Konten dari Pengguna

Urgensi Naskah Akademik dalam Perundang-undangan

Wahyu Nugroho
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
20 Mei 2024 7:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Naskah akademik KUHP (sumber: Kemenkumham RI)
zoom-in-whitePerbesar
Naskah akademik KUHP (sumber: Kemenkumham RI)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konsep negara hukum dalam perkembangannya mengalami konstruksi pemahaman yang berbeda-beda. Dalam gambaran Immanuel Kant, negara hukum hanya berfungsi sebagai penjaga malam, yakni tugas negara hanya menjaga saja agar hak-hak rakyat tidak diganggu atau dilanggar. Persoalan kesejahteraan rakyat, negara tidak boleh ikut campur. Dalam gambaran ini, negara disebut sebagai nachtwachkerstaat (Kusnardi & Ibrahim, 1987: 152).
ADVERTISEMENT
Pada perkembangan selanjutnya, muncul ajaran Friedrich Julius Stahl yang menyempurnakan ajaran negara hukum formil Kant. Paling tidak ajaran negara hukum materiil Stahl bertumpu pada 4 (empat) unsur berikut: Pertama, perlindungan hak asasi manusia. Kedua, pemisahan kekuasaan, Ketiga, pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur). Keempat, adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri (Zain, 1971: 154-155).
Kedua konsep negara hukum tersebut kemudian berkembang di Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah rechtstaat. Dalam konteks Indonesia, kontruksi Negara berdasarkan negara hukum termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum".
Dalam negara hukum, peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang menjadi acuan langsung dalam penegakan hukum dan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan bernegara. Namun sayangnya, masih banyak sekali peraturan perundang-undangan yang bermasalah dan ditolak oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK), baik untuk dibatalkan maupun untuk diberi penafsiran yang jelas. Permasalahan yang menjerat peraturan perundang-undangan selama ini tidak terlepas dari persoalan produk hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Perkara pengujian undang-undang (PUU) menempati jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan perkara lainnya di MK (sumber: MK RI)
Jika melihat kenyataan tersebut, maka posisi naskah akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi penting. Naskah akademik memberikan gambaran ilmiah yang mendasari suatu rancangan peraturan perundang-undangan yang hendak diajukan ke lembaga legislatif (Asshiddiqie, 2020: 225).
Dalam hal ini, naskah akademik menyajikan latar belakang mengapa suatu peraturan perundang-undangan diperlukan, dan bagaimana takaran efektivitas dari implementasi peraturan perundang-undangan tersebut. Selain itu, naskah akademik diperlukan untuk melakukan formulasi dari muatan materi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan (Mochtar, 2022: 74).
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, adanya naskah akademik merupakan upaya sterilisasi rancangan peraturan perundang-undangan dari kepentingan sesaat, kebutuhan mendadak, atau karena pemikiran yang tidak mendalam.
Tidak setiap peraturan perundang-undangan akan mengatur tentang hukum, melainkan juga mengatur persoalan lintas keilmuan. Sebagai kerja-kerja teknokratis, tentu naskah akademik selaras dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersifat rasional, kritis, objektif, dan impersonal.
Oleh karena itu, Jimly Asshiddiqie (2020: 225) menyebut bahwa pertimbangan-pertimbangan yang ada dalam naskah akademik berisi ide-ide normatif yang mengandung kebenaran ilmiah. Naskah akademik dapat menjadi sarana penting yang memudahkan perancang peraturan perundang-undangan untuk menerjemahkan pemahaman ilmiah dari beragam keilmuan, dan kemudian merumuskannya secara yuridis.
Jadi, penyusunan naskah akademik merupakan upaya kolaboratif antara pakar hukum dan pakar ilmu-ilmu lain yang sejalan dengan muatan materi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan (Hand0yo, 2018: 191-192).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, naskah akademik juga berperan sebagai wadah nyata keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (Levolt, dkk., 2023: 19). Dengan memperhatikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, naskah akademik akan memudahkan untuk menginventarisasi permasalahan yang timbul dari masyarakat.
Ketiga rambu tersebut juga akan memberi batasan akademik dari naskah akademik yang akan dibuat. Adanya pembatasan akademik dalam naskah akademik dirasa penting agar naskah akademik yang dibuat tidak hanya bertumpu pada keilmuan (doktrin) saja, melainkan juga ditopang dengan kenyataan empiris dan kebutuhan masyarakat (Muhsin, 2021: 11).
Dengan demikian, naskah akademik akan memuat substansi seputar latar belakang, fakta-fakta, dan permasalahan yang dipaparkan secara holistik dalam rangka menunjukkan urgensi pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Kedudukan naskah akademik tidak hanya penting dalam proses pembentukan undang-undang saja, namun juga dapat digunakan sebagai salah satu bukti dalam pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang di MK. Naskah akademik dapat digunakan oleh para pihak sebagai salah satu alat bukti surat atau tulis untuk menafsirkan ketentuan yang ada dalam undang-undang.
Hal ini dikarenakan naskah akademik memuat kajian mengenai landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari suatu undang-undang (Mochtar, 2022: 76; Supriyanto, 2016: 386). Kendati demikian, ketiadaan atau ketidaksesuaian ketentuan undang-undang dengan naskah akademik tidak secara serta merta membuat undang-undang a quo menjadi inkonstitusional dan dapat dibatalkan.
Ketiadaan naskah akademik dalam suatu undang-undang dapat dikatakan sebagai cacat prosedur. Hal ini berdasarkan Pasal 43 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik”. Namun demikian, adanya cacat prosedur tidak dapat menyebabkan undang-undang a quo batal, selagi prosedur-prosedur lainnya dapat terpenuhi (Supriyanto, 2016: 396-397).
ADVERTISEMENT
Pada posisi ini, menjadi sangat wajar jika naskah akademik sangat dibutuhkan, sebab naskah akademik memuat kajian berkenaan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Selain itu, naskah akademik yang dalam peristilahan Asshiddiqie disebut sebagai “academic draft” juga diharapkan menjadi instrumen yang menyaring, menjembatani, sekaligus meminimalisir kepentingan politik para pembentuk undang-undang (Mochtar, 2022: 77).
Sebagai kerja-kerja teknokratis, maka para pembuat naskah akademik pun harus menampung permasalahan masyarakat secara akomodatif dan ilmiah. Hal ini penting agar kelak masyarakat dapat merasa memiliki dan menjiwai peraturan perundang-undangan tersebut.***
Wahyu Nugroho, Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta