(Bila) Anti Kekerasan Wanita Masih Sebatas Slogan

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
17 Desember 2021 21:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan korban kekerasan. Foto: Tim kreatif kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan korban kekerasan. Foto: Tim kreatif kumparan
ADVERTISEMENT
Linimasa peristiwa kekerasan terhadap perempuan di dunia dalam kondisi yang memprihatinkan. Di Indonesia selama pandemi covid-19 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat secara signifikan. Hingga paruh tahun 2021 jumlah kasus pelecehan lebih tinggi dibanding tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Jika begitu banyak kasus yang dimuat dan dilaporkan, sangat mungkin kasus yang tak terlaporkan pun lebih besar lagi jumlahnya. Kita seakan sedang dikitari ancaman-ancaman kekerasan seksual yang terjadi kapan saja kepada siapa saja. Dunia serasa tidak aman bagi kita semua.
Sebagai penyintas pun tak mudah menghadapi munculnya berita-berita kekerasan seksual. Kadang muncul rasa cemas yang berlebihan, kemudian merasa bersalah dan merasa sangat bodoh karena tidak bisa melindungi diri sendiri di masa lalu. Saat ini hanya bisa berharap semoga para penyintas kekerasan seksual mendapatkan banyak dukungan dan pertolongan dari banyak pihak dan bisa menjalankan hidupnya.
Serasa absurd, setelah segala harapan dukungan dan pertolongan ditumpukan kepada masyarakat yang masih bersifat patriarki. Apakah mungkin seorang pria mau menjadi seorang feminis? Argumen cenderung berfokus pada apakah masuk akal secara ideologis bagi laki-laki untuk menyebut diri mereka feminis, atau apakah istilah feminisme inklusif untuk laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar masyarakat beranggapan menjadi feminis adalah keanehan. Dengan menjadi feminis, hak suara laki-laki diharapkan memunculkan sugesti dalam menyuarakan hak-hak perempuan yang termarginalkan. Di Indonesia, hak pilih perempuan telah dibuka seluas-luasnya meskipun kelantangan suaranya masih perlu terus diperjuangkan oleh kekuatan dan otoritas wanita itu sendiri.
Perempuan yang maskulin bisa menjadi alternatif pilihan. Di perkotaan perempuan-perempuan semakin mandiri dalam ekonomi, strata sosial maupun politik. Bahkan di desa-desa, cukup banyak wanita memegang tampuk kepala desa dan menjadi pedagang kaya sekaligus sumber perekonomian utama sebuah keluarga.
Bagi wanita lajang, dapat menjaga norma kesusilaan terutama pameran aurat di media sosial. Dalam hal-hal tertentu karakter jaim dan judes dibutuhkan untuk menghalau serangan-serangan pelecehan seksual. Desahan suara menggoda juga mengundang kekuatan sensualitas tinggi yang perlu dihindari.
ADVERTISEMENT
Di media online sering menampilkan foto-foto di ruang pribadi, seperti di kamar mandi, kamar tidur, WC hanya untuk kepentingan rating. Ironisnya keindahan tubuh wanita yang semestinya privat berubah untuk konsumsi publik yang cepat atau lambat menarik minat “orang biasa” maupun para hidung belang. Hal ini akan menjadi bulan-bulanan ketika wanita tidak berhasil mengendalikan dirinya sendiri.
Gerakan-gerakan anti kekerasan perempuan tidak berarti apa-apa ketika perempuan yang seharusnya subyek bergeser menjadi objek. Kondisi seperti ini secara tidak langsung membuat nafsu kaum lelaki mendekati bahkan melecehkannya. Pornografi menceritakan kebohongan tentang wanita.
Pornografi menceritakan kebenaran tentang pria. Ini berarti bahwa pornografi adalah representasi akurat dari cara pria, gay, dan hetero, membangun seksualitas mereka di sekitar dominasi, objektifikasi, dan dehumanisasi. Untuk itu feminisme melibatkan campuran altruisme, komunitas, minat intelektual, keyakinan politik, dan investasi pribadi bagi sebagian besar feminis wanita.
ADVERTISEMENT
Sikap radikal anti-porn dan anti-sadomasokisme dari para penggiat telah menghadapi perlawanan sengit dari para feminis pro-seks. Konsep gendercide telah dikritik sebagai konsep kacau, seperti pendapatnya bahwa feminisme belum cukup mengatasi masalah laki-laki dan maskulinitas. Kritik-kritik ini tidak berarti bahwa pria-pria ini bukan feminis sejati, atau pria tidak bisa menjadi feminis.
Itu hanya berarti bahwa ada argumen, perbedaan, dan kegagalan dalam feminisme, seperti dalam proyek pembebasan apa pun atau dalam upaya manusia apa pun. Ini mengingatkan kita bahwa feminis laki-laki bukanlah hal baru atau sempurna, tetapi mereka memberikan kontribusi penting bagi kemajuan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang nyata, yang dari kesalahannya kita dapat belajar, dari keberhasilannya dapat kita tiru.
Sudah saatnya para perempuan menyadari, bahwa berdiri seorang diri dalam mengatasi permasalahan perempuan jauh lebih berperasaan dibanding orang lain. Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi mereka tidak hanya mencakup ranah personal saja, melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah personal, budaya patriarki adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh laki-laki kepada perempuan. Atas dasar "hak istimewa" yang dimiliki laki-laki, mereka juga merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Secara historis, patriarki telah terwujud dalam organisasi sosial, hukum, politik, agama dan ekonomi dari berbagai budaya yang berbeda. Bahkan ketika tidak secara gamblang tertuang dalam konstitusi dan hukum, sebagian besar masyarakat kontemporer adalah, pada prakteknya, bersifat patriarkal.
Menjunjung tinggi keadilan dan menghargai manusia bukan atas dasar jenis kelamin harus diperjuangkan terus-menerus. Kesetaraan gender impian setiap manusia. Pendek kata, perempuan berjuang mendapatkan kesetaraan dengan bersikap adil dan memunculkan etika kesopanan agar dihargai orang lain dan sekitarnya. Semangat anti-patriarki.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo
ADVERTISEMENT