Menikmati Wisata Kultural di Kampung Sasak Lombok

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
16 Februari 2023 6:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Dok: Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai d’Traveller, saya tidak ingin menunda menikmati lokasi wisata kultural di Lombok. Hari itu pukul 09.00 Wita saya bersama keluarga berangkat dari Ampenan Mataram menuju ke Kampung Sasak “Sade” di Lombok Tengah.
ADVERTISEMENT
Dengan menggunakan mobil innova melintasi 5 kecamatan, Labuapi, Kuripan, Jonggat, Praya Barat, dan Pijut sebelum tiba Kampung Sasak.
Dengan jarak tempuh 45 Km, sebagian besar jalan by pass beraspal serta aspal satu jalur, jarak tersebut berhasil ditempuh dalam waktu 49 menit 53 detik.
Setiba di Rembitan Lombok Tengah, kami memarkirkan kendaraan, beberapa orang bersarung membalut celana kain dengan kaus lengan pendek berkrah, serta udeng di kepala mendekati kami. Setelah mereka berembuk, kemudian salah satu dari mereka mendekat lalu mengenalkan diri.
Sapaan hangat keluar dari mulut Amaq Bayu membuka pembicaraan. Amaq adalah panggilan seorang laki-laki Suku Sasak sebagai pemandu kami ber-healing kampung.
Sebelum berkeliling, kami diajak beristirahat sesaat di bruga sekenam (bangunan enam tiang) untuk mendengarkan penjelasan singkat tentang seluk-beluk Suku Sasak.
Dok: Pribadi.
Beberapa saat kemudian, kami mulai berjalan menyusuri lorong sempit di antara rumah-rumah warga serumpun suku sasak, yang berjumlah 150 kepala keluarga dengan 700 jiwa.
ADVERTISEMENT
Perkawinan serumpun terpelihara bertahun-tahun hingga kini dengan bermata pencaharian petani dan kerajinan kain tenun sasak. Perempuan sasak yang telah memasuki akil balik “wajib” bisa memintal kain berbahan kapas lokal sebelum memasuki jenjang perkawinan.
Keahlian memintal istri dibutuhkan untuk menunjang ekonomi suami sebagai petani yang hanya mengalami sekali panen dalam setahun yang hanya mengandalkan hujan untuk pengairan sawahnya.
Keterbatasan sumur, sehingga pemanfaatannya khusus untuk mandi dan masak seluruh warga. Suku sasak dipimpin oleh seorang Kepala Suku karena ketokohan dan senioritasnya, dan dipilih secara aklamasi turun-temurun.
Rumah adat suku sasak beratap daun sirap, berlantai tanah liat tapi tampak mengkilap meski hanya dipel dengan kotoran kerbau seminggu sekali.
Dok: Pribadi.
Saking sempitnya pintu rumah adat, kami masuk satu-persatu dengan sedikit menundukkan kepala, setelah di dalam terdapat ruangan cukup luas dengan lantai halus menyerupai keramik. Di atasnya, terdapat satu ruangan lagi berisi perkakas dapur dan persalinan.
ADVERTISEMENT
Setelah merasa cukup mengamati suasana dalam rumah adat, kami memutuskan keluar tetap dipandu Amaq Bayu. Di lorong belakang rumah adat tampak berdiri kokoh pohon nangka tua yang biasa digunakan pasangan muda-mudi sasak memadu kasih.
Meski, pohon tersebut sudah mati tapi tetap menancap di bumi. Kata Amaq Bayu, pohon tersebut akan dicabut dan ditanam bibit pohon nangka baru.
Suasana kampung Sasak, Dusun Sade, Lombok. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Lokasi terakhir yang kami kunjungi bernama menara pantau kampung sasak. Bangunan tersebut berbentuk seperti panggung dengan beberapa anak tangga menjulang ke atas. Sesuai perannya sebagai pemantau keamanan kampung, bangunan paling tinggi dibanding rumah adat maupun balai tani.
Balai Tani merupakan tempat menyimpan hasil panen padi dari 4 sd 5 keluarga yang dikelola secara swadaya. Ketahanan pangan harus terjaga selama setahun hingga musim panen berikutnya. Penghasilan harian keluarga diperoleh dari hasil penjualan kain tenun yang dibuat oleh istri dibantu anak-anak perempuannya.
ADVERTISEMENT
Setelah puas mengelilingi detail bagian Kampung Sasak Sade, kami pun berpamitan kepada Amaq Bayu, sembari berucap, “Matur tampiasih” (terima kasih), dan dijawab olehnya, “Pade-pade” (sama-sama).
Wahyu Agung Prihartanto, d’Traveller.