Hilangnya Budaya Antre karena Aplikasi

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2021 17:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi layanan daily needs baru di GoFood Foto: Azalia Amadea/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi layanan daily needs baru di GoFood Foto: Azalia Amadea/Kumparan
ADVERTISEMENT
Apa pun situasinya mau tidak mau siap tidak siap hari ini kita memasuki era digitalisasi. Hampir dari bangun hingga tidur lagi tidak ada jeda sedikit pun kita menjauh dari aplikasi. Mulai desa hingga kota semuanya berada dalam satu genggaman.
ADVERTISEMENT
Hari itu, saya hendak makan ke luar bersama anak dan istri. Alih-alih masih dalam suasana pandemi kami berencana memilih rumah makan yang ada ruang terbuka, dan jika pun ada belum tentu sudah buka. Niat tulus saya rupanya ditentang anak-anak dengan dalih panas, berpeluh-peluh dan belum lagi masih antre.
Dalam kebimbangan karena belum ada kesepakatan, tiba-tiba datang kurir antar-jemput makanan bolak-balik di depan pagar rumah kami. Aku terhenyak, tatkala mengetahui mas Kurir suruhan melalui telepon genggam anak umur 12 tahun yang adalah ragilku, alias anak terkecil. Tersadar banyak kedai-kedai di luar sana menawarkan layanan pemesanan online bekerja sama dengan Go-Jek, Go-Car, Grab, Go-Food, dan go-go lainnya.
Menjamurnya aplikasi-aplikasi dalam suasana pandemi turut membentuk kenyamanan kita untuk tidak berkerumun. Pergeseran tradisi antre yang adalah budaya lokal kita sedikit demi sedikit tergeser oleh teknologi. Benarkah itu?
ADVERTISEMENT
Mungkin kita semua sepakat, menunggu adalah hal yang paling menjemukan. Mengantre makanan di restoran, misalnya. Tetapi, karena rasa cinta kita terhadap makanan tertentu akan membuat kita rela untuk melakukannya.
Suatu ketika saya mengantre di sebuah bank. Saya duduk di ruang tunggu yang hanya berisi 5 orang, dan salah satunya seorang nenek berusia 80 tahunan. Nenek Atiek ternyata telah berada di ruangan sejak pukul 07.30 bahkan sebelum pintu bank dibuka. Meskipun datang awal nenek Atiek tetap terima antrean nomor 15 karena nomor sebelumnya telah dipesan sehari sebelumnya.
Nenek Atiek tetap setia menunggu meskipun oleh petugas dipersilakan pulang sembari menunggu dari rumah. Ia menolak karena puas bertemu orang-orang dan bisa mengobrol dengan pak Satpam yang baik-baik. Setiap awal bulan ia luangkan waktu untuk ambil pensiun peninggalan almarhum suaminya.
ADVERTISEMENT
Kantong tas kulit nenek Atiek terbuka sedikit terlihat ATM masih baru karena mungkin belum pernah digesekkan dengan mesin ATM. Beberapa kali telepon genggam merk Nokia miliknya berdering dan terdengar sedang berbicara dengan anaknya.
Saya mencoba menyimpulkan sendiri kenekatan nenek Atiek. Bisa jadi ada dua sebab. Pertama, kesetiaan nenek Atiek mempertahankan tradisi antre. Kedua, nenek Atiek terkesima dengan keramahan petugas dan lalu lalang pengunjung bank.
Saya tidak sedang membahas fasilitas aplikasi perbankan yang semestinya dapat dimanfaatkan nenek Atiek. Yang lebih membuat saya gundah adalah kerelaan mengantre penerus nenek Atiek yang secara kasat mata mulai hilang.
***
Foto oleh Max Fischer dari Pexels.
Sebenarnya saya cukup takjub dengan yang dilakukan anak ragil waktu itu. Anggaplah kalau dia mau menunjukkan secara menohok. Bahwa ini ada aplikasi, tidak perlu keluar apalagi berpanas-panas, dan semuanya bisa dilakukan dari rumah sendiri bahkan dari kamar mandi sekalipun.
ADVERTISEMENT
Tapi kemudian saya merenungkannya. Anak saya tidak akan pernah memahami sakitnya disalip orang dengan memotong, anak saya tidak akan pernah mencium keringat orang berdesak-desakan, dan yang pasti anak saya tidak pernah menyaksikan kenikmatan menunggu. Aplikasi tidak mampu marah, aplikasi tidak bisa tersenyum, aplikasi tidak mungkin pingsan mencium bau kecut keringat. Intinya mesin tidak akan mampu menggantikan peran-peran humanis.
Saya yakin kalau KTP nenek Atiek tidak berlaku seumur hidup, beliau akan senang hati dan suka rela mendatangi kantor DUKCAPIL untuk perpanjangan. Nenek Atiek tidak akan kehilangan seandainya ATM nya hilang, menurutnya kartu itu hanya memenuhi dompetnya dan tidak bisa diajak bercengkerama. Di hari tuanya nenek Atiek butuh teman mengobrol untuk menceritakan cerita-cerita bersejarah jaman silam.
ADVERTISEMENT
Sahabat maya dengan sahabat nyata tentu sangat berbeda. Karakter, perilaku dan sifat orang akan mudah terbaca dengan bertatap muka. Pertemanan virtual alias tidak nyata hanya terlihat baik-baiknya saja. Sibuk sekolah, sibuk kerja, mager, dan lainnya semestinya tidak perlu meninggalkan aktivitas berinteraksi dengan manusia.
Apa pun yang kita inginkan agar menjadi baik jelas harus dimulai dari diri sendiri. Begitu juga jika kita menginginkan suatu kenyamanan di tempat umum, maka dari diri kita sendiri yang harus memulai agar tercipta kenyamanan tersebut. Salah satu kondisi yang pernah saya alami dalam menciptakan kenyamanan yang dimulai dari diri sendiri adalah budaya antre.
***
Salah satu tujuan saya setelah merampungkan tulisan ini adalah dapat diterima dan dimuat di media online ternama. Apalagi kalau tulisan saya nanti dipandang memiliki tingkat keterbacaan dan diseminasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Maka pagi itu saya bergegas membuka laptop dan pelan-pelan menyalakan jaringan wifi sambil menunggu koneksi. Setelah memeriksa ulang naskah dan menyempurnakan sana-sini, kemudian mengecilkan file tampilannya ke sisi bawah dashboard. Saya masukkan foto pendukung berserta keterangannya, mengisi deskripsi dan kata kunci.
Begitu semuanya siap, lalu kirim. Dan, selang beberapa menit muncul tulisan, “Tulisan saudara sedang dimoderasi oleh redaksi.” Saya baru sadar bahwa ini artinya mengantre!
Wahyu Agung Prihartanto, penulis dari Sidoarjo.