Konten dari Pengguna

Pers, Demokrasi, dan Negara Hukum

Wahyu Nugroho
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
27 Juni 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pers, demokrasi, dan negara hukum (sumber: unsplash.com/Markus Winkler)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pers, demokrasi, dan negara hukum (sumber: unsplash.com/Markus Winkler)
ADVERTISEMENT
Hal ihwal kebebasan pers kembali menjadi perbincangan hangat seiring dengan munculnya naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di muka publik. Sebagian pihak menilai RUU yang tengah digodok tersebut dapat berpotensi memberangus kebebasan pers. Pasalnya, RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan hukum yang tergolong karet sehingga sangat rentan menjerat jurnalis.
ADVERTISEMENT
Apabila ditelisik lebih dalam, kebebasan pers bukan hanya soal kemerdekaan jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya, melainkan juga bertalian langsung dengan kehidupan demokrasi. Jika pers dikatakan sebagai corong demokrasi, maka kehidupan pers yang terbelenggu mengindikasikan kehidupan demokrasi yang melesu.
Sementara itu, dengan adanya beberapa pasal karet dalam RUU Penyiaran akan berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum. Tentu kondisi ini dapat menjadi permasalahan yang cukup serius dalam konteks relasi rezim negara hukum dengan masyarakat.
Upaya untuk membatasi gerak gerik pers oleh pemerintah sejatinya bukanlah barang baru di Indonesia. Sebagai misal, ketentuan Surat Izin Tjetak (SIT) yang ada pada masa Demokrasi Terpimpin atau pembredelan yang kerap kali dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Dengan adanya UU Pers pasca reformasi, sebetulnya merupakan upaya untuk menyeimbangkan antara kebebasan pers dan kesadaran profesi pers. Dalam hal ini, pers mendapatkan jaminan hukum atas pekerjaannya, namun tetap mendorong agar pers dalam melaksanakan profesinya tidak berlaku sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Orientasi yang ada dalam UU Pers tersebut nampaknya kontras dengan beberapa isi materi dari RUU Penyiaran. Betapa tidak, beberapa ketentuan dalam RUU tersebut seakan menunjukkan kecenderungan pada pembatasan kebebasan pers secara tidak proporsional, sehingga semakin memojokkan peran pers di muka publik.
RUU Penyiaran (sumber: DPR RI)
Perlu diketahui, RUU Penyiaran nantinya akan berfokus pada aktivitas jurnalisme yang berkaitan dengan lingkup penyiaran. Maka dari itu, RUU Penyiaran memuat ketentuan mengenai Standar Isi Siaran (SIS). Secara praksis, SIS akan dijadikan sebagai guidence terhadap isi konten yang akan disiarkan.
Salah satu titik yang menjadi perhatian publik terkait SIS dalam RUU Penyiaran adalah berkaitan dengan larangan penayangan jurnalistik investigasi. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran.
Pasal 50B ayat (2) RUU Penyiaran (sumber: DPR RI)
Jurnalisme investigasi merupakan aktivitas memformulasikan dan menerbitkan berita berdasarkan hasil investigasi atas suatu hal yang dinilai memiliki kejanggalan (Kurnia, 2004: 6-7). Output dari aktivitas tersebut adalah karya jurnalistik investigasi. Dengan adanya jurnalisme investigasi, masyarakat dapat mengetahui informasi-informasi secara lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, perlu disadari bahwa aktivitas jurnalisme di Indonesia seringkali terbentur dengan kepentingan politik berbagai pihak. Hal inilah yang terjadi pada RUU Penyiaran. Nampak bahwa konfigurasi politik mempengaruhi ketentuan SIS dalam RUU Penyiaran, sehingga berujung pada larangan penayangan jurnalistik investigasi.
Padahal, jurnalisme investigasi itu sendiri merupakan bentuk dari penghidupan demokrasi. Dalam konteks ini, adanya jurnalisme investigasi dapat dikonsepkan menjadi dua hal. Pertama, membuka secara transparan terhadap seluruh kerja-kerja pemerintah yang berimplikasi pada kepentingan umum. Kedua, dapat meminimalisir kesewenang-wenangan pemerintah melalui mekanisme controlling dari masyarakat. Pada titik ini, menjadi terang bahwa jurnalisme investigasi merupakan bagian penting dari kehidupan demokrasi.
Jika dikaitkan dengan pers, maka jurnalisme investigasi merupakan ruh dari pers itu sendiri. Agak hambar rasanya jika tayangan media tidak diwarnai dengan hasil investigasi yang dilakukan oleh jurnalis. Namun demikian, jurnalisme investigasi harus dilakukan secara adil dan proporsional dalam arti produk jurnalistik yang dihasilkan harus berdasarkan data yang tidak melanggar privasi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, SIS dalam RUU tersebut juga melarang konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme. Keseluruhannya terdapat dalam Pasal 50B ayat (2) huruf k RUU Penyiaran.
Pasal 50B ayat (2) huruf k RUU Penyiaran (sumber: DPR RI)
Bagian inilah yang kemudian dinilai sebagai ketentuan yang karet, sebab muatan materi dalam ketentuan tersebut tidak dirumuskan secara sempit. Maka, dapat dikatakan bahwa muatan materi SIS dalam RUU Penyiaran bersifat open interpretative.
Dalam bahasa yang sederhana, muatan materi SIS dalam RUU Penyiaran tidak memiliki kejelasan sehingga siapa saja dapat menafsirkan ketentuan tersebut dengan konteks yang berbeda-beda. Jelas akibatnya, seorang jurnalis akan lebih mudah terjerat dengan ketentuan RUU tersebut.
Mengutip peristilahan Sudikno Mertokusumo (2010: 26), “hukum itu kekuasaan” bukan berarti “kekuasaan itu hukum”. Artinya, meskipun hukum itu kekuasan, jangan sampai hukum itu hanya terbuka bagi yang berkuasa. Jika hukum itu hanya terbuka bagi yang berkuasa, akan terlihat tendensi yang kuat mengarah pada penyalahgunaan hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa intisari dari negara hukum bukan hanya berkaitan dengan suatu persoalan wajib diatur dalam undang-undang, melainkan juga harus memperhatikan legal substance yang ada dalam undang-undang tersebut. Pembentuk undang-undang harus jeli melihat realitas kebutuhan hukum yang ada dalam masyarakat, bukan justru fokus pada kepentingan politik pihak tertentu ketika menyusun undang-undang.
Jika ditarik dalam konteks RUU Penyiaran, jangan sampai suatu produk hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk menekan kebebasan pers. Tentu yang demikian itu bukanlah esensi dan tujuan dari “hukum” yang sesungguhnya. Seyogyanya, para pembuat undang-undang harus berfokus pada spirit kebebasan pers yang telah dicanangkan sejak awal reformasi melalui UU Pers.***
Wahyu Nugroho, Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ADVERTISEMENT