Bencana Erupsi Semeru, Faktor Ekologis dan Mitigasi Bencana

wahyu eka styawan
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur
Konten dari Pengguna
13 Januari 2022 18:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu eka styawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
doc pribadi, Gunung semeru diambil dari Pos Pantau Pronojiwo
zoom-in-whitePerbesar
doc pribadi, Gunung semeru diambil dari Pos Pantau Pronojiwo
ADVERTISEMENT
Bencana vulkanologi Semeru yang hingga kini masih berjalan telah banyak memakan korban, tercatat dari data BNPB tertanggal 21 Desember 2021, terdapat 51 jiwa meninggal dunia. Selain itu juga bencana ini mengakibatkan sekitar 10.395 jiwa penduduk yang tersebar di 410 titik mengungsi. Ada tiga kecamatan yang terdampak paling serius dalam bencana Erupsi Semeru yakni Candipuro, Pronojiwo dan Pasirian yang merupakan teritori Kabupaten Lumajang.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini belum ada tanda-tanda aktivitas Semeru berhenti, berdasarkan pos pemantauan yang dapat diakses melalui live streaming. Terpampang jelas erupsi masih berlanjut, meski intensitasnya tidak se-eksplosif fase-fase awal. Selain erupsi, yang perlu diperhatikan adalah adanya bahaya-bahaya alamiah lain yang turut mengancam, termasuk potensi banjir dan longsor di kawasan rawan bencana, karena tingginya intensitas hujan.
Persoalan yang perlu dilihat dalam bencana ini adalah potensi perpaduan antara bencana vulkanologi dengan bahaya ekologis, seperti bencana hidrometeorologi yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Di mana aktivitas vulkanik yang berupa erupsi menghasilkan lahar, pada situasi tertentu ditambah hujan dengan intensitas tinggi, serta daya dukung kawasan yang tidak memadai, akan mendorong banjir bandang disertai lahar dingin. Artinya di sini ada potensi kerentanan bencana pada wilayah bencana vulkanologi dan masuk pada zona bahaya.
ADVERTISEMENT
Ancaman Bahaya Ekologis dan Daya Dukung Kawasan
Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanik saat erupsi di Desa Kuta Rakyat, Naman Teran, Karo, Sumatera Utara, Selasa (2/3). Foto: Sastrawan Ginting/ANTARA FOTO
Seperti yang dijabarkan dalam artikel berjudul "Rainy Season, Merapi Cold Lava Flooding Still Threatening," pakar geologi UGM, Ir. Bambang Widjaja Hariadi dalam pengamatannya di Merapi, mengungkapkan jika hujan deras dapat mengakibatkan peningkatan kerentanan bencana di wilayah erupsi, terutama berkaitan dengan potensi meletupnya lahar dingin. Di mana lahar dingin yang dihasilkan Merapi dapat menjadi ancaman bahaya jika dipengaruhi oleh faktor hujan deras, sehingga ada kemungkinan mengakibatkan banjir lahar dingin bercampur tanah dan batuan.
Selain itu, dalam artikel jurnal berjudul "Acute sedimentation response to rainfall following the explosive phase of the 2008–2009 eruption of Chaitén volcano, Chile," yang ditulis oleh Pierson dkk (2013) dalam pengamatannya di Chile terutama saat erupsi gunung Chaitén. Mereka menjabarkan bahwa potensi bahaya erupsi turut didorong oleh faktor hujan dan daya dukung kawasan seperti adanya sedimentasi pada aliran sungai yang juga mengangkut lahar. Persoalan sedimentasi sungai, ditambah dengan potensi hujan, membuat kerentanan bencana vulkanologi meningkat.
ADVERTISEMENT
Di sini dapat diambil sebuah titik temu, bahwa faktor kerentanan bencana vulkanologi, melihat dari erupsi serta keluaran lahar yang membawa aneka material seperti batu, tanah dan material lainnya, sangat berkaitan dengan daya dukung kawasan.
Keberadaan sungai di sekitar lokasi erupsi sebagai wilayah tangkapan lahar dan air, jika memang mengalami kerusakan, seperti terdapat sedimentasi tentu akan memperentan kawasan. Kondisi ini akan mengakibatkan daya tampung sungai tidak mampu menahan laju lahar, ditambah dengan bahaya hidrometeorologi seperti hujan deras, sehingga mengakibatkan bencana yang menimbulkan daya rusak.
Tentu persoalan bencana vulkanologi seperti yang terjadi di Semeru tidak bisa dianggap remeh. Karena melihat beberapa kali hujan deras menyebabkan banjir di jalur lahar, menjadikan sebuah dugaan bahwa wilayah bencana Semeru sangat rentan. Asumsi ini didapatkan dari pengamatan, pertama erupsi yang mengakibatkan banjir lahar dingin, perlu dilihat juga bagaimana kondisi sungai aliran lahar apakah masih baik-baik saja atau mengalami perubahan.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk ancaman banjir dan longsor dapat ditinjau bagaimana kondisi wilayah resapan dan tangkapan air apakah berfungsi atau mengalami alih fungsi, sehingga menyebabkan adanya peningkatan potensi bencana. Hal ini perlu dilihat, sebagai bentuk dari mitigasi bencana ke depan. Sebab, bencana yang sifatnya alamiah atau natural dapat menjadi semakin berbahaya jika daya dukung dan daya tampung kawasan sudah tidak mumpuni, misal diambil dalam kacamata analisis bahaya ekologis.
Mitigasi Bencana Harus Meluas
Warga mengangkat televisi dari rumahnya yang rusak akibat awan panas guguran Gunung Semeru di Dusun Curah Kobokan, Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur. Foto: Zabur Karuru/Antara Foto
Belajar dari situasi bencana yang terjadi, di mana persoalan benar-benar kompleks yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan, serta komunitas di sini adalah persoalan mitigasi bencana. Saya mengartikan mitigasi bencana di sini bukan sekadar bersiap atau menghindari, tetapi juga harus mempersiapkan hal-hal yang sifatnya preventif.
ADVERTISEMENT
Seperti sistem peringatan dini bencana harus benar-benar berjalan dan kalau perlu dikembangkan modelnya menjadi peringatan dini berbasis komunitas. Di mana setiap komunitas di wilayah bencana dibekali pengetahuan untuk mendeteksi potensi bencana yang nantinya terintegrasi dengan sistem peringatan bencana utama.
Lalu, membuat peta kawasan rawan bencana partisipatif dengan melibatkan masyarakat, serta bersandar dengan kerawanan wilayah yang terintegrasi dengan peta tata ruang dan tata wilayah. Hal ini penting dilakukan, agar komunitas juga menunjukkan kawasan rawan sesuai dengan pengetahuan mereka, karena sehari-hari tinggal di wilayah tersebut. Hal ini juga sebagai bagian dari edukasi agar komunitas lebih siap dan siaga.
Terakhir, pemangku kebijakan harus mulai membuat studi KLHS dan potensi bencana kawasan untuk melihat persoalan tata ruang, yang mana hal ini penting untuk melakukan revitalisasi wilayah yang menjadi penyokong kawasan, seperti wilayah tangkapan dan resapan, sebagai contoh bagaimana kondisi sungai dan kawasan hutan, apakah daya dukung serta daya tampungnya mumpuni. Sehingga dengan perbaikan kawasan diharapkan mampu mereduksi dampak erupsi ke depannya.
ADVERTISEMENT