Haruskah Kita Mengimpor Budaya Antri?

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2021 16:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Depan hotel saya menginap selama di Belgia (Sumber : foto pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Depan hotel saya menginap selama di Belgia (Sumber : foto pribadi)
ADVERTISEMENT
Station Brussel-North, tujuh tahun lalu, saya mengalami peristiwa ini. Saya, sahabat saya sibuk mencari nasi yang cocok dengan lidah Indonesia. Sejujurnya, perdagingan selama di Belgia cukup menyiksaku walau kenyang tapi tetap gak nendang. Setiap hari gogling mencari informasi keberadaan kedai nasi, akhirnya kami mendapat informasi nasi yang cocok, yaitu di Stasiun Kereta Api Brussel.
ADVERTISEMENT
Hari itu, kami bersepakat menghentikan kebiasaan carnivora hingga sore. Sesampai di lokasi tujuan, rombongan harus antri 15 orang. Warna rambut pengantri rata-rata kekuning-kuningan alias pirang. Lima menit berlalu, rombongan pengantri tidak kunjung bergerak, dan karena penasaran saya keluar barisan. Saya melambung dari kiri mendekati kedai sembari melihat apa yang terjadi.
Tiba-tiba saya dikagetkan oleh ribut adu mulut satu orang teman saya dengan pengantri di belakangnya. Teman saya menuduh orang tersebut menyerobot ruang antre saya. Adu mulut hampir menjadi adu jotos, kalau saja petugas stasiun tidak segera menghampiri untuk melerai.
Kalau teman-teman memperhatikan kejadian tersebut, saya lah biang keladinya. Ketika saya memutuskan meninggalkan antrean mencari informasi yang dilakukan pedagang nasi, tiba-tiba celah yang saya tinggalkan diisi oleh pengantri di belakang saya.
ADVERTISEMENT
Setelah saling minta maaf, mereka melanjutkan antrian. Sebagai penebusan rasa bersalah, saya merelakan untuk mengulang antrian dari belakang. Kegalauan melanda, seketika laparku sirna.
Keesokan hari setiba di kelas, coach saya Caterine Beatrix mengode saya untuk keluar ruangan. “Weihyu, how are you?” Panggilan sesuai pakem walau terdengar aneh. Karena telah beberapa kali diucapkan, dan saya tidak protes akhirnya dianggap saya sepakat. Bu Caterine pun memberikan peringatan keras atas perbuatan saya dan teman-teman di stasiun kereta api.
Sesuatu yang tidak kusangka, ternyata petugas stasiun Brussel itu menelepon manajemen Antwerp, kampus tempat saya short course. Ia sebutkan ciri-ciri yang tertera di ID card kami yang sempat diperiksa oleh petugas.
“Hei! Itu siswamu tidak disiplin antri makan! Kembalikan saja ke negaranya!” Kemungkinan begitu yang disampaikan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya tidak terima teguran Bu Caterine. Saya akui tidak sabar kalau sudah urusan perut. Dan, juga saya berniat membeli bukan merampok. Seharusnya kalau mau fair, kedainya juga ditegur untuk membenahi SOP pelayanannya.
Tetapi, pelanggaran tetap pelanggaran. Belgia adalah salah satu negara yang paling padat penduduknya di dunia. Brussels adalah ibukota metropolitan terbesar dan pusat komersial utama. Karena itu, setiap pelanggaran keantrian dianggap tidak wajar, dan aib bagi negara tersebut.
Memang terkesan berlebihan. Namun ada norma yang berhasil dilahirkan dalam sebuah masyarakat seperti ini, yaitu saling mengendalikan sesama warga yang melanggar budaya keantrian. Sejak saat itu, rasa malu, takut, dan cemas kalau mau menerobos keantrian dari norma yang diyakini masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tidak saja di kedai nasi. Hampir di semua sektor kehidupan, kesadaran tinggi membudaya di antara warga. SPBU tanpa penjaga pun, antrian pengisian BBM berjalan secara tertib berurutan.
Di jalan raya, saya melihat deretan mobil memanjang menyisakan dua lajur kiri kosong tanpa kendaraan. Sepertinya, bertahan lebih prioritas, dan benar-benar kondisi sangat memaksa kalau mau menyalip.
Ketika rombongan kami hendak memasuki Pelabuhan. Truk-truk petikemas ukuran jumbo yang masuk sabar mengantri. Mereka tahu hanya ada satu gate. Saya pernah menghitung satu tempel kartu masuk 30” hingga 1’. Tentu bisa dihitung berapa lama truk ke-50 menunggu.
Mereka memberi kesempatan moda lain melintasi lajur-lajur sebelahnya, termasuk hak pesepeda.
Kebiasaan-kebiasaan itulah yang membuat saya melatih kesabaran dalam mengantre makan siang di kantin kampus. Sekalipun tidak ada pengawas saya bersugesti seolah-olah ada pengawas sedang melototi saya kalau menyalip pengantri makan lainnya.
ADVERTISEMENT
****
Beberapa waktu setelah saya kembali ke Indonesia saya merasa terlahir kembali. Tetapi itu hanya sesaat, karena realitas yang saya temui hingga saat ini masih berbeda dengan Belgia tujuh tahun silam.
Saat ini banyak resto cepat saji menawarkan aplikasi untuk menekan jumlah antrean. Demi kenyamanan konsumen. Dan, tidak perlu pergi tiba-tiba pesanannya datang sendiri. Sadar tidak teman-teman? Hal itu akan menggerus tradisi mengantri.
Padahal di beberapa negara maju justru gencar pengelolaan restoran berbasis aplikasi beralih lebih manusiawi.
Serobot-menyerobot demi penumpang, saling salip sejak terminal, di jalan hingga tujuan banyak ditemui. Miris rasanya saat berpapasan dengan kendaraan semacam itu. Apakah perlu permakluman? Karena, di jalan bebas hambatan sekalipun seluruh lajur penuh, dan mereka bernafsu mendahului.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan petugas di Indonesia masih tinggi. Masyarakat tidak melanggar karena petugas dan leluasa melanggar tanpa petugas. Bahkan kenekatan mulai tampak ada petugas pun pelanggaran tetap dilakukan.
Kondisi berkebalikan dengan Pak Polisi di negara-nya Jean Claude Van Damme.
Di awal telah disampaikan menghilangnya budaya antri melanda seluruh aspek sosial. Nafsu berkuasa dari tingkat desa hingga kota pun berlangsung masif. Rasanya militer yang masih setia urut kacang dalam pemangkatan. Tahun kelulusan, masa kerja, senioritas, dan torehan jasa masih mendominasi. Hal itu mencerminkan budaya antri yang sudah sangat langka pada kehidupan sipil.
Adanya anggapan yang di lumrah kan di masyarakat. Kalau bisa jalur pintas mengapa mesti berproses panjang? Walaupun kadang saya pun terbawa ke arus tersebut. Berproses dikesankan lebih lambat. Dan, sementara di sekeliling kita menghendaki serba instan.
ADVERTISEMENT
Penutup, perlukah kita mengimpor budaya antri? Seluruhnya terpulang kepada diri kita masing-masing.
Wahyu Agung Prihartanto penulis, dapat dijumpai di akun Instagram @wahyuprihartanto628