Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
KONFLIK AGRARIA dan Persoalan HAM
15 Maret 2017 21:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Wahyu Eka Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekilas Konflik Agraria
Rezim Jokowi dan Jusuf Kalla belum mampu berbuat banyak, terkait perampasan ruang hidup rakyat. Kasus demi kasus yang menyangkut ruang hidup rakyat, baik persoalan ekologi dan agraria semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), jika di tahun 2015 terjadi 252 kasus, maka jumlah ini meningkat sekitar 450 kasus di tahun 2016. Dengan rincian luasan wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar lahan, serta melibatkan 86.745 KK. Kasus konflik tertinggi berada di Riau 44 kasus, disusul Jawa Timur 43 kasus dan Jawa Barat 38 kasus. Mayoritas konflik yang muncul menyisir pada sektor perkebunan sekitar 163 kasus, properti 117 kasus, insfrastruktur 100 kasus, kehutanan 25 kasus, tambang 21 kasus, migas 7 kasus, pesisir-kelautan 10 kasus dan pertanian 7 kasus.
ADVERTISEMENT
Beberapa Contoh Kasus di Jawa
Minggu ini tepat tanggal 13 Maret 2017, para petani Kendeng kembali melakukan aksi cor kaki jilid II di depan istana negara. Peserta aksi kali ini tidak hanya Ibu-Ibu Kendeng, namun juga Bapak-Bapak pemberani. Sebagai bentuk emansipasi perjuangan, serta kesetaraan yang sesungguhnya. Mereka menolak berdirinya pabrik semen di Rembang, Pati, Blora dan Grobogan. Para petani itu menagih janji Jokowi terkait moratorium penghentian tambang semen, yang dia janjikan pasca keluarnya hasil KLHS. Pasalnya kawasan Kendeng, merupakan kawasan cekungan air tanah yang sudah sepantasnya dilindungi. Namun pemerintah mengabaikannya, terutama pihak Ganjar Pranowo dan Semen Indonesia yang tidak mematuhi hukum.
Kasus Semen Indonesia di Rembang juga menyeret konflik di daerah lain, yaitu Surokonto Wetan Kendal. Proses tukar guling lahan hutan, antara pihak Semen Indonesia dan Perhutani memakan korban. Lahan pertanian seluas 125,53 hektar, telah digunakan oleh warga selama bertahun-tahun. Tetapi menurut Perhutani lahan tersebut adalah miliknya, berdasarkan SK Menhut No: SK.0321/Menhut-VII/KUH/2014, tertanggal 17 April 2014. Sebanyak 3 warga di kriminalisasi, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah. Mereka dilaporkan oleh PT Sumurpitu Wringinsari dan PT Semen Indonesia dengan tuduhan menempati lahan yang telah dijualbelikan.
ADVERTISEMENT
Tumpang Pitu, menjadi kasus yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Kasus di Tumpang Pitu merupakan, gambaran bagaimana dengan mudahnya merusak lingkungan hidup dan kehidupan warga sekitar. Tumpang Pitu yang terletak di Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggrahan, sedianya merupakan kawasan hutan lindung. Pada tahun 2013 melalui surat keputusan Menhut Zulkifli Hasan, No . SK.826/Menhut-II/2013, menurunkan status Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Sekitar 2000 hektar lahan akan di eksploitasi oleh Merdeka Cooper melaui PT. BSI.
Bahkan di tahun 2015 Merdeka Cooper menegaskan, tetap melajutkan penambangan meski ditolak oleh warga. Puncaknya pada Jumat 10 Maret 2017, warga kaki gunung yang mayoritas Ibu-Ibu dengan berani beraksi menghadang alat berat. Dilanjutkan dengan bergabungnya beberapa elemen rakyat yang turut serta dalam aksi penolakan tersebut. Warga menolak karena ruang hidup dan tanah mereka terancam, dampak ekologi penambangan emas akan mempengaruhi kehidupan mereka. Lingkungan rusak, mata pencaharian hilang, hak hidup terampas. Penambangan emas Tumpang Pitu juga akan mengancam Meru Betiri, sebagai kawasan taman nasional.
Surabaya, hingga hari ini kasus sengketa waduk Sepat juga tak kunjung selesai. Warga Sepat masih berjuang untuk mendapatkan haknya lagi, atas waduk yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini. Waduk Sepat diambil alih sepihak oleh pihak Ciputra, atas dasar Pemkot telah melakukan tukar guling dengan lahan di Benowo yang kini menjadi Gelora Bung Tomo. Tindakan sepihak tersebut, telah merugikan warga Sepat. Serta akan berdampak pada ruang hidup warga, karena penutupan waduk sama saja dengan mendatangkan bencana bagi warga. Hilangnya ruang terbuka hijau, yang berfungsi sebagai daerah resapan serta penampungan air hujan, akan mengakibatkan kerusakan ekologi di daerah tersebut. Selain itu juga akan berakibat pada dampak sosial dan ekonomi, yang akan mengancam keberlangsungan hidup warga.
Di Banten kita juga disuguhkan ketika rakyat di kriminalisasi akibat menolak privatisasi air oleh PT. Mayora, tiga ustadz yang merupakan warga sekitar di jebloskan ke penjara. Bergeser ke Jawa Barat, kita tentunya masih ingat bagaimana 36 petani Karawang diangkut oleh kepolisian karena mempertahankan lahannya. Kasus Sukamulya, tentang kesewenang-wenangan pemerintah menggusur lahan pertanian warga, demi ambisi membangun bandara internasional Jawa Barat. Bahkan terjadi tindakan represif oleh aparat kepolisian, hingga 3 petani dijebloskan ke penjara karena dianggap sebagai biang keladi kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Argumentasi Menurut Pasal 28 UUD RI Tahun 1945
Dalam dasar konstitusional, hak-hak warga negara dilindungi. Menjalankan setiap demokrasi serta melakukan perlawanan sebagai kontrol atas kebijakan pemerintah. Pada dasarnya pemerintah sebagai representasi rakyat, harus mewadahi dan mendengarkan aspirasi rakyatnya. Bukan berlaku semena-mena atas nama hukum dan demokrasi. Represivitas atas nama investasi, lalu dikaitkan dengan de-demokrat-isasi merupakan sebuah upaya pembungkaman. Merupakan sebuah langkah yang menghianati konstitusi sebagai dasar hukum yang fundamental, bertentangan dengan semangat demokrasi yang dijunjung tinggi.
Dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 28 G bahwa:
"1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
ADVERTISEMENT
Lalu pada pasal 28 H menyebutkan:
"(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun".
Penggusuran dan perampasan hak rakyat, baik kaum miskin hingga rakyat tani dan nelayan, sangat bertentangan dengan hak-hak rakyat. Atas nama tata kelola dan hal-hal yang menyangkut kondisi darurat, selalu menjadi dalih untuk mengorbankan hak-hak rakyat. Tanpa melalui sebuah musyawarah yang demokratis hingga kajian yang komprehensif, tindak perampasan hak selalu dibenarkan demi memuluskan kepentingan beberapa pihak. Semua dilakukan atas nama investasi, demi kemajuan bangsa. Namun rakyat yang mana dan bangsa yang mana, toh masih banyak ketimpangan di negeri ini. Kesehatan masih mahal, pendidikan juga bahkan harga kebutuhan pokok masih fluktuatif.
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia, Dasar Demokrasi
Apa yang terjadi pada kasus-kasus represif yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat, sangat bertentangan dengan Toture Convention. Ratifikasi internasional tersebut dituangkan dalam UU no 5 tahun 1998, terkait Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Hak- hak manusia secara hukum dilindungi, melalui konvenan ini seharusnya pemerintah tidak boleh semena-mena terhadap rakyatnya. Konvenan ini menyoroti soal tindakan represif hingga perlakuan tidak mengenakan, termasuk menghakimi sepihak rakyat yang menolak tunduk akibat dipaksa menyerahkan tanahnya. Oleh karena itu jika ada aparatur negara yang melukai warga dalam penggusuran, hemat saya termasuk melanggar konvenan ini.
Tindakan-tindakan diluar batas yang dilakukan oleh aparatur negara merupakan tindak penyiksaan, dalam hal ini penyiksaan secara harfiah memiliki definisi, perlakuan yang disengaja yang menimbulkan rasa sakit baik jasmani maupun rohani. Tindakan menembakkan gas air mata tanpa perlawanan, merupakan tindakan yang disengaja dan menyiksa. Memaksa rakyat dengan menangkapnya secara paksa atas tuduhan tidak jelas, apalagi dalam kondisi rillnya tidak melakukan sesuatu yang mengancam adalah bentuk represivitas.
ADVERTISEMENT
Dipertegas lagi dalam UU no 12 tahun 2005 yang merupakan penerapan dari International Covenant on Civil and Political Right;
"Menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10)." Aturan hak-hak sipil juga tergambar dalam UU no 39 tahun 1999 "Pasal 33 Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Pasal 34 Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. Pasal 35 Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tentram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini".
ADVERTISEMENT
Aturan sudah jelas, jika rakyat itu dilindungi. Namun para oligarki yang berkongsi denga kekuatan pemodal dan keamanan senantiasa, menghianati amanah rakyat. Salah satunya mengenai ancaman-ancaman kepada rakyat, jadi wajar kalau rakyat sekarang bungkam ketika ditindas. Warisan Orba masih bergentayangan, reformasi hanya sebatas jargon namun implementasinya tetap orde baru yang masih sewenang-wenang.
Sebagai negara yang demokratis, yang menjunjung tinggi kebebasan bersuara dan berpendapat. Sudah seharusnya pemerintah mendengarkan jeritan rakyatnya, tidak berpihak pada kelompok-kelompok tertentu. Namun harus berpihak pada rakyat, serta melindungi rakyatnya sebagai amanah dari konstitusi. Kasus-kasus yang terjadi, bahkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara. Merupakan bentuk tidak amanahnya suatu pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat. Secara tidak langsung, pemerintah hari ini telah menghianati demokrasi. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”
ADVERTISEMENT