Konten dari Pengguna

Menyoal Jatah Menteri untuk Partai Politik

Wahyu Nugroho
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
27 Mei 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju (sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev)
zoom-in-whitePerbesar
Para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju (sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev)
ADVERTISEMENT
Setelah Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 usai, mencuat kabar dari berbagai media mengenai jatah kursi menteri untuk partai politik tertentu. Isu kemudian diperuncing dengan realitas bahwa empuknya kursi menteri acap kali diperebutkan oleh berbagai kalangan, tidak terkecuali partai politik.
ADVERTISEMENT
Potret ini bukanlah sesuatu yang baru dalam perpolitikan Indonesia—terutama pasca reformasi. Pasalnya, formasi menteri dalam kabinet yang baru dibentuk pasca pemilu tidak jarang diisi oleh kader partai politik.
Fenomena berbagi jatah kursi menteri untuk partai politik tentu menjadi soal tersendiri terhadap sistem pemerintahan presidensial dan efektivitas kinerja kabinet. Ditambah lagi, adanya fakta tersebut seakan menjadi “tradisi” bahwa seorang menteri harus berasal dari partai politik.
Menteri merupakan pembantu Presiden yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, domain pengangkatan dan pemberhentian menteri berada di tangan Presiden. Hal ini adalah bentuk hak prerogatif presiden yang merupakan konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial.
Jika diamati, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada presiden. Konstruksi konstitusi yang demikian membuat pergulatan ketatanegaraan Indonesia berpedoman pada sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini, sistem pemerintahan presidensial menghendaki adanya sparation of power.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi presidensial, penerapan sparation of power dilakukan dengan membentuk pola hubungan terpisah antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif (Isra, 2019: 37-38). Dengan adanya pakem tersebut, anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif, dan begitu pula sebaliknya. Artinya, menteri dalam kabinet bukan merupakan anggota parlemen.
Kebiasaan itu kontras dengan tradisi parlementer yang menghendaki adanya distribution of power. Dalam bahasa yang sederhana, cabang kekuasaan eksekutif merupakan bagian dari cabang legislatif. Pada titik ini, menteri merupakan anggota parlemen yang notabene berasal dari partai politik.
Berdasarkan pemetaan dua sistem tersebut, kebiasaan yang telah berjalan selama ini dapat dikatakan tidak linier dengan spirit tradisi presidensial. Kebiasaan berbagi jatah kursi menteri untuk partai politik sebetulnya lebih dekat pada tradisi parlementer.
ADVERTISEMENT
Jika demikian, terdapat kerancuan antara sistem pemerintahan yang telah digariskan dalam konstitusi dan praktik politik yang telah berjalan selama ini. Secara formal Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, namun dalam kebiasaannya lebih cenderung pada tradisi parlementer.
Maka, terlihat jelas bahwa teori dan doktrin sangat diperlukan sebagai pedoman dalam praktik bernegara agar tidak melenceng terlalu jauh. Jika suatu negara menganut sistem pemerintahan presidensial, maka seyogyanya komitmen itu dijaga dengan segala bentuk konsekuensi yang lahir dari sistem tersebut.
Tentu pemilihan menteri yang berasal dari partai politik bukanlah barang haram dalam hukum. Hal ini sah-sah saja mengingat pemilihan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Namun, perlu diperhatikan bahwa menteri merupakan jabatan yang rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Menteri memiliki kewenangan yang cukup luas dalam suatu urusan pemerintahan. Ditambah, setiap kementerian mendapat gelontoran uang negara yang tidak sedikit jumlahnya untuk menjalankan roda pemerintahan. Akumulasi dari dua hal tersebut sudah menjadi alasan yang cukup untuk membuat seorang menteri dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika formasi menteri diisi oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dan keahlian dalam bidangnya, serta komitmen yang kuat terhadap integritas dan isu-isu kerakyatan. Dengan demikian, dapat terbentuk apa yang disebut sebagai “kabinet zaken”.
Namun faktanya, apa yang senyatanya terjadi tidak sejalan dengan apa yang seharusnya terjadi. Kebiasaan berbagi jatah menteri untuk partai politik selama ini hanya berfokus pada pemenuhan kepentingan politik praktis saja.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat terlihat dari beberapa formasi menteri yang diisi oleh kader partai politik, padahal tidak memiliki keahlian dalam urusan tersebut. Ditambah lagi, nihilnya komitmen terhadap integritas jabatan juga membuat banyak menteri dari partai politik terjerat kasus korupsi.
Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik memegang peranan penting dalam negara demokrasi. Partai politik merupakan wadah partisipasi dan aspirasi politik masyarakat, serta instrumen konstitusi untuk menjaga keseimbangan kekuasaan negara.
Berkaca dari hal tersebut, maka dapat dipetakan beberapa aspek penting. Pertama, komitmen terhadap sistem pemerintahan presidensial. UUD 1945 sebagai grondwet mengarahkan Indonesia pada sistem pemerintahan presidensial. Maka dari itu, pelaksanaan pemerintahan hingga aktivitas perpolitikan Indonesia seyogyanya bersandar pada tradisi presidensial secara konsisten.
ADVERTISEMENT
Jika praktik politik dan pergulatan ketatanegaraan Indonesia konsisten pada tradisi presidensial, maka kebiasaan berbagi atau bahkan meminta jatah menteri untuk partai politik akan semakin minim dilakukan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kabinet akan fokus menjadi domain kewenangan presiden.
Kedua, mendialogkan setiap kepentingan. Jika mengacu pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka politik “balas budi” presiden terpilih terhadap partai politik pengusung akan sulit dihindarkan.
Untuk mengantisipasi agar linier dengan tujuan negara, Presiden dapat mengangkat menteri yang berasal dari partai politik sejauh memiliki keahlian dalam urusan yang ditugaskan. Selain itu, kader partai politik yang akan diangkat sebagai menteri harus memiliki komitmen terhadap integritas jabatan yang dapat dibuktikan dengan track record.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mendesain ulang pengkaderan dalam partai politik. Jika diamati, pengkaderan dalam partai politik saat ini seakan terjebak pada komersialisasi partai politik itu sendiri. Mudahnya, pengkaderan dalam partai politik hanya bertujuan agar partai politik dapat meraih kursi sebanyak-banyaknya dalam suatu kontestasi politik.
Maka, sudah sewajarnya partai politik melakukan kaderisasi melalui pendidikan politik yang mencerminkan ideologi partai. Beranjak dari ideologi partai inilah yang kemudian berkembang menjadi gagasan untuk mencapai tujuan negara.
Selain itu, kaderisasi dalam partai politik harus memperhatikan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kaderisasi dalam partai politik dapat menjadi penyaring sekaligus pengembang kualitas SDM dalam bidang-bidang yang dibutuhkan. Dengan demikian, kualitas SDM dalam partai politik akan jauh lebih terjamin, sehingga kader partai akan mampu memberikan kontribusi nyata ketika ditugaskan dalam berbagai posisi seperti menteri.
ADVERTISEMENT
Hingga pada akhirnya, formasi menteri yang diisi oleh kader partai politik kelak merupakan kader yang profesional. Menteri yang berasal dari partai politik juga diharapkan memiliki idealisme dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan negara.
Namun di sisi lain, kewenangan untuk mengangkat seorang menteri harus menjadi domain presiden yang tidak boleh terkontaminasi dengan kepentingan partai politik. Tentu hal ini sebagai bentuk komitmen terhadap sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia.***
Wahyu Nugroho, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta