Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mengapa Mengaji Filsafat di Masjid?
7 Juni 2019 11:46 WIB
ADVERTISEMENT
Jalan berpikir yang menuntut kejernihan, kedalaman, dan keluasan di era internet dan media sosial sekarang ini semakin tidak banyak dilakukan. Masalahnya, karakter jalan berpikir era sekarang yang bersangkutan dengan kecepatan, akhirnya mempengaruhi manusia untuk bersegera.
ADVERTISEMENT
Kehadiran jaringan internet sangat memberi kemudahan bagi manusia mengakses beragam informasi. Sementara lewat media sosial menghubungkan jalinan antar-manusia lintas wilayah secara maya. Keduanya kini menjadi habitat dunia baru manusia.
Tinggal klik, sehingga kuncinya ada di ujung jari tangan. Alhasil kecenderungan yang terjadi membuat manusia pengguna lebih gampang menyebarkan informasi dibandingkan berpikir terlebih dahulu.
Dengan kemudahan, kecepatan, dan kesegeraan, telah menjadikan manusia bebas menumpahkan apa yang ia ingin tumpahkan di dunia barunya itu.
Namun untuk bersegera mempercayai, membenarkan, membagikan atas suatu infomasi dari media sosial, sebaiknya mengambil waktu jeda. Waktu jeda sebagai jalan untuk berpikir mengenali suatu informasi tersebut apakah benar, baik dan ada atau tidak manfaatnya. Sebab tidak semua informasi yang tersiar belum tentu benar adanya.
ADVERTISEMENT
Mengambil waktu jeda memberi kesempatan akal bekerja (berpikir) mendeteksi hingga dapat melacak kebenaran, kebaikan, serta ada atau tidak manfaatnya dari sebuah informasi. Pergunaan waktu jeda memungkinkan pada pendayagunaan akal untuk berpikir dengan kejernihan, kedalaman, dan keluasan. Nah, sampai di sini diri manusia sedang melakukan aktivitas berfilsafat.
Sebetulnya setiap dari kita (manusia) adalah filosof. Akal sehat manusia mampu berpikir secara logis, mengajukan argumentasi, menganalisis, dan menjelaskan kejelasan suatu konsep atas sesuatu. Dari karakter utama filsafat ini, kita sudah menjalani hidup dengan laku seorang filosof.
Sebagai contoh sederhana, misalnya muncul sebuah pertanyaan mengapa Pemilu diadakan di Indonesia? Dari kata tanya “mengapa” ini sudah mengaktifkan akal untuk berpikir mencari pendasaran diadakannya Pemilu. Mencari sebab atas pertanyaan tersebut, hingga pada akhirnya mengemuka dasar bahwa Pemilu menjadi logis diadakan.
ADVERTISEMENT
Sampai di situ, secara sengaja atau tidak, dalam keseharian kita, sederhananya kita telah berfilsafat. Mau lebih mantap lagi dalam petualangan filsafat, silakan ajukan pertanyaan terkait hakikat segala sesuatu, hidup maupun kehidupan manusia.
Tugas dari filsafat di antaranya membangun pengetahuan, merubuhkannya, membangunnya kembali, dan terus bergerak secara dialektis. Walhasil, sekalipun telah terbangun kejelasan suatu konsep atas sesuatu, nantinya akan muncul argumentasi yang akan menyangkal ataupun mendukungnya, kemudian muncul suatu konsep baru lagi dan seterusnya dan seterusnya. Gerak semacam ini memungkinkan filsafat terus hidup. Pada gerak demikian ini, boleh jadi kita ada di dalamnya.
Saya sendiri mengenal filsafat baru setelah mengikuti Ngaji Filsafat. Filsafat tidak seperti yang awal saya bayangkan: njelimet dan ruwet.
ADVERTISEMENT
Filsafat oleh Pak Fahruddin Faiz (dosen UIN Sunan Kalijaga pengampu Ngaji Filsafat) dapat disajikan ringan dan menggembirakan. Ngaji Filsafat setiap Rabu malam di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta itu menjadi semacam oasis dan waktu jeda menginsafi diri sebagai mahkluk yang diberi akal.
Ngaji Filsafat tak seperti filsafat dalam pengajaran di kampus maupun pembahasan di kelas kursus filsafat, tetapi dihadirkan dalam suasana masjid. Artinya, penyajian filsafat disampaikan dalam kemasan kesujudan. Bagaimana pemikiran filsafat dibingkai sebagai pengetahuan dan tangga pemahaman untuk semakin mendekatkan diri menuju Tuhan.
Terminologi serta istilah filsafat dihadirkan dengan memberi contoh dalam keseharian. Hal ini menjadikan para santri yang mengikuti ngaji, khusyuk mendengarkan dan mencatat. Para santri sendiri tidak dituntun harus paham dari A sampai Z, tidak diminta menghafalkan gagasan para filosof, ataupun menguasai perbendaharaan istilah filsafat.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi dari Ngaji Filsafat mendorong pendayagunaan akal untuk memfilsafati kehidupan. Kita dapat mengambil contoh dengan berusaha memahami bahwa pagi hari ini yang kita jumpai, berbeda dengan pagi hari kemarin. Apa yang sudah kita lakukan hari ini mungkin tak jauh berbeda dengan hari kemarin. Usaha yang kita kerjakan hari ini apakah semakin membuat kita menyadari diri sebagai manusia atau tidak.
Semua itu dapat dipikirkan kembali lebih dalam, merenungkan tentang apa yang telah diperbuat, sampai kita mendapatkan terang kesadaran dan hikmah di balik semua hal tersebut.
Memfilsafati kehidupan dimaksudkan juga sebagai proses mengenali diri. “Gnoti’s afton” (Kenalilah Dirimu), kata Socrates. Jargon ini agaknya berhubungan dengan anjuran untuk menguji hidup yang bermuara pada pengenalan manusia terhadap dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bila pada akhirnya manusia mengenal dirinya, sampai pada titik itu juga manusia akan mengenal Tuhan (Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu).
Poin penting lainnya, ternyata filsafat dapat membantu menemukan kejelasan atas banyak hal dalam hidup. Sementara bila ingin menjadi ahli filsafat, disarankan membaca karya dan mendalami seluruh pemikiran para filosof lebih lanjut.
Belajar filsafat atau lebih khususnya Ngaji Filsafat diniatkan mencari kemuliaan serta berupaya merengkuh bijaksanaan. Niatan ngaji tergali dari kata “aji” sebagai kata dasar Ngaji yang dapat diartikan “mulia”; dan dari akar kata filsafat, philoshopia, yakti cinta kebijaksanaan. Ini salah satu yang kerap disampaikan oleh Pak Faiz. Niatan tersebut terus dibaharui, diluruskan pada setiap sesi ngaji.
Banyak pemahaman baru setelah mengikuti Ngaji Filsafat. Seperti tentang kebijaksanaan yang berbeda sama sekali dengan kebenaran, tetapi keduanya terkait.
ADVERTISEMENT
Kebenaran, katakanlah, memiliki masing-masing level. Level kebenaran empirik, logik, etik dan metafisik, masing-masing berbeda. Pada level kebenaran empirik, sifatnya konsisten, nyata, sistematis, dan sesuai fakta yang ada. Empirik yakni jalan berpikir yang menggunakan dukungan data yang diperoleh melalui pengalaman pancaindra.
Kebenaran logik melalui proses berpikir rasional menggunakan akal sehat. Contohnya, setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Sedangkan kebenaran etik akan merujuk pada perangkat standar moral sebagai pegangan perilaku yang harus dilakukan (code of conduct).
Soal kebenaran metafisik, ini terkait hal-hal yang tidak dapat dijangkau secara logis maupun empiris. Manusia ketika menghadapi fakta kebenaran metafisika, hanya dapat percaya dan menerima. Kebenaran metafisika, dengan kata lain, terkait-terhubung dengan keimanan.
Kembali pada gambaran di awal tulisan, kenyataannya manusia kini hidup dalam impitan kecepatan dan kesegeraan. Ia hampir-hampir tak diberi tenggat waktu berpikir untuk menemukan kebenaran atas sebuah informasi. Informasi hanya tercandra sekelebat, lantas secepat membalikkan tangan mempercayainya sebagai sebuah kebenaran.
ADVERTISEMENT
Dan benar, belum tentu bijak. Sewaktu sedang bermedia sosial, informasi yang diperoleh kemudian disebarkan, boleh jadi itu benar, namun belum tentu pas. Pas atau dalam istilah Jawa, pener, menjadi kata lain dari kebijaksanaan.
Tentang kebijaksanaan, menarik ungkapan dari Plato berikut yang barangkali menjadi kulminasi menyadari diri melalui filsafat.
“Orang paling bijaksana itu seperti Socrates, yaitu orang yang menyadari bahwa kebijaksanaan tidak berharga.” Kebijaksanaan sekalipun dientahkan oleh Plato, murid dari Socrates—keduanya filosof.
Begitu pun halnya untuk seseorang yang belajar filsafat, tidak dengan sendirinya menjadi bijak. Maka kuncinya adalah terus belajar. Dan di Ngaji Filsafat menjadi tempat bagi saya untuk belajar mengenali diri.