Konten dari Pengguna

Menyoal Pernikahan Beda Agama Pasca SEMA No. 2 Tahun 2023

Wahyu Nugroho
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
6 Mei 2024 13:25 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (sumber: MA RI)
zoom-in-whitePerbesar
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (sumber: MA RI)
ADVERTISEMENT
Isu pernikahan beda agama kembali mencuat pasca Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023. Melalui surat edaran tersebut, pengadilan dihimbau agar tidak menerima permohonan pencatatan perkawinan beda agama dengan alasan untuk memberikan kepastian dan keserasian penerapan hukum.
ADVERTISEMENT
Adanya praktik pernikahan beda agama sebenarnya merupakan akibat dari struktur masyarakat Indonesia yang heterogen baik suku, budaya, dan agama. Sementara itu, cinta sebagai salah satu nilai fundamental dalam pernikahan terkadang mampu melampaui segalanya, termasuk agama (Sa'dan, 2016: 318).
Dengan adanya surat edaran ini, maka berkembang diskusi dan perdebatan publik. Satu pihak menganggap lahirnya surat edaran ini merupakan potret kemunduran besar bagi Mahkamah Agung. Namun pihak lain menganggap surat edaran ini sebagai penegas kepastian hukum atas peraturan yang berlaku.
Selayang Pandang Pernikahan Beda Agama
Secara umum, pernikahan beda agama dapat dipahami sebagai pernikahan antara dua orang yang berbeda agama dengan mempertahankan keyakinannya masing-masing (Eoh, 1996: 36). Pernikahan beda agama beranjak dari nilai toleransi dan pluralisme, serta cinta universal.
ADVERTISEMENT
Nilai toleransi dan pluralisme lebih menekankan pada pilihan pasangan untuk menghormati perbedaan agama satu sama lain dan menjaga harmonisasi hubungan antara keduanya. Munculnya pemahaman ini merupakan potret dari adanya interaksi antar budaya dan keyakinan, sehingga mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat.
Adapun nilai cinta universal lebih tertuju pada keyakinan bahwa cinta dapat melampaui batasan normatif dalam agama. Pada hakikatnya, setiap agama memiliki ajaran cinta kasih dan menolak pemahaman yang konfrontatif terhadap kondisi manusia. Hal ini yang menjadi dasar atas pemahaman cinta universal bahwa agama bukan merupakan halangan untuk menyatakan cinta kepada sesama manusia, meskipun berbeda keyakinan (Fauzi, dkk., 2023: 75).
Persoalan Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Secara praksis, pernikahan beda agama relatif sulit dilaksanakan di Indonesia. Dalam konteks ini, kepentingan masyarakat untuk melakukan pernikahan beda agama terbentur dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang tidak mengakomodir pernikahan beda agama. Jika mengacu pada peraturan tersebut, maka hanya akan didapati konsep perkawinan campuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU Perkawinan yang hanya bertalian dengan persoalan perbedaan kewarganegaraan, bukan perbedaan agama (Wahyuni, 2011: 24).
ADVERTISEMENT
Selain itu, syarat sah pernikahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 UU Perkawinan tidak secara tegas menentukan pihak yang berwenang untuk menafsirkan hukum agama atau kepercayaan mana yang berlaku dalam suatu kasus pernikahan beda agama. Dengan demikian, tidak adanya ketentuan mengenai pernikahan beda agama secara expressiv verbis menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menengahi permasalahan pernikahan beda agama (Wahyuni, 2011: 25; Sa'dan, 2016: 318).
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sumber: DPR RI)
Konstruksi UU Perkawinan yang multitafsir terhadap persoalan pernikahan beda agama membuat para hakim di lembaga peradilan tidak memiliki kesepahaman dalam menetapkan perkara pernikahan beda agama. Permasalahnnya, penafsiran yang beragam dari para hakim dalam hal ini dapat mengakibatkan inkonsistensi penerapan hukum. Selain itu, banyak kalangan menilai sering dikabulkannya permohonan pernikahan beda agama di Pengadilan Negeri dapat mereduksi hukum pernikahan yang telah berlaku di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SEMA No. 2 Tahun 2023 dan Kontroversinya
Mahkamah Agung berusaha memecahkan kejumudan permasalahan pernikahan beda agama dengan menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023. Pro dan kontra kemudian lahir sebagai respon atas terbitnya surat edaran tersebut. Hal ini wajar mengingat SEMA No. 2 Tahun 2023 mengandung muatan isu yang cukup menarik perhatian masyarakat luas.
SEMA No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan ditandatangani oleh Muhammad Syarifuddin selaku Ketua Mahkamah Agung dan diterbitkan pada 17 Juli 2023.
Isi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2023 (sumber: MA RI)
Menurut Ahmad Nurcholis selaku Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), terbitnya surat edaran ini menandakan kemunduran luar biasa bagi Mahkamah Agung. Pasalnya, jika dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung cenderung progresif terhadap putusannya mengenai pernikahan beda agama (BBC News Indonesia, 20/07/2023, para. 8-9). Hal ini dapat terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986 yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Putusan itu kemudian menjadi yurisprudensi bagi hakim setelahnya dalam menetapkan perkara serupa.
ADVERTISEMENT
Kendati SEMA hanya bersifat sebagai himbauan kepada para hakim di bawah kelembagaan Mahkamah Agung, Nurcholis tetap merasa khawatir dengan keluarnya SEMA No. 2 Tahun 2023. Dirinya menyebut, dengan adanya SEMA ini bisa saja hakim terpengaruh secara psikologis untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Dengan demikian, tertutup pintu untuk melaksanakan pernikahan beda agama secara legal (BBC News Indonesia, 20/07/2023, para. 12-13).
Pernyataan Nurcholis dapat dibenarkan jika menyandarkannya pada tatanan praksis, mengingat pola kelembagaan di Indonesia yang masih cenderung feodalistik. Hakim satu sisi juga seorang pegawai negeri memiliki posisi yang dilematis. Alhasil, kondisi yang demikian dapat menurunkan independensi hakim dalam memutus atau menetapkan suatu perkara sebab terpengaruh secara psikologis.
Sementara itu, Bivitri Susanti menyebut bahwa SEMA diterbitkan untuk mengontrol pengadilan dan mengikat bagi hakim serta harus ditaati. Dalam pembuatannya, tidak ada mekanisme kontrol lantaran sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung, sehingga terkadang rawan disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Menurut pengamatan Susanti, SEMA No. 2 Tahun 2023 tidak dapat dilepaskan dari kunjungan Wakil Ketua MPR, Yandri Susanto ke Mahkamah Agung sebelum surat edaran tersebut diteken. Sebelumnya, Susanto meminta kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama (Antara, 11/07/2023). Maka dalam titik ini, Susanti menganggap bahwa terbitnya SEMA No. 2 Tahun 2023 sarat akan intervensi politik (BBC News Indonesia, 20/07/2023, para. 19-24).
Secara doktrin, SEMA termasuk dalam kategori kebijakan (beleidsregel). Menurut Bagir Manan, beleidsregel merupakan peraturan kebijakan berdasarkan wewenang yang timbul dari freies ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara (Ridwan, 2014: 145). Surat edaran diperuntukkan sebagai wadah dalam operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak dapat mengubah atau menyimpangi peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Kekuatan hukum SEMA sebagai beleidsregel tidak langsung mengikat secara hukum, tetapi mengandung relevansi hukum (Ridwan, 2011: 175). Beleidsregel diperuntukkan kepada administrasi negara, sehingga yang pertama melaksanakan ketentuan tersebut adalah pejabat administrasi negara (Ridwan, 2011: 181-182). Dengan demikian, SEMA sebagai beleidsregel dapat dikatakan hanya sebagai himbauan kepada para hakim di bawah kelembagaan Mahkamah Agung, sehingga tidak dapat memaksa hakim untuk memutuskan atau menetapkan sesuai apa yang dikehendaki Mahkamah Agung.
Dibalik pandangan kontra mengenai SEMA No. 2 Tahun 2023, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh justru mengapresiasi ditekennya surat edaran tersebut. Bagi Sholeh, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak memberikan dasar terhadap legalitas pernikahan beda agama. Konsekuensinya, praktik pernikahan beda agama bertentangan dengan hukum dan tidak sesuai dengan asas legalitas sehingga tidak dapat dicatatkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurutnya, praktik pernikahan beda agama yang terjadi selama ini merupakan bentuk penyelundupan hukum yaitu dengan pindah agama sementara untuk sekadar bisa dicatatkan di kantor catatan sipil. Maka menurut Sholeh, hadirnya SEMA No. 2 Tahun 2023 ini merupakan wujud penegasan agar tidak ada kesimpangsiuran pemahaman yang dapat berakibat pada ketidakpastian hukum (BBC News Indonesia, 20/07/2023, para. 35-41).
Perspektif Hukum Islam
Pandangan yang disampaikan Sholeh tersebut sebenarnya beranjak dari ajaran agama-agama di Indonesia yang relatif melarang pernikahan beda agama yang kemudian dikerucutkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Sholeh sebagai Ketua Bidang Fatwa MUI tentu sedikit banyak mendasari argumentasinya dengan konteks hukum Islam. Dalam hal ini, larangan pernikahan beda agama termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 221 sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Larangan pernikahan beda agama yang ada dalam ayat tersebut berlaku kepada laki-laki muslim dengan perempuan musyrik atau perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam memahami cakupan makna kata “musyrik”.
Ibn Jarir al-Ṭabari sebagaimana juga disepakati oleh Muḥammad ‘Abduh memahami kata musyrik hanya melingkupi bangsa Arab saja, sebab mereka pada saat turunnya wahyu tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala (Riḍā, 1367 H: 187-190). Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat bahwa cakupan musyrik itu dapat berasal dari bangsa Arab atau non Arab selain ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani), sehingga mereka haram untuk dinikahi (Zuhdi, 1991: 105).
Maka dari itu, terdapat kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan seorang perempuan ahl al-kitāb sebagaimana dimaksud dalam Q.S. Al-Mā’idah (5) ayat 5, dan kebolehan tersebut tidak berlaku sebaliknya.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kendati terdapat kebolehan untuk melakukan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb dalam naṣṣ, pada kenyataannya praktik ini telah lama ditinggalkan oleh masyarakat Islam sebab dianggap sudah tidak relevan lagi. Praktik pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan ahl al-kitāb dilakukan dalam rangka ekspansi dakwah Islam pada masa lalu (Sa'dan, 2016: 323). Maka dapat dikatakan, larangan pernikahan beda agama dalam hukum Islam saat ini jauh lebih ketat dengan adanya fakta hukum dan fakta sosial yang terjadi.***
Wahyu Nugroho, Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta