Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Afrika Tidak Perlu Diselamatkan Barat: Di Balik Kemiskinan Afrika
22 Maret 2022 17:36 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Wahyu Gandi G tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Afrika tetap menjadi wilayah utama di peta global, benua terbesar dan terpadat kedua di dunia hingga saat ini. Data dari World Population Review menunjukkan, daratan seluas 30,37 juta km2 ini dihuni lebih dari 1,4 miliar jiwa. Afrika menampung banyak etnis, keragaman budaya, dan rumah bagi lebih dari 40 negara yang berbeda. Di sana ada lebih dari 2.000 bahasa, serta dianggap oleh sebagian besar ahli paleantropologi merupakan wilayah berpenghuni tertua di bumi. Kaya akan minyak dan sumber daya alam, benua ini punya posisi strategis dengan pertumbuhan tercepat di dunia dari segi populasi hingga investasi asing langsung, serta memiliki 30 persen cadangan sisa sumber daya mineral bumi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pengelolaan sumber daya alam yang buruk, seringkali menimbulkan beragam persoalan baik yang sifatnya struktural maupun kultural yang terwujud dalam aktivitas korupsi para elite sampai dengan konflik yang tiada henti. Lantas, mengapa benua Afrika yang notabenenya merupakan salah satu daratan terkaya di bumi masih menyandang status benua termiskin di dunia? Apa saja penyebabnya?
Afrika adalah benua pascakolonial. Rumah bagi setidaknya 54 negara dan negara berdaulat yang diakui, 9 wilayah dan 2 negara merdeka yang secara de facto dengan sedikit pengakuan. Salah satu lembaga yang dinaungi PBB, The United Nations Populations Fund di tahun 2009 menyatakan, populasi Afrika bertambah dua kali lipat selama atau sejak 27 tahun terakhir. Fakta demografi ini menjadikan benua ini sebagai benua terpadat kedua di dunia setelah Asia. Mantan direktur The UN Populations Fund, Thoraya Obeid menggarisbawahi alasan di balik pesatnya pertumbuhan populasi tersebut. Negara-negara Afrika semuanya berkembang pesat … karena ada banyak perempuan yang tidak memiliki akses untuk merencanakan keluarga mereka, kata Obeid.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, alasan populasi bukanlah penyebab utama kemiskinan yang melanda negara-negara benua hitam. Julius Kwasi Ofori dari Kwame Nkrumah University of Science and Technology, Ghana, dalam risetnya "Why Most African Countries are Poor" memaparkan, kendati sedikit kontroversial—bahwa faktor kultural yang mencakup kepercayaan, ideologi, dan nilai-nilai yang dimiliki banyak orang Afrika, merupakan alasan di balik beberapa penyebab kemiskinan di sebagian besar negara Afrika. Menurut Ofori, hal tersebut misalnya dilihat dari banyak orang Afrika yang masih berpikir untuk sekadar hidup santai, atau hidup sekarang, tidak membuat rencana apapun untuk masa depan mereka. Mereka beranggapan itulah satu-satunya cara terbaik menikmati hidup.
Sementara itu, data dari Compassion mendapati satu dari tiga orang Afrika hidup di bawah garis kemiskinan global. Mereka mencakup 70 persen kemiskinan dunia, dan jumlah tersebut akan terus meningkat. Penyebab kemiskinan di benua ini tidak berbeda jauh dengan penyebab kemiskinan di seluruh dunia. Hal itu dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, faktor eksternal atau budaya dan internal. Yang pertama meliputi kerawanan pangan, keterbatasan akses ke sumber air bersih, korupsi pemerintah, hingga infrastruktur yang buruk. Sedangkan faktor kedua terdiri dari pengetahuan, aspirasi, ketekunan, nilai, percaya diri, dan harga diri. Kita seringkali tampak seperti orang kurang sabar terhadap sejarah, atau minat terhadap dampak peristiwa masa lalu terhadap masa kini. Di sisi lain, waktu tak linier, dan kita tidak selalu bergerak maju. Singkatnya tidak ada cara lain untuk memahami Afrika saat ini tanpa mempertimbangkan masa lalu benua tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada 1400-an, Portugis adalah negara Eropa pertama yang menggunakan tenaga kerja budak Afrika di São Tomé, tepatnya di lepas pantai Afrika Barat. Sejak saat itu, melalui puncaknya pada abad ke-18, perdagangan biadab dan tidak manusiawi di Afrika ini menjadi kegiatan ekonomi utama, dan melaluinya upaya globalisasi awal Eropa mendapat cuan. Diperkirakan 11 juta orang secara paksa dibawa ke perbudakan di Dunia Baru, tetapi jumlah yang sebanding selama berabad-abad juga dijual di kawasan Sahara, Laut Merah, dan Samudra Hindia. Nathan Hunn, Profesor Ekonomi dalam tulisannya tentang perdagangan budak Afrika, "The Long-Term Effects of Africa's Slave Trades" berargumen, negara-negara Afrika yang termiskin saat ini, adalah negara-negara dari mana sebagian besar budak diambil.
ADVERTISEMENT
Tidak cukup sampai di situ, perbudakan kulit hitam membuka jalan bagi sistem lain yang sama brutalnya, namun kurang menarik simpati publik. Pada tahun 2002, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri, menulis tentang warisan kolonial Inggris di Afrika. Dalam salah satu kalimatnya yang cukup mengundang reaksi bekas negara-negara jajahan terutama Inggris, ia menulis kurang lebih, “Afrika berantakan, tetapi tidak dapat dipercaya untuk menyalahkan kolonialisme”. Pada tahun 2016, 44 persen responden dalam jajak pendapat YouGov, setuju dengan pendapat tersebut dan menyatakan bahwa sejarah kolonial Inggris adalah, “sesuatu yang bisa dibanggakan”.
Semua penguasa kolonial di Afrika meninggalkan cara hidup yang benar-benar menghancurkan. Afrika dihancurkan, dihapus seolah tidak memiliki sejarah, lalu dibangun ulang oleh Eropa. Orang-orang yang trauma dan diajarkan di sekolah-sekolah kolonial untuk membenci segala sesuatu tentang diri sendiri, kulit, bahasa, pakaian, hingga adat istiadat mereka. Bahkan dewa-dewa mereka pun diganti, berganti dengan kepercayaan otoritas kolonial. Seluruh kenyataan itu oleh psikoanalis dan intelektual revolusioner Frantz Fanon, digambarkan dalam bukunya, The Wretched of the Earth (1961),
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang tampaknya tanpa masa lalu sekarang bebas menentukan masa depan mereka sendiri. Tapi, di sebagian besar—jika tak semua, kasus, sebenarnya tidaklah demikian. Eliza Anyangwe dalam tulisan panjangnya yang dipublikasikan The Guardian, menyoroti bahwa Afrika pascakolonial terperangkap di tengah pertempuran perang dingin untuk dominasi ideologis, kemudian dilumpuhkan oleh kebijakan penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF, serta sekarang berada di bawah belas kasihan perusahaan multinasional yang bertindak tidak selalu di atas hukum dan tentu saja di luar labirin moral. Pada Mei 2017, sebuah laporan tentang aliran sumber daya masuk dan keluar dari Afrika, mengungkapkan bahwa benua ini kehilangan lebih banyak uang setiap tahun daripada yang diterima dalam bentuk bantuan, investasi, dan pengiriman uang. Menurut laporan Honest Account 2017, lebih dari tiga kali lipat jumlah bantuan yang diterima Afrika oleh perusahaan multinasional barat, namun sengaja memanipulasi laporan nilai impor atau ekspor untuk mengurangi pajak. Inilah salah satu alasan utama di balik kemiskinan benua Afrika.
ADVERTISEMENT
Contoh di atas berbicara tentang cara di mana sistem ekonomi, perdagangan dan informasi global diatur, serta mengacaukan negara-negara Afrika. Dari UU Kekayaan Intelektual yang tak adil, hingga kesepakatan perdagangan yang memaksa mayoritas negara Afrika membuka pasar mereka terhadap surplus produksi dunia kaya, serta dalam prosesnya menghancurkan pertanian dan manufaktur lokal. Dalam setengah abad pasca Perang Dunia II, sementara ekonomi telah tumbuh dan, dalam arti luas, pemerintah telah membaik, demokrasi di benua Afrika masih tetap goyah dan jauh dari stabil. Adalah kurangnya transparansi, akuntabilitas, keamanan dan supremasi hukum menyebabkan sektor publik yang sering membengkak dan usaha kecil terjepit, patriartki yang menyamar sebagai agama dan budaya adiluhung, tingkat pengangguran tinggi. Semua itu menjadi faktor yang berlapis-lapis yang membuawa orang Afrika tetap merasakan kemiskinan akut.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, jika tidak ada kecenderungan bawaan untuk korupsi, kekerasan atau kemiskinan di Afrika, maka narasi yang memicu stereotip tentang Afrika selama ini perlu dipertanyakan atau barangkali direvisi. Satu pernyataan yang mungkin relevan datang dari salah satu penulis kenamaan Afrika berkebangsaan Nigeria, Chinua Achebe. Ia pernah mengatakan dalam satu kesempatan, “Barat sepertinya menderita kecemasan yang mendalam, terutama tentang gentingnya peradaban mereka dan membutuhkan kepastian terus-menerus dibandingkan dengan Afrika”. Mungkin bukan Afrika yang perlu diselamatkan, tetapi kita atau mungkin Barat itu sendiri.