Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
China yang Ragu, Taiwan Terancam
23 Maret 2022 16:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Wahyu Gandi G tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jelang tengah tahun 2022, penyelesaian konflik bersenjata antara Rusia-Ukraina belum juga menemukan tanda-tanda berakhir. Genjatan senjata bergema di berbagai negara, tetapi mentah di hadapan diplomasi kedua negara itu. Sejumlah egara di belahan dunia lain bahkan turut terkena percikan api dari fenomena yang disebut-sebut Perang Dunia III tersebut. Satu yang mungkin paling mendapat tanggapan dunia internasional adalah China dan Taiwan, negara yang masing-masing mengeklaim diri sebagai satu-satunya negara China di dunia.
ADVERTISEMENT
Jika ditilik dengan kacamata yang besar, inti dari masalah tersebut sebenarnya adalah reunifikasi. Secara de facto, Taiwan yang terpisah dengan daratan China telah merdeka dan diakui oleh 23 negara di dunia. Namun yang ada, pengakuan saja tidak cukup membuat Taiwan dapat disebut sebagai negara yang merdeka seutuhnya. Bagi negeri berpenduduk terbanyak di dunia itu, Taiwan sampai detik ini merupakan bagian negaranya yang membangkang karena ingin memerdekakan diri.
Beijing sendiri telah beberapa kali memberikan peringatan tidak saja kepada Taipei, tetapi juga dunia dengan cukup meyakinkan. Pihaknya tidak ragu menempuh pendekatan militer demi mempertahankan Taiwan, bahkan belakangan, tensi antara keduanya semakin memperlihatkan kondisi mendidih. Akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022 menjadi momen memanasnya konstelasi antara dua negara yang sebenarnya serumpun itu, ketika pesawat militer China memasuki Air Defense Identification Zone (ADIZ) atau Zona Identifikasi Pertahanan Taiwan. Menurut otoritas setempat, jumlah pesawat yang masuk dilaporkan mencapai puncaknya pada Oktober 2021, dengan 56 serangan dalam satu hari.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari retorika agresif dan kemajuan militer negeri Tirai Bambu, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, mungkinkah China menginvasi negara tersebut?
Perpecahan antara dua negara ini terjadi setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 1949. China sebelumnya dipimpin oleh rezim nasionalis Kuomintang bernama Republik China sejak revolusi Xinhai tahun 1911. Menguatnya komunis pasca perang dunia berakhir dengan perang saudara, antara komunis pimpinan Mao Zedong dan pemerintahan nasionalis di bawah komando Chiang Kai-Shek. Perang lalu dimenangkan oleh komunis, menyebabkan kubu nasionalis melarikan diri menuju Pulau Formosa guna melanjutkan pemerintahannya dan berdirilah negara Taiwan. Hanya saja, pemerintah Republik Rakyat China (RRC) bersikeras bahwa Taiwan adalah bagian dari negaranya. Sementara, Kuomintang menjadi salah satu partai politik paling terkemuka di Taiwan, dan sejak peristiwa itu, memerintah pulau di tenggara China daratan untuk sebagian besar sejarahnya.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa dekade, keduanya terlibat perang dingin. Taiwan menikmati kemakmuran ekonomi yang luar biasa dan mengejutkan. Di sisi lain, kemajuan tersebut memberi andil bagi ledakan ekonomi China setelah Deng Xiaoping berkuasa. Bahkan ada yang menyebut , kesuksesan Taiwan juga merupakan keberhasilan China, kendati tak banyak yang menyadarinya lantaran pemberitaan tentang kedua negara ini, cenderung didominasi oleh ketegangan politik yang hebat.
Karena itu, China semakin tidak mau melepas Taiwan begitu saja apalagi untuk merdeka sepenuhnya. Pelan dan pasti, harapan serta obsesi China terhadap Taiwan pupus. Hubungan dua negara ini memburuk setelah Taiwan dipimpin Presiden yang terkenal anti-China, Tsai Ing-wen. Dalam kebijakannya, Ing-wen lebih memilih berjuang dengan mencari pengakuan internasional bagi negaranya, ketimbang membeo dengan tetangganya itu.
ADVERTISEMENT
Seperti disebut di awal, wacana dan rencana reunifikasi menjadi narasi besar bagi kedua negara. Taiwan, di sisi seberang menganggap itu adalah ancaman serius bagi kedaulatannya, sementara China melihat Taiwan yang punya pemerintahan sendiri sebagai “provinsi yang memisahkan diri”, yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari RRC kembali. Dalam artikel yang dimuat BBC, Presiden Tiongkok, Xi Jinping tak ragu mengatakan “penyatuan kembali” dengan Taiwan “harus dipenuhi”, dan tidak mengesampingkan kemungkinan penggunaan kekuatan untuk mencapai hal itu. Serasa dengan itu, tulisan "Why China-Taiwan Relations are so Tense" yang dipublikasikan Center in Foreign Relations (CFR) menjelaskan, China hingga kini belum meminggirkan kemungkinan mengambil alih Taiwan "dengan paksa, jika itu diperlukan". Reunifikasi Taiwan dengan daratan utama masih tersemat eksplisit dalam agenda pemerintah China.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, hal yang juga kurang lebih sama dikemukakan AS melalui laporan laporan Kementerian Pertahanannya pada tahun 2020. Pentagon dalam konteks ini berpendapat, upaya penyatuan Tiongkok atas Taiwan secara paksa sangat mungkin terjadi. Bahkan, saingan ekonominya itu telah mempersiapkan diri dengan serangkaian kebijakan guna mempengaruhi peta geopolitik dunia, dengan mempertebal sarana pendukung militer, dari anggaran hingga alutsista. Melihat situasi di lapangan, Menteri Pertahanan Nasional Taiwan, Chiu Kuo-cheng mengakui, seperti dikutip Taipei Times, ketegangan antara kedua negara tengah berada di level terburuk dalam kurun 40 tahun terakhir.
Dalam usaha merespons wacana tersebut, sejumlah pakar telah berpendapat soal isu invasi China ke Taiwan. Beberapa di antaranya menyebut Negeri Panda akan melakukan invasi, namun terkait kapan waktu yang tepat, itu belum dapat diketahui secara lugas. Ada yang menyebut tahun 2049 adalah waktu-waktu krisis dan menegangkan, mengingat Presiden Xi Jinping pernah menegaskan, penyatuan dengan Taiwan sangat penting dalam misinya guna mewujudkan apa yang kemudian dirumuskan sebagai“Chinese Dream”. Chinese Dream atau Cita-cita China ini merupakan tujuan utama yang hendak dicapai, terutama mengembalikan status adikuasa pada tahun 2049. Sementara pihak lainnya berpendapat, invasi seperti yang dilakukan Rusia ke Ukraina tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit pakar melihat China memiliki pekerjaan rumah atau beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan, jika benar visi Presiden Xi hendak diwujudkan. Profesor Kajian Pertahanan dan Strategi dari Australian National University (ANU), John Blaxland menjelaskan seperti dikutip The Conversation, posisi China akan sangat rentan jika memutuskan untuk berperang di kawasan Indo Pasifik. Itu karena tantangan yang dihadapi bukan saja berasal dari sistem pertahanan dan sekutu Taiwan, tetapi juga negara-negara lain yang berbagi perbatasan laut dengannya termasuk Indonesia.
Analisis senada juga diutarakan ilmuwan politik internasional, Michael Beckley dalam tulisannya yang terbit di jurnal International Security, "The Emerging Military Balance in East Asia: How China's Neighbors Can Check Chinese Naval Expansion (2017). Ia menjelaskan bahwa prospek China cukup kecil untuk mengembangkan kekuatan militer sampai bisa merebut Taiwan, atau Laut China Timur dan Selatan (LCT/LCS). Alasannya, negara-negara di sekitar LCS sudah punya kapabilitas anti-access/area denial (A2/AD), semacam sistem persenjataan dan pertahanan untuk menghalau musuh masuk ke wilayah mereka. Selain itu, ekonomi China juga dianggap belum mampu membiayai pasukan dan teknologi perang yang mampu menangkal pertahanan negara-negara tetangga, terlebih bagi mereka yang disokong langsung oleh militer AS.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Christopher Lee dalam analisisnya yang dimuat New Europe, "Why China cannot Invande Taiwan" berpandangan, Beijing tidak dapat menyerang Taipei jika didasarkan sejumlah batasan strategis dan operasional Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA). Pertama, Beijing tidak punya pengalaman meluncurkan pembangunan cepat dan mempertahankan operasi pasukan darat. Kedua, invasi amfibi skala besar adalah salah satu operasi militer paling rumit dan sulit. Ketiga, tidak mungkin pasukan udara China dengan mudah mengamankan pertahanan Taiwan. Terakhir, terlepas dari retorika militer yang agresif, tentara nasional China tidak memiliki pengalaman tempur modern, terutama dalam operasi gabungan.
Negara dengan ekonomi kedua terbesar dunia ini belum pernah berperang sejak tahun 1979, yang berarti tidak ada pemimpin dan pasukan mereka saat ini yang memiliki pengalaman tempur. Mengingat kendala strategis, operasi dan taktis, kecil kemungkinan China dapat secara efektif mengambil alih Taiwan. Namun, bagaimanapun juga, kita harus selalu tetap terbuka atas segala kemungkinan yang ada. Seperti yang dikemukakan ilmuwan politik asal AS, Francis Fukuyama, bahwa perang tidak boleh diasumsikan tidak akan terjadi, melainkan harus dipahami sebagai probabilitas yang mungkin. Rusia dan Ukraina bisa jadi contoh yang hangat.
ADVERTISEMENT