Sikap Menjelang 2024

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
28 Juli 2023 13:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Delapan bulan menuju pemilu 2024, riuh redamnya sudah terasa sejak beberapa bulan lalu. Interaksi politik telah berlangsung, bukan saja pada tataran komponen yang akan berkompetisi, melainkan menyebar pula ke publik. Panasnya temperatur yang terbangun dan embusan media massa membentuk interaksi politik memanas, dinamis serta kental kandungan adu domba.
ADVERTISEMENT
Ketika suhu terus membara serta polarisasi terus melebar, niscaya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini menjadi kewaspadaan bersama seluruh komponen masyarakat. Padahal, kesejatian politik adalah telinga, sehingga para calon pemimpin di masa menuju 2024 seharusnya mendengarkan suara rakyat.
Esensi politik menyangkut perbaikan masa depan bangsa yang lebih baik. Politik memerlukan keterlibatan seluruh unsur untuk memahami kebutuhan, problematika, kewenangan lembaga, hukuman, kelompok maupun lawan.
Kata Dr. Rusadi Kartaprawira, SH., komunikasi politik menurut kegunaannya yaitu untuk menghubungkan pikiran politik yang tumbuh di masyarakat, baik golongan, institusi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintah.
Perlu pemahaman masyarakat yang cukup saat ingin berkontribusi dalam percaturan politik. Tampaknya pemikiran Rusadi ini masih terasa hingga sekarang, ia mengatakan urgensinya penafsiran sengketa komunitas dalam interaksi politik. Saat itu, Rusadi mengusulkan pendekatan penafsiran bagi berbagai kelompok politik dalam berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Rusadi melihat komunikasi politik sebagai upaya pendekatan dalam membangun politik. Komunikasi politik meletakkan dasar dalam menganalisis problematika yang berkembang dari keseluruhan prosesi serta perubahan politik sebuah bangsa. Implementasi aspek-aspek tersebut dapat mengarahkan sikap berpolitik yang bijak, tidak cawe-cawe serta mencerahkan dalam berkomunikasi.
Ke depan, kesadaran interaksi politik mendasarkan pada semangat kekeluargaan dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Interaksi politik saat ini menghadapi polarisasi yang rawan cerai-berai bila tidak berinterpretatif pada sikap-sikap tersebut. Masifitas penggunaan media masa dalam penayangan berita-berita politik turut berkontribusi memperbesar polarisasi.
Keterbukaan media digital berpeluang meningkatkan tingkat partisipasi individu, kelompok, masyarakat untuk turut serta menentukan berbagai praktik politik. Kampanye advokasi berguna untuk memetakan pemangku kepentingan untuk memengaruhi kebijakan, meningkatkan kesadaran serta memobilisasi dukungan. Kampanye ini mampu mengadvokasi untuk memetakan orang-orang yang mampu memengaruhi masyarakat serta posisi dan motivasinya.
ADVERTISEMENT
***
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Saat genderang menuju pemilu bertalu, berbagai ungkapan, ucapan, nyinyiran bertebaran di ruang publik. Lompatannya menyebar hingga ke media publik lainnya, seperti baliho, banner, dan berpotensi menumbuhkan konflik meluas. Kondisi ini dapat mengganggu kedamaian negeri, bahkan jika semangat berkebangsaan tidak menyertai.
Menuju pesta demokrasi, kesempatan seluruh komponen ingin menampilkan sosok jagoannya di mata rakyat. Seluruh komponen menjaga peluang keterpilihan dan ketersohorannya. Karena, komunikasi politik merupakan inputan dari prosesi menjaga sosok, sehingga baiknya wajib menjalankan pranata yang ada.
Pranata mainnya bisa tertulis maupun tidak tertulis melalui pendekatan sikap kelayakan serta kewajaran. Menjauhi politik adu domba karena sangat membahayakan masa depan demokrasi. Beragam praktik adu domba seperti melayangkan gosip tanpa identitas, surat bodong, dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Selebaran surat berbentuk spanduk ataupun poster sengaja terunggah di medsos hingga viral. Jangan abaikan kondisi-kondisi semacam itu, karena suhu masyarakat akan memanas dan terprovokasi. Praktik komunikasi politik semacam itu memerlukan kewaspadaan bersama, jika kita tidak ingin terprovokasi lebih jauh.
Tren adu domba politik kian menguat, hal ini menunjukkan iklim demokrasi tidak sehat dan perlu mendapat pengobatan. Praktisi politik perlu memperoleh penataran etika berpolitik. Tidak banyak partai politik yang memiliki dan menjalankan pendidikan politik yang serius.
Masyarakat menyilakan siapapun figur atau partai yang hendak berkompetisi dalam pemilu kelak. Jika, mereka telah memiliki kapasitas, maka segeralah terjun ke medan perang. Harapan kita, bertempurlah dengan jujur, dan bila curang legowolah untuk menerima sanksi.
ADVERTISEMENT
Praktik kecurangan akan melukai hati rakyat, ketika rakyat resah pendekatan hukum menjadi terapinya. Saya dan Anda perlu mengawasi prosesnya, lalu melaporkan ke aparat penegak hukum saat mendapati kecurangan tersebut. Seperti yang diutarakan Rusadi sebelumnya, bahwa di tahun politik aktivitas konstelasi politik melaju secara masif.
***
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Setiap kontestan harus mengedepankan sikap etika, bijak, santun untuk mengais simpati rakyat. Sebagai mesin politik, partai paling bertanggung jawab dalam menyikapi hal ini. Partai politik perlu mengidentifikasi seluruh aspirasi politik, pemilih yang bertanggung jawab, kader militan, serta masyarakat secara luas.
Sebaliknya bila partai politik permisif terhadap nilai-nilai di atas, sejatinya bangunan komunikasi politik partai sedang tidak baik-baik saja. Partai politik merupakan pilar demokrasi, maka ketika pilarnya bermasalah, kita tinggal menunggu keruntuhan bangunan demokrasi. Dan, ketika demokrasi runtuh, cita-cita menjadikan negeri dari untuk oleh rakyat kian jauh api dari panggang.
ADVERTISEMENT
Keyakinan memelihara persatuan, bangsa yang beradab, keadilan sosial merupakan sikap yang perlu dikedepankan. Cukup, kita berpetualang menjauh dari jatidiri sendiri, kembali ke Pancasila dan UUD 1945 sangat mutlak keterdesakannya.
Seharusnya kita bersyukur, bahwa negeri ini masih menyisakan orang-orang dan institusi yang tetap setia mempertahankan sumber dari segala sumber tersebut sebagai genggaman hidup berbangsa dan bernegara.