Perlunya Menggalakkan Cerita Rakyat kepada Anak

Wahda Nur Lestari
Bachelor degree of Indonesia Literature at Universitas Jenderal Soedirman
Konten dari Pengguna
12 April 2022 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahda Nur Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang ibu membacakan dongeng untuk kedua anaknya. (Sumber: Pexels/Alex Green)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang ibu membacakan dongeng untuk kedua anaknya. (Sumber: Pexels/Alex Green)
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang kaya budaya dan memiliki banyak cerita rakyat dari berbagai daerah. Di dalamnya, cerita rakyat memuat nilai-nilai dan gambaran kehidupan suatu kelompok masyarakat. Nurgiyantoro (2020, dalam Kurniawan dan Asman, 2019), mengemukakan bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari masyarakat yang berkembang secara turun-temurun dari masyarakat zaman dahulu sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, cerita rakyat merupakan harta warisan yang di dalamnya memuat nilai-nilai moral dari sekelompok masyarakat tertentu yang diturunkan secara turun-temurun. Pada mulanya, cerita rakyat dikisahkan secara lisan dari orang tua ke anak-anaknya. Lalu saat manusia telah mengenal tulisan, cerita rakyat mulai ditulis dan dibukukan. Kini, saat era informasi makin berkembang, manusia mengembangkannya lagi dalam bentuk audiovisual.
Namun sayangnya, di saat kehidupan makin diliputi kemudahan ini, cerita-cerita rakyat justru mulai memudar eksistensinya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.
Kini, Jarang Ada Orang Tua yang Mendongeng untuk Anak
Jika pada zaman dahulu, ketika zaman belum segemerlap sekarang, para orang tua, khususnya kakek nenek kita, masih kerap menceritakan berbagai dongeng dan petuah-petuah lama. Namun, realitasnya, hal itu cukup sulit ditemukan sekarang. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, seperti kesibukan orang tua sehingga tidak memiliki waktu untuk mendongeng, anak yang tertidur sebelum cerita selesai dibacakan, hingga ketidakmahiran orang tua dalam mendongeng.
ADVERTISEMENT
Anak-Anak Indonesia Telah Lama Kehilangan Tayangan Sarat Kearifan Lokal di Televisi, Si Media Terstrategis dalam Memengaruhi Perkembangan Karakter Anak
Bagi Anda yang lahir pada tahun akhir tahun 1990–2000-an, semasa kecil pasti pernah menonton sinetron Legenda (2006–2008) di televisi, bukan? Pada tahun-tahun tersebut juga banyak film kolosal tentang tokoh-tokoh legendaris dari masa kerajaan Indonesia. Bisa dibilang, anak-anak yang lahir pada tahun-tahun tersebut sungguh beruntung karena bisa menikmati cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah di Nusantara setiap malam sambil bersantai ria dengan ayah bunda.
Namun, jika kita menilik dengan apa yang terjadi sekarang, realitasnya sungguh miris. Tayangan televisi lokal Indonesia kini lebih diwarnai dengan drama untuk orang dewasa. Kisah tentang perceraian, perselingkuhan, kekerasan, perilaku konsumtif, hingga reality show yang settingan, mewarnai layar kaca kita dari pagi hingga pagi kembali. Sementara kisah-kisah yang sarat akan nilai moral dan kearifan lokal telah hilang. Lenyap, seakan tak lagi sesuai dengan zaman sekarang. Akibatnya, anak-anak terpengaruh alur cerita sinetron yang sangat tidak sesuai untuk perkembangan karakter mereka.
ADVERTISEMENT
Di Tengah Teknologi yang Berkembang, Kini Banyak Anak yang Kecanduan Bermain Game
Ilustasi anak-anak bermain ponsel. (Sumber: Pexels/Jessica Lewis Creative)
Selain memudarnya media yang memperkenalkan cerita rakyat kepada anak, perkembangan arus globalisasi yang makin masif juga membuat mudahnya akses budaya luar ke Indonesia. Hal ini membuat cerita-cerita rakyat khas Indonesia menjadi tergeser dan mulai terlupakan.
Belum lagi perkembangan teknologi yang makin canggih, yang pada satu sisi sangat membantu kita dalam aktivitas sehari-hari, tetapi pada sisi yang lain juga mengkhawatirkan karena banyak anak-anak yang kecanduan gadget untuk bermain game online alih-alih belajar atau bermain bersama teman-temannya.
Berdasarkan data dari CNN (2/10/2021), dari penelitian pada bulan Mei–Juni 2020, terdapat sekitar 19,3% anak-anak kecanduan game selama pandemi. Itu adalah data penelitian dua tahun lalu saat awal pandemi menggerebek Indonesia. Kini, sudah dua tahun lamanya anak-anak belajar secara mandiri di rumah, bisa Anda bayangkan seberapa besar persentase pemakaian gadget anak-anak sekarang?
ADVERTISEMENT
Adanya Pandemi Membuat Pengenalan Cerita Rakyat Oleh Guru Menjadi Terhambat
Selain orang tua, guru sebagai pendidik juga memiliki peran yang cukup penting dalam mengenalkan cerita rakyat pada anak-anak. Namun, sayangnya, adanya pandemi Covid-19 di Indonesia sejak Mei 2020, membuat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara mandiri di rumah. Nyatanya, hal ini memiliki banyak hambatan dan tantangan. Selain terbatasnya media belajar mengajar, proses interaksi antara guru dengan siswa juga berkurang. Jangankan adanya internalisasi karakter siswa melalui cerita rakyat, terjadinya proses belajar mengajar secara maksimal juga masih sulit dilakukan.
Dari berbagai permasalahan di atas, menggalakkan kembali cerita rakyat pada anak-anak adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Zaman memang harus terus berkembang, akan tetapi cerita rakyat tidak boleh tenggelam. Justru karena perkembangan zaman yang makin masif inilah, sebagai bangsa yang kaya budaya dan kearifan lokal, kita harus bisa mempertahankannya agar warisan tersebut dapat tetap dinikmati oleh anak cucu kita di masa depan.
ADVERTISEMENT
Untuk merealisasikannya, diperlukan dorongan dan kerja sama dari berbagai pihak. Tidak hanya dari orang tua, generasi muda, guru, para pemangku kepentingan, hingga pemerintah juga perlu mendukung secara nyata. Selain itu, diperlukan inovasi-inovasi baru yang sesuai dengan perkembangan zaman agar cerita rakyat dapat terus terjaga eksistensinya.
Sumber:
CNN. (2 Oktober 2021). Survei: 19,3 Persen Anak Indonesia Kecanduan Internet.
Kurniawan, S. A. & Asman. (2019). Cerita rakyat sebagai fragmentasi sastra anak dan kesesuaiannya dengan perkembangan anak. Dalam Prosiding SENASBASA, 3(2), 914–925.