Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Polemik RKUHP, Delik Pasal Penghinaan Presiden
5 Desember 2022 1:08 WIB
Tulisan dari Wahyu Indra Triyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Polemik RKUHP, Delik Pasal Penghinaan Presiden](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gkej15st7bptbv8g5pb4evar.jpg)
ADVERTISEMENT
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP merupakan isu kontroversial akhir-akhir ini, karena RKUHP adalah hal urgen untuk dilakukan sebuah perbaikan. Mengingat bagaimana produk hukum pidana yang masih belum maksimal dalam pengaturan serta implementasinya di lapangan, maka perbaikan itu harus dilakukan. Bahkan menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa, KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini penuh dengan ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Pembahasan RKUHP sendiri sudah mengalami proses panjang, terhitung sejak tahun 1958, sampai dengan saat ini. Penyusunan konsep KUHP baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaruan dan sekaligus perubahan atau penggabungan KUHP lama warisan zaman kolonial Belanda. Selain itu, proses pembentukkan RKUHP juga memiliki misi untuk mewujudkan dekolonialisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, demokratisasi hukum pidana, dan adaptasi serta harmonisasi hukum pidana yang progresif terhadap perkembangan zaman.
Akan tetapi, seiring pelaksanaannya, misi awal RKUHP yang semula untuk mewujudkan dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana, tidak terwujudkan dalam draf terakhir RKUHP. Alih-alih dekolonialisasi, pemerintah dan DPR justru mengembalikan kita ke zaman kolonial. Kita seolah dijajah oleh RKUHP yang masih diwarnai oleh berbagai pasal berwatak kolonial dan mengancam kebebasan berpendapat. Diantarannya terdapat dalam Pasal 218 dan Pasal 219 RKUHP terkait penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden atau wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia kembali dibuat bertanya-tanya “Apa urgensi dari pasal-pasal ini?”. Pikiran publik terpecah menjadi dua dalam menyikapi dan menyoroti hal ini. Ada yang menyikapi bahwa Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden wajib diadakan karena banyak masyarakat yang kebablasan di tengah jaminan HAM dalam kebebasan berekspresi hingga menjatuhkan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tetapi ada juga masyarakat yang berargumen bahwa pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden dalam RKUHP akan berpeluang mengancam kebebasan berekspresi.
Menelaah Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 2019 setidaknya bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan yang akan diuraikan. Adanya pengaturan yang ada di dalam Pasal-Pasal RKUHP terkait dengan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden masih tetap sangat relevan karena kebebasan berpendapat bukanlah hal yang absolut. Kebebasan berpendapat juga bagian dari hak yang yang dimiliki oleh setiap individu dan dijamin oleh konstitusi. Hal ini tercantum pada Pasal 28 E ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
ADVERTISEMENT
Meskipun ada jaminan untuk kebebasan berpendapat, bukan berarti kita bebas untuk melayang kritik bahkan hinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Dalam Pasal 29 ayat (2) menyatakan dalam menjalankan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Dalam hal penyelenggaraan negara, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak bisa diisolasi dari kebijakan hukum dan kebijakan publik. Negara wajib memperhatikan kepetingan masyarakat, karena masyarakat membutuhkan kebijakan hukum untuk membangun negara, sistem dan perangkat hukum, serta kebijakan publik sebagai cara memenuhi kebijakan perumusan RKUHP.
ADVERTISEMENT