Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Semangat Pemuda, Semangat Berpolitik Untuk Perubahan
8 Juli 2017 20:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Wahyu Eka Setiyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Source: Berdikari.com
Politik hari ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemuda, baik itu mahasiswa, pelajar ataupun diluar klasifikasi tersebut. Jika melihat dari perspektif sejarah, peran pemuda sangat penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah imperialisme dan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Pada bulan mei 1908 berdiri organisasi perkumpulan pelajar yaitu Boedi Oetomo, bahkan pada tahun sebelumnya sudah ada yang namanya study club alias kelompok belajar, yang merupakan titik awal dari bangkitnya rasa ingin bebas dari penjajah. Dalam sejarah secara umum mereka digambarkan sebagai pelopor, padahal sebelumnya dan pada masanya sudah ada gerakan pemuda dari golongan masyarakat bawah tak terdidik, namun tidak tercatat sejarah karena lingkup perjuangan masih kecil, hanya dalam lingkup daerah.
Jika kita mengenal sosok muda yang menginspirasi pasti kita akan menyebut Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainya. Namun kita tidak bisa melupakan sosok muda seperti Tan malaka, Semaoen, Darsono, Musso, Mas marco kartodikromo, sebagai sosok yang mampu menunjukan semangat mereka dalam melawan penjajah. Walaupun hari ini nama mereka telah dilupakan karena persoalan ideologi. Mereka adalah tokoh merah, berhaluan kiri dan berideologi marxisme, baik leninisme, trotskysme ataupun ortodok.
ADVERTISEMENT
Kita tahu sendiri dalam berbagai pelbagai literatur yang kita baca di era sekarang ini, ketika tahun 1926–1927 golongan merah melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial belanda, anehnya generasi sekarang secara umum memaknai hal tersebut sebagai pemberontakan. Padahal mereka melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme namun dalam catatan sejarah Nugroho Notosusanto mereka dianggap memberontak. Padahal kenyataannya tidak begitu. Perlu dicatat bahwa pemuda, buruh, petani dan kaum tertindas berkolaborasi hingga menghasilkan sebuah pandangan yang visioner dan revolusioner terkait masa depan ibu pertiwi ini.
Peran pemuda tidak berhenti disana, pada oktober 1928 para pemuda yang berasal dari persatuan pelajar dari berbagai daerah melakukan kongres perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia, yang sekarang kita maknai sebagai hari sumpah pemuda. Mereka bersatu karena memiliki rasa sakit yang sama terkait penjajahan, walaupun berbeda latarbelakang budaya dan tempat. Pada intinya mereka memiliki kesamaan, persaudaraan, satu ibu pertiwi, melawan karena penjajahan. Hal tersebut telah dijabarkan melalui teori nation dalam buku imagined community karya Alm. Benedict Anderson.
ADVERTISEMENT
Jika kita mencoba kembali sekali lagi ke masa lampau, para pemuda inilah yang menginisiasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tanpa ada inisiatif dari mereka kemerdekaan hanya sebatas dongeng imajinatif pengantar tidur. Golongan tua kala itu memilih jalan yang diplomatis serta kompromis, padahal jika tidak segera memproklamirkan kemerdekaan, asumsi logisnya Republik ini akan diambil alih oleh Sekutu. Sementara tujuan penjajah fasis jepang memang ingin mempertahankan status quo sesuai dengan perjanjian pasca perang antara fasis Jepang dan Sekutu.
Pemuda-pemuda seperti Amir Sjarifudin, Wikana, Soekarni, Chaerul Saleh dan kawan-kawan berinsiatif untuk menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok di rumah Djiauw Kie Siong, salah seorang dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Para pemuda memiliki pemikiran yang progresif terkait kemerdekaan, meraka sudah memetakan serta melihat konsekuensi jika golongan tua tidak segera bersikap terkait kemerdekaan. Penculikan dilakulan untuk mengintimidasi golongan tua agar cepat memproklamirkan kemerdekaan, walhasil pada akhirnya golongan tua berhasil dikontrol dan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan sesuai dengan rencana.
ADVERTISEMENT
Uraian diatas merupakan gambaran bagaimana pemuda sadar akan ekploitasi dari penjajah kolonial kala itu. Pendidikan memang menjadi dasar dari kesadaran yang masif, karena dengan pendidikan suatu hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Pendidikan tidak harus formal namun dapat informal, kontekstual dan berdasarkan realitas. Selain itu ideologi juga menjadi dasar berpijak untuk membebaskan diri dari ekploitasi kaum kolonial, karena ideologi merupakan dasar berpikir dan berpijak, jika perjuangan tanpa ideologi hanya akan jadi tindakan separatis kecil dan temporer, karena tidak punya dasar berpijak. Semua itu merupakan uraian dari politik itu sendiri, karena politik adalah sebuah upaya atau usaha untuk menggapai apa yang diharapkan.
Perbedaan pemuda zaman dahulu dan kekinian adalah persoalan cara pandang dalam pendidikan. Pasca transisi dari zaman Orde Soekarno ke Orde fasis Soeharto terjadi perubahan budaya yang sangat keras. Dalam buku karya Wijaya Herlambang Kekerasan budaya pasca 1965, terjadi pergeseran budaya yang sangat drastis, dimana ada pergeseran budaya masyarakat dari yang majemuk menjadi tunggal dalam perkara pandangan terkait suatu ideologi.
ADVERTISEMENT
Sekolah juga menjadi tempat indoktrinasi budaya palsu Orba yang mengubah orientasi pandangan pemuda. Dimana pemuda mulai diarahkan ke sektor pragmatis dan oportunis melalui pendidikan itu sendiri. Dampaknya ialah semangat untuk perjuangan pembebasan dari penindasan telah luntur seiring perubahan pola kebudayaan serta pendidikan. Sekarang ini pendidikan telah berubah menjadi sektor jasa bukan lagi sektor vital negara, sebagai pembangunan manusia untuk berkontribusi dalam cita-cita revolusi keadilan sosial Indonesia.
Pemuda sekarang sebagian besar mungkin terjebak dalam alur pragmatisme dan budaya individual yang memang merupakan dari imperialisme kapitalis pada saat ini. Jika terdahulu sadar untuk bersatu padu dan bergerak melawan, maka pemuda hari ini adalah sibuk memikirkan roda hidup dan berdebat terkait persoalan kepantasan dalam berjuang. Pragmatisme pemuda dapat dilihat dari perjuangan yang hanya sebatas petisi dan menjadi pegiat facebook atau lebih dikenal aktivis online. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa zaman telah berubah maka sudah tidak zaman lagi untuk turun ke jalan. Karena dapat menganggu arus lalu lintas mobil-mobil pribadi para kelas menengah yang selalu paling benar, oportunis dan selalu ingin menang.
ADVERTISEMENT
Peran pemuda yang apolitis dan apatis menjadikan kondisi Republik semakin runyam. Keterbukaan pemuda sekarang sangat minim, bebal dan tidak mau mengeksplorasi hal baru. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa politik itu terkait pemerintaha dan elit oligarki partai. Padahal secara tidak langsung mereka tak acuh dan diam adalah bentuk politik dan bentuk eksploitasi di ranah ini. Politik telah dijadikan hal yang tabu, penuh intrik dan kejam, namun tanpa perjuangan politik tidak akan ada perubahan yang berarti. Sama seperti ketika mereka masih bersitegang dengan perkara sejarah, bahwa sejarah hanya satu perspektif.
Salah satu bentuk apriori pemuda adalah pembunuhan tujuh jenderal, yang dengan renyah mereka mengamini bahwa nyawa tujuh dapat ditebus hampir jutaan nyawa manusia yang tak berdaya. Pemikiran fenomenologi ditinggalkan, jadi pemikiran mereka hanya satu arah, miskin wacana.
ADVERTISEMENT
Pemuda sekarang merupakan cerminan dari pendidikan itu sendiri, semakin komersial pendidikan makan hegemoni budaya semacam ini tetap akan berlangsung dan berlipat ganda. Pemuda merupakan tonggak perjuangan, persatuan dan penyambung lidah rakyat, jika budaya apolitis namun sebenarnya ia berpolitik (dapat juga dia diperalat oleh kelompok lain) masih dipertahankan maka tidak akan ada yang namanya kemerdekaan dan perubahan.