Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Benarkah Putin Belajar dari Soeharto?
22 Maret 2024 13:43 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Wahid Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemenangan telak Vladimir Putin dalam Pemilu yang diselenggarakan tanggal 15-17 Maret sudah diprediksi, namun bahwa angkanya mencapai 87,33% di luar perkiraan banyak pihak. Memang dalam survei terakhir (awal 2023) yang dilakukan oleh Levada Center, approval rating Putin naik pesat dari 71% sebelum terjadinya perang Rusia-Ukraina menjadi 85% pada awal tahun 2023. Levada Center adalah Lembaga survei independen yang dibiayai oleh Pemerintah Amerika Serikat dan menjadi rujukan para diplomat di Moskow dan juga para pengamat.
ADVERTISEMENT
Peringkat kedua cukup jauh yaitu Nikolay Kharitonov dari Partai Komunis, disusul Vladisav Davankov dari New People 3,84% dan Leonid Slutsky dari Partai Liberal Demokratik 3,3%. Tingkat partisipasi kali ini 73,3% dari sekitar 114 juta pemilih, lebih tinggi dibanding dalam Pemilu 2018 sebesar 67,5%. Angka kemenangan Putin juga lebih tinggi dibanding Pemilu 2018 sebesar 77,5%.
Kemenangan ini menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap Putin semakin meningkat, terlepas adanya dugaan kecurangan Pemilu sebagaimana dituduhkan oleh Barat. Kalau dilihat dari hasil survei, kenyataannya approval rating Putin tertinggi sejak 8 tahun terkahir, dan hanya kalah dari tahun 2014 ketika Rusia menyerang Semenanjung Crimea.
Ketika itu approval rating Putin mencapai 86%. Ada korelasi di antar keduanya. Masyarakat Rusia sejak awal sudah dididik dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Rusia pernah hampir jatuh ke tangan Napoleon dalam Perang Dunia I dan Hitler pada Perang Dunia II. Dalam saat kritis, ketika musuh sudah mengepung Moskow, masyarakat bangkit bersatu dan berhasil mengusir kedua diktator tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga terjadi ketika Rusia berhasil mengusir penjajah Mongolia pada 1480. Masyarakat Rusia bangga setelah untuk pertama kalinya tentara Rusia memukul mundur tentara Mongol (The Golden Horde) tahun 1380 dalam pertempuran sengit yang dikenal sebagai Battle of Kulikovo dekat sungai Don. Sebagaimana diketahui, Rusia pernah dijajah bangsa Mongol sekitar 240 tahun.
Praktis dalam pemilu kali ini Putin tidak mendapat lawan yang berarti. Ketiga penantangnya itu bahkan dikenal memiliki hubungan yang baik dengan Putin. Satu-satunya penantang terkuatnya adalah Alexey Navalny meninggal di salah satu penjara paling keras di daerah Arctik, dekat kutub utara. Sekembalinya dari Jerman untuk berobat akibat diracun, Navalny ditangkap Januari 2021 atas tuduhan melanggar ketentuan pembebasan bersarat dan dihukum selama 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya siapa Alexey Navalny yang dipuja-puja Barat? Sebagaimana ditulis oleh Matthew Puddister di media online Medium tanggal 22 Pebruari 2024, Navalny awalnya adalah seorang aktivis ultra-right nationalist yang anti imigran dan rasis. Bahkan dia menyebut orang Islam sebagai “lalat dan kecoa” dan mengusulkan agara negara-negara bagian yang berpenduduk mayoritas Muslim dipotong anggarannya. Tahun 2007 dia dipecat sebagai anggota Partai Yabloko, sebuah partai berhaluan liberal tertua di Rusia, karena ikut terlibat dalam demonstrasi yang diikuti kaum ekstrim kanan dengan slogan “Russia for ethnic Russians”.
Memang kemudian Navalny akhirnya mendirikan Anti-Corruption Foundation yang memfokuskan diri pada gerakan anti korupsi dan sering menerbitkan jurnal tentang tuduhan korupsi yang dilakukan Putin dan para orang terdekatnya.
ADVERTISEMENT
Navalny memanfaatkan jaringan social media untuk melakukan aksi-aksi demonstrasi dan berhasil menarik perhatian kalangan milenial. Namun sebenarnya dia tidak populer di dalam negeri, apalagi masyarakat menganggap bahwa dia dianggap terlalu pro Barat dan dicap sebagai agen asing.
Partai Rusia Bersatu (United Russia) dan Golkar
Partai ini didirikan oleh Putin tahun 2001, merupakan gabungan dari berbagai partai seperti Fatherland, Our Home, dan setelah itu Partai Rusia Bersatu selalu menduduki kursi mayoritas sejak pemilu 2003 sampai pemilu terakhir tahun 2021. Saat ini partai besutan Putin ini memiliki 334 dari 450 kursi atau 72%, disusul Partai Komunis dengan 57 kursi (12,7%). Hal ini mirip sekali dengan Sekber Golkar yang didirikan oleh Sukarno, Supomo dan Ki Hajar Dewantara sebagai kelompok fungsional yang terlepas dari partai.
ADVERTISEMENT
Golkar juga dimaksudkan sebagai penyeimbang partai-partai yang menjamur di masa Orde Lama. Namun dalam perkembangannya, Golkar menjelma sebagai kekuatan politik utama dan sejak 1971 selalu menang dalam Pemilu karena didukung oleh PNS dan militer. Bahkan Presiden Soeharto sendiri duduk sebagai Ketua Dewan Pembina yang memiliki pengaruh paling tinggi.
Dapat dikatakan bahwa Golkar menjadi kendaraan politik bagi Soeharto untuk terus berkuasa. Dengan posisi Ketua Dewan Pembina, Soeharto memegang kendali Partai Golkar. Siapa pun Ketua Umumnya, harus dipilih seizin Ketua Dewan Pembina. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh Putin. Walaupun saat ini Putin maju sebagai calon independen, sejatinya dia didukung penuh oleh Partai Rusia Bersatu (PRB) yang dia ikut dirikan dan bahkan sempat menjabat sebagai Ketua Umum.
Partai ini, seperti halnya Golkar, memang didesain sebagai party of power. Saat ini Ketua Umum Partai dipegang oleh Dmitry Medvedev yang merupakan sekutu terdekat Presiden Putin, dan pernah menjadi Presiden Rusia tahun 2008-2012. Ketika itu secara UU Putin dilarang untuk menjadi presiden tiga kali berturut-turut, sebagai gantinya dia menunjuk Medvedev untuk maju sebagai calon Presiden.
ADVERTISEMENT
Putin sendiri bergeser menjadi Perdana Menteri. Banyak yang menduga sebenarnya the real president tetaplah Putin. Benar juga akhirnya Putin mengambil alih sebagai Presiden tahun 2012 dan mengubah masa jabatan menjadi 6 tahun dari 4 tahun sebelumnya. Medvedev kemudian menjabat sebagai Perdana Menteri.
Soeharto sendiri sejak menjabat sebagai Presiden tahun 1967 selalu berusaha untuk melanggengkan kekuasaannya. Konstitusi Indonesia hanya menyebutkan bahwa Presiden dapat dipilih Kembali, tanpa menyebut sampai berapa kali. Dengan dukungan penuh Golkar, militer dan birokrasi dia berhasil berkuasa selama 32 tahun. Kekuasaannya pun tumbang bersamaan dengan munculnya krisis ekonomi terbesar selama Orde Baru.
Mirip dengan Putin, Soeharto berusaha membungkam oposisi dan media. Para aktivis yang menentang kekuasaan bisa saja hilang, atau dipersekusi hak politiknya sampai ke anak cucu seperti terhadap aktivis Petisi 50. Media yang kritis dibredel, sama seperti yang terjadi di Rusia.
ADVERTISEMENT
Demikian juga seperti yang dilakukan oleh Putin terhadap lawan-lawan politiknya. Ada yang terbunuh seperti Sergei Yusnenko (politisi Partai Liberal), Anna Politkovskaya (wartawan), Boris Nemtsov (mantan Wakil PM zaman Presiden Boris Yelsin), dan terakhir Alexei Navalny, atau yang terpaksa harus hidup di luar negeri seperti Boris Berezovsky (oligar teman dekat Yeltsin), Mikhail Khodorkovsky (Oligar, pengusaha tambang), Aleksandr Litvinenko, (mantan sejawat di KGB) dll.
Pada zaman Orde Baru hanya ada 3 partai masing-masing Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar didesain sebagai partai pemenang (pemerintah) dan 2 partai lainnya dibuat seolah-olah partai oposisi. Bahkan untuk menjadi Ketua Umum Partai, para calon harus mendapat restu dari Soeharto.
Suryadi adalah Ketua Umum PDI pada Kongres Medan 1996-1998 yang didukung oleh Presiden Soeharto, sementara Megawati Sukarnoputri adalah Ketua Umum PDI dari hasil Kongres di Surabaya untuk periode 1993-1998 yang tidak direstui Pemerintah karena sering berseberangan. Akibat terjadinya dualisme di tubuh PDI dan muncul peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996) ketika Kantor PDI pimpinan Megawati diserbu oleh pendukung Suryadi yang menimbulkan banyak korban.
ADVERTISEMENT
Praktis sebenarnya tidak ada partai oposisi selama Orde Baru. Hal yang sama juga terjadi di Rusia di era Putin. Dua partai terkuat yaitu Partai Komunis dipimpin oleh orang-orang yang secara individu dekat dengan Putin, sehingga dalam setiap RUU yang diusulkan oleh Pemerintah hampir tidak menemui tentangan di Parlemen.
Golkar hampir dipastikan setiap pemilu menang rata-rata di atas 70%, demikian juga dengan Partai Rusia Bersatu. Kedua pemerintahan menggunakan jalur birokrasi dan militer untuk menjamin kemenangan partai pemerintah.
Di Indonesia, pemilu dilakukan pada hari kerja dan kebanyakan dilakukan di kantor-kantor pemerintah sehingga bagi pegawai negeri sipil yang tidak memilih Golkar akan ketahuan dan dipastikan karirnya akan terhambat. Memang di Rusia pemilu tidak diselenggarakan di kantor-kantor pemerintah. Di Rusia, rakyat cenderung memilih partai pemerintah karena takut dicap tidak nasionalis atau agen asing.
ADVERTISEMENT
Kapan Kekuasaan Putin Berakhir?
Soeharto berkuasa selama 32 tahun, sementara Putin saat ini telah berkuasa selama 20 tahun dan dengan kemenangannya kali ini dia akan berkuasa sampai 2030. Secara konstitusi dia bisa dipilih lagi 6 tahun berikutnya, artinya dia akan berkuasa sampai 2036 pada umur 83. Dengan demikian kekuasaannya akan menyamai Soeharto selama 32 tahun.
Selama berkuasa, Soeharto tidak akan membiarkan seseorang populartisanya mendekati dirinya. Nama-nama besar seperti Sarwo Edhi Wibowo, Ali Sadikin, AH Nasution dll secara pelan-pelan disingkirkan. Sehingga zaman itu Pak Harto seperti tidak punya pesaing. Hal yang sama juga terjadi pada Putin.
Soeharto akhirnya jatuh karena krisis ekonomi. Sementara sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan terjadi krisis ekonomi di Rusia dan Putin akan jatuh. Walaupun mendapat sanksi sangat keras dari AS dan negara Barat lainnya, kenyataannya perekonomian Rusia malah tumbuh. Bahkan tahun 2024 IMF memperkirakan ekonomi Rusia akan tumbuh 2.6%. Rusia adalah negara yang kaya akan sumber alamnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Statista Research Development, kekayaan alam Rusia saat ini adalah yang terbesar di dunia mencapai $ 75 triliun, disusul Amerika Serikat $ 45 triliun, Arab Saudi $ 34,4 triliun, Canada $ 33,2 triliun, Iran $ 27,3 triliun. Indonesia tidak masuk dalam 10 besar. Saat ini Rusia adalah penghasil gas terbesar di dunia dan produsen minyak nomor 2 dunia.
Dalam teori perang, salah satu yang menyebabkan berang berakhir adalah bangkrutmya salah satu pihak secara ekonomi. Rusia jelas jauh dari bangkrut, dan sejarah negara-negara yang mendapat sanksi ekonomi dari Amerika sampai saat ini masih tegar berdiri seperti Iran, RRT, Venezuela dan bahkan Korea Utara. Di lain pihak, Ukraina secara ekonomi sudah bangkrut, namun berkat dukungan NATO dan sekutunya negara ini masih bertahan. Kesimpulannya, banyak kesamaan antara Rusia di bawah Putin dan Indonesia di bawah Soeharto.
ADVERTISEMENT
Jakarta, 22 Maret 2024