Konten dari Pengguna

Keletihan Intelektual

Wahyu Hidayat
Kandidat Magister UIN Malang, Redaktur Majalah Tebuireng, Aktif di Komnas PA Jombang
4 Februari 2025 9:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber : Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Kumparan.com
Pemberian pengelolaan tambang pada universitas adalah salah satu cara mematikan sikap kritis kampus terhadap kekuasaan, narasi ini bisa terbukti dari kasus sebelum nya pemberian hak pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan, menjadikan tumpulnya kritisasi terhadap pemegang kekuasaan. Kekuasaan pemerintah harus dibatasi (diawasi), jika tidak sudah pasti akan sewenang-wenang terhadap masyarakat dan akan menjauhkan negara ini dari kesejahteraan. Karena mereka akan menguntungkan dirinya dan kelompoknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada universitas bukan hanya menyalahi prinsip dasar pendidikan, tetapi juga mencerminkan kooptasi kekuasaan terhadap institusi akademik. Universitas yang seharusnya menjadi benteng intelektual justru dijebak dalam lingkaran bisnis ekstraktif yang sarat kepentingan politik dan ekonomi. Dalam jangka panjang, hal ini akan melahirkan generasi akademisi yang pragmatis, yang lebih fokus pada akumulasi kapital dibandingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan kritik sosial. Institusi pendidikan kehilangan integritasnya, maka kehancuran peradaban menjadi keniscayaan. Jika universitas dijadikan alat legitimasi kekuasaan, fungsi ilmiah kampus akan terkikis, dan kita akan menghadapi era di mana kebenaran akademik tunduk pada kepentingan oligarki.
Matinya Kepakaran dan Hilangnya Integritas Universitas
saya tidak bermaksud mengidentifikasi semua kasus di lingkungan universitas kita ambil beberapa yang substansial dan sering terjadi bahkan hingga kini, pertama masalah joki publikasi jurnal internasional untuk menopang persyaratan guru besar. Ironi sekali memang beberapa oknum kebelet mendapatkan jabatan guru besar namun merusak integritas kampus, hal demikian ini juga terjadi pada mahasiswa yang menggarap skripsi, tesis bahkan disertasi menggunakan jasa joki untuk mempercepat kelulusan. Mereka berpikiran bahwa tugas akhir kuliah tidak akan membantu mereka mendapatkan sebuah pekerjaan. Kecacatan logika ini sering kita temui pada mahasiswa di kota-kota besar.
ADVERTISEMENT
Kedua, Matinya kepakaran. Kita memang sudah masuk pada zaman post truth, dimana kebenaran absolut bisa berubah dengan cepat, anda meyakini bahwa kambing berwarna putih ditengah orang-orang yang menyatakan kambing itu hitam, maka anda akan itu serta menyatakan kambing itu hitam. Pada kenyataannya memang warnanya putih. Hal ini terjadi pada setiap aspek kehidupan kita. Universitas gagal menjadi garda terdepan untuk menjaga kebenaran itu secara ilmiah. Diperparah dengan menurunnya inted kepercayaan masyarakat pada kaum akademik, seperti tertulis pada buku The Death Of Expertise (Tom Nichols). Tridharma perguruan tinggi, pengajaran, penelitian dan pengabdian hilang tanpa disadari oleh kalangan akademik kampus.
Yang terakhir, baru baru ini pemerintah mulai mencoba melemahkan nalar kritis kampus dengan memberikan pengelolaan tambang, ironisnya kampus menyambut hangat hal ini, bahkan sudah ada yang mengajukan lebih dulu. Bagaimana manajemen tambang kalau pendidikan belum tuntas diurus dengan baik. Bagaimana pendidikan kita bisa bersaing dengan negara seperti Jepang, finlandia dan negara lain.
ADVERTISEMENT
Wacana pemberian izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi menuai beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Herianto, secara tegas menolak usulan tersebut. Ia berpendapat bahwa tugas utama perguruan tinggi adalah mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, bukan terlibat dalam bisnis tambang yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Senada dengan itu, Pakar Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan bahwa peran perguruan tinggi adalah mencetak SDM berkualitas, bukan mengelola tambang seperti perusahaan tambang pada umumnya.
Selain itu, pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan maupun perguruan tinggi pada akhirnya akan menjadi bias kepentingan elite tertentu.
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mengaburkan fungsi utama institusi pendidikan sebagai penjaga moral dan pengembang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempertimbangkan dengan cermat dampak dari kebijakan ini terhadap integritas dan independensi perguruan tinggi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Intelektual Organik Terbentuk dari Kejujuran Akademik
Intelektual organik, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Antonio Gramsci, adalah individu yang tidak hanya memiliki kapasitas intelektual, tetapi juga berperan aktif dalam membentuk kesadaran sosial dan perubahan struktural di masyarakat. Salah satu elemen kunci dalam pembentukan intelektual organik adalah kejujuran akademik, yaitu komitmen terhadap integritas intelektual dalam penelitian, analisis, dan penyebaran ilmu. Studi oleh Honesty and Integrity Research Group (2021) menunjukkan bahwa akademisi yang mempraktikkan kejujuran akademik memiliki dampak lebih besar dalam membangun pemikiran kritis publik dibandingkan mereka yang terjebak dalam praktik plagiarisme atau manipulasi data. Hal ini membuktikan bahwa intelektual organik tidak hanya berorientasi pada produksi pengetahuan, tetapi juga pada transparansi dan kebertanggungjawaban terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, kejujuran akademik menjadi tantangan tersendiri. Studi dari Pusat Kajian Integritas Akademik Universitas Indonesia (2023) mengungkap bahwa 37% mahasiswa dan akademisi pernah terlibat dalam plagiarisme atau fabrikasi data dalam publikasi ilmiah. Fenomena ini mencerminkan adanya krisis dalam pembentukan intelektual organik, di mana akademisi lebih fokus pada produktivitas kuantitatif ketimbang kualitas dan kebermanfaatan ilmu bagi publik. Jika kejujuran akademik terus diabaikan, maka peran intelektual dalam menyuarakan keadilan sosial dan menciptakan solusi berbasis ilmu akan semakin melemah, membuat masyarakat rentan terhadap manipulasi wacana dan hilangnya ruang diskursus yang objektif.
Oleh karena itu, kejujuran akademik harus dikawal melalui reformasi struktural dalam dunia pendidikan tinggi dan publikasi ilmiah. Kebijakan seperti sanksi tegas terhadap pelanggaran akademik, transparansi dalam peer review, serta pendidikan etika akademik sejak dini perlu diperkuat. Studi dari The International Center for Academic Integrity (2022) menunjukkan bahwa universitas yang menerapkan kebijakan ketat terhadap integritas akademik mampu meningkatkan kualitas riset dan daya saing intelektual hingga 25% dalam satu dekade. Jika Indonesia ingin melahirkan lebih banyak intelektual organik yang mampu menjadi agen perubahan, maka kejujuran akademik harus dijadikan prinsip utama dalam membangun tradisi keilmuan yang kredibel dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT