Konten dari Pengguna

Menggali Potensi : Kebijakan Baru Ekspor Pasir Laut di Indonesia

Wafi Atqiya' Fikan
Mahasiswa UIN SUNAN AMPEL Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum Prodi Perbandingan Madzhab
15 Oktober 2024 11:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wafi Atqiya' Fikan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penambangan ekspor pasir laut. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
zoom-in-whitePerbesar
Penambangan ekspor pasir laut. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
ADVERTISEMENT
Di penghujung akhir masa jabatan, presiden joko widodo beliau mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yang cenderung berdampak negatif dan merugikan masyarakat dan kebijakan tersebut juga menuai kritik pedas dari berbagai kalangan. Kebijakan tersebut terkait dengan izin ekspor pasir laut. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut itu menjadi titik awal adanya pro dan kontra terkait kebijakan ekspor pasir laut yang mana kebijakan tersebut direalisasikan pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Dibukanya kembali izin ekspor pasir laut setelah 20 tahun ditutup ini mungkin menjadi salah satu pengkhianatan terbesar rezim jokowi terhadap bangsa dan negara karena sebenarnya konstitusi telah mengatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Dan mirisnya mungkin pemerintah menganggap bahwa yang dimaksud dengan kemakmuran rakyat itu bukan rakyat indonesia, melainkan rakyat singapura yang telah melakukan reklamasi hasil dari ekspor pasir laut indonesia.
Penolakan keras pun muncul dari mantan menteri kelautan dan perikanan, Susi pudjiastuti. Di akun X pribadinya beliau mengatakan semoga keputusan kebijakan bisa dibatalkan karna kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Dan janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut. Disisi lain juga kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan pada masa pemerintahan presiden megawati sebelumnya yaitu kebijakan melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
ADVERTISEMENT
Pada Selasa 17/09/2024 joko widodo meminta untuk semua pihak agar tidak salah memahami isu terkait kebijakan pembukaan ekspor laut, sebagaimana joko widodo menyebutkan tujuan dibukanya ekspor laut ini untuk membersihkan jalur pelayaran dari sedimen yang menumpuk. Menurutnya itu adalah ekspor sedimentasi yang mengganggu jalur pelayaran kapal.
"Sekali lagi, itu bukan pasir laut, ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen. Yang mengganggu alur jalannya kapal,” katanya dikutip dari Kompas.com
Bagi joko widodo sedimen dan pasir laut adalah dua hal berbeda, meskipun wujudnya sama seperti pasir tapi sedimen tidak bisa disebut sebagai pasir laut.
“Sekali lagi bukan (pasir laut). Kalau diterjemahkan pasir beda lho, ya. Sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir, tapi sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, sedimen memang material yang mengendap di dasar laut, tetapi secara umum, yang diekspor adalah pasir laut. Memang mungkin sepertinya joko widodo tidak membaca regulasi yang ia tanda tangani terkait hasil sedimemtasi itu sendiri padahal hasil dari sedimentasi itu salah satunya adalah pasir laut, jangan sampai joko widodo memang benar benar tidak membaca regulasi yang ia tanda tangani sendiri.
Menurut data pada Koran Tempo tahun 1976, perairan pasir laut karimun dan batam, kepulauan Riau pasir lautnya terkikis secara ugal ugalan untuk dijadikan reklamasi di negara singapura. Tentu terjadinya reklamasi di negara singapura itu hasil pengerukan secara ugal ugalan dan material yang dijadikan reklamasi di negara singapura itu kebanyakan hasil pasir laut yang dikeruk dari kedalaman kurang lebih 10-30 meter di permukaan dasar laut dan bukan lumpur hasil sedimentasi. Berkat pasir yang dikeruk secara ugal ugalan ini luas negara singapura bertambah 25 persen yang awalnya 580 kilometer persegi pada 1960 menjadi 660 km persegi pada 1999.
ADVERTISEMENT
Yang paling terkena dampak negatif dari kebijakan ekspor pasir laut ini tidak lain dan tidak bukan adalah para nelayan dan juga masyarakat pesisir. Ini dapat mengganggu kesejahteraan para masyarakat yang hidupnya berada di pinggir laut, sedangkan nelayan di daerah pesisir ini sangat bergantung pada keseimbangan laut yang memang laut adalah sebagai mata pencahariannya.
Dari lain sisi juga muncul pernyataan dari Afdillah selaku juru kampanye Laut Greenpeace beliau mengatakan bahwa kebijakan ekspor laut ini dapat mengancam kehiudpan nelayan dan Masyarakat pesisir. Dengan demikian Greenpeace menolak keras adanya kebijakan dibukanya kembali ekspor laut ini. Kebijakan ini sangat ditentang dari berbagai pihak sehingga banyak yang mengatakan bahwa rezim Jokowi ini sama sekali tidak menerima kritikan yang muncul dari publik.
ADVERTISEMENT
Sangat memilukan sekali bukan ? negara Indonesia yang disebut sebagai negara maritim yang memiliki segala kekayaan lautnya, malah mendapatkan efek yang sangat tidak menguntungkan bagi para nelayan dan Masyarakat pesisir hanya karena kebijakan ekspor laut yang dibuka Kembali oleh pemerintahan Jokowi yang mana justru merusak sumber pemasukan mereka.
Terjadinya kerusakan ekosistem laut karena akibat dari penambangan pasir, tentu kerusakan ekosistem laut ini akan menyebar luas di wilayah sekitar tambang. Yang mengakibatkan penurunan populasi ikan yang menyebabkan industri perikanan local terancam. Jika dibiarkan itu akan menyebabkan konflik antara Masyarakat karena dampak dari pertambangan pasir ini. Di sisi lain, nelayan juga akan melaut semakin jauh ke Tengah laut dan lebih dalam lagi yang mana ini akan beresiko menyebabkan kecelakaan pada nelayan, selain itu juga para nelayan mungkin akan mengeluarkan banyak biaya operasional. Karena dulu area penangkapan ikan yang awalnya dekat kini menjadi jauh bahkan sulit untuk di jangkau. Dengan itu penambangan pasir laut ini bisa merusak wilayah area penangkapan ikan dan juga menurunkan produktivitas yang menyebabkan kelangkaan jangka Panjang terkait pangan.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata ekonomi, kalaupun kebijakan ekspor laut ini dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara, hal ini mungkin rasanya kurang tepat. Karena selama ini Menteri keuangan menyatakan bahwa penghasilan negara dari ekspor laut ini sangat kecil. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk ekspor laut ini jauh lebih mahal. Dengan ini kebijakan ekspor laut yang tidak seimbang dengan pendapatan yang masuk ke negara ini harus dipertimbangkan lagi, bahkan tidak layak diteruskan.
Selain itu, Daniel johan menyebutkan adanya pengambilan pasir laut ini juga dapat menyebabkan penurunan populasi spesies, yang mana jika penggalian tersebut dilakukan di area populasi spesies ini maka akan mengancam spesies yang tinggal di area tersebut. Dan juga puncak dari semua dampak buruk kebijakan ekspor pasir laut ini adalah menghilangnya pulau-pulau kecil yang sudah terjadi pada waktu waktu yang sudah berlalu, dan kejadian terjadi ketika bellum adanya kebijakan ekspor pasir laut ini. Terjadinya pelarangan kebijakan ekspor pasir laut ini dimulai sejak kepemimpinan megawati Soekarno sebagai presiden dan berlanjut ke kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 sampai 2014, yang mana kebijakan ini dapat menguntungkan pihak negara lain sehingga negara Indonesia sendiri mendapatkan kerugian dari kebijakan ekspor pasir laut ini.
ADVERTISEMENT