahnya dari kisah Nyi Ronggeng.
Tak perlu mencari jauh-jauh, Supri mengolah jiwa karya yang dekat dengan dirinya. Dimana keberadaannya di lingkungan ISBI, setiap hari memberinya peluang untuk selalu bersentuhan dengan jiwa-jiwa para penari yang ada disekitarnya.
ADVERTISEMENT
Selain mengaku bahwa dirinya sering sekali melihat para penari berlatih maupun melakukan pementasan, Supri juga bersyukur memiliki orang dekat, sosok perempuan yang juga menginspirasinya yaitu ibu dan istrinya.
“Rasa artistiknya tak lepas dari rasa artistik almamaternya, artinya ada pengaruh dari para maestro dan profesor yang ada institusi dimana ia menimba ilmu seni rupa. Ia telah menemukan jalurnya sendiri dalam berkesenian dan menemukan kepribadianya. Bagi dirinya sosok perempuan adalah sesuatu yang tidak saja indah tetapi juga memiliki nilai yang sakral sebagai bentuk keterhubungan dengan keIlahian,” komentar Aisul Yanto yang ditulisnya sebagai pengantar pameran.
Seniman ketiga,Tondi Hasibuan juga menawarkan konsep kreaif yang berbeda. Karya-karyanya, mengusung pesan yang mendalam dari lingkaran keraton. Ia mengangkat kisah peristiwa, stori dan histori, yang didapatnya baik yang ada di negeri ini maupun yang ada di berbagai negeri lain.
ADVERTISEMENT
Memang, Tondi mendapatkan latar pendidikan seni di Australia dan Inggris. Latar belakang inilah yang menjadi salah satu pendorong bahasa rupa yang ia tampilkan, sehingga dekat dengan pengaruh dari berbagai pencapaian yang ada di khasanah seni rupa modern di belahan dunia barat. Salah satunya oleh para tokoh Cubism.
Persiapan pameran lukis "Eternal", tiga pelukis berkolaborasi dalam satu kanvas - Sumber Foto: seni dotcoid.
Meski begitu,karya Tondi tetap berasa sangat Asia, alias sangat Nusantara.
“Lihat salah satu karyanya yang mengambil tema tentang sejarah Raja Brawijaya beserta penasehatnya, sang Semar yang sebenarnya adalah pelukisan dari situasi dan kondisi yang ada. Warnanya berasa warna tropis dengan warna merah, kuning, jingga, coklat tanah menyimbolkan sebuah kehangatan, bahasa rupa yang ia tampilkan di dalam nafas kubis,” papar kurator pameran Aisul Yanto yang juga dituliskannya dalam pengantar pameran lukisan.
ADVERTISEMENT
Penggambaran deformasi wajah, tubuh dan anggota tubuh di setiap karya lukisannya, saling berkelindan mencipta kedalaman ruang. Juga tergambar penyederhanaan/stilisasi dari bentuk daun.
Dipenuhi dengan warna-warni perbedaan konsep kreatif dan jam terbang masing-masing seniman yang berpameran, Pameran Lukisan Eternal ini menjadi salah satu pameran akhir tahun 2020 Indonesia, sekaligus juga menutup peristiwa penting budaya di Balai Budaya Jakarta dalam dunia seni rupa Indonesia.
Tak heran jika pameran ini mampu menjadi magnet bagi sejumlah seniman seperti Taufan S Chandranegara (perupa dan creative director Panggung), Ray Bachtiar (Fotografer) dan juga para tokon dari kesultanan Cirebon, Aceh dan Riau, dan lain lainnya yang terlihat asik mengapresiasi karya-karya ketiganya yang dipajang. Selamat tinggal tahun 2020 yang penuh tantangan, selamat menyambut ahun 2021 dengan penuh harapan. Tabik.
ADVERTISEMENT