Time Is (Not) Money

Wahyu Agung Prihartanto
Saya karyawan Pelindo III, Pendidikan Master Marine PIP Semarang, Pengamat & Penulis Kepelabuhanan & Sosial
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2021 10:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Agung Prihartanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto & Disain Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto & Disain Pribadi
ADVERTISEMENT
Kita kini bekerja lebih lama dari sebelumnya, baik untuk membuka dan membalas email saat larut malam atau menerima telepon pada pagi hari. Bagaimana aktivitas di luar jam yang gratis ini bisa menjadi bagian dari pekerjaan kita? Alih-alih pengabdian, aturan jam kerja normal dari pukul delapan pagi hingga lima sore tidak berlaku.
ADVERTISEMENT
Beberapa perusahaan, kantor, bahkan kantor pemerintah kejam dalam hal mempekerjakan karyawan baru. Beban kerja yang mengerikan hingga larut malam tidak bisa dinegosiasikan. Seorang teman yang bekerja di kantor advokat sebagai pengacara tidak mengenal uang lembur meskipun sering begadang, alasan demi klien.
Mereka tidak memiliki batas yang jelas kapan memulai dan menyelesaikan jam kerja. Mereka membuka email saat sarapan, jam kerja berlanjut hingga malam hari. Dilanjut zoom meeting bahkan hingga dini hari. Pekerja dapat mengaitkan kenaikan lembur dengan hilangnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Di kota-kota besar, Jakarta contohnya, pekerja berangkat sebelum anak bangun hingga pulang anak sudah tidur sangat biasa dan sering. Ishoma siang sering mereka tinggalkan untuk selisih pekerjaan yang tanggung. Banyak pekerja lembur di luar jam kerja telah menjadi harapan, bukan pengecualian.
ADVERTISEMENT
Namun ini jarang secara eksplisit dijabarkan secara lisan, apalagi secara tertulis. Sebaliknya, ini adalah kesepakatan semu antara majikan dan karyawan. Anda baru bisa keluar dari jam kerja setelah benar-benar menyelesaikan tugas pada hari itu. Lembur yang tidak dibayar telah menjadi bagian dari banyak pekerjaan selama beberapa dekade.
Di era industri, karyawan memiliki jam tetap mingguan. Jika mereka bekerja di luar jam kerja, berarti mereka akan mendapat upah tambahan. Namun pada pertengahan abad ke-20, budaya kantor berkembang pesat dan muncul pula rentang gaji pekerja kelas menengah. Jumlah pekerjaan yang diukur dengan target yang dikurangi.
Di tempat kerja modern, tanggung jawab tidak lagi dapat digambarkan dengan rapi seperti yang terjadi di pabrik. Fakta bahwa perusahaan mendasarkan jam kantor mereka pada delapan jam kerja dapat dibaca bahwa para bos berdasi menghabiskan waktu terlalu lama di meja mereka. Namun terlepas dari ini, hari kerja secara bertahap menjadi lebih lama. Jika anda menginginkan promosi, maka harus mengabdikan diri di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Adanya anggapan campur aduk bahwa jam kerja yang lebih lama terkait dengan produktivitas. Pada 1970-an, pekerja kantoran bisa makan malam dengan keluarga mereka. Pada 1990-an, mereka dikatakan beruntung jika bisa melakukannya pada akhir pekan.
Dalam ekonomi global, jam kerja berjalan searah dan peran teknologi hanya menjadi akselerator. Pada tahun 2010-an, setiap orang terkungkung dan terhubung secara digital untuk pekerjaan pagi, siang dan malam. Selain email masuk, panggilan dan pesan terkait pekerjaan menyerbu alat komunikasi yang sama yang digunakan orang untuk bersosialisasi.
Ilustrasi working from home (WFH). Foto: Getty Images
Sejak pandemi melanda, urusan kantor beralih ke digital. Pekerjaan jarak jauh telah menciptakan seorang staf siap sepanjang waktu. Meskipun itu mungkin tidak lagi mengharuskan begadang, bekerja hingga dini hari terus berlanjut. Anda tidak mampu mengatakan tidak, apalagi bos mengharapkan kita menelepon dan menjawab email di luar jam kerja.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara, ekspektasi budaya dimasukkan ke dalam jam kantor yang berlebihan. Hari pertama bekerja, anda pasti mencari sosial non-verbal untuk menyesuaikan diri. Jika ada orang yang bekerja lembur sampai akhir pekan, anda cenderung meniru perilakunya. Bahkan, panggilan zoom pukul enam pagi, anda tak kuasa menolaknya.
Jika ada perintah lembur anda akan melakukannya daripada ribut, meskipun komitmen tersebut tidak tercermin dalam penghasilan anda. Orang-orang selalu takut kehilangan pekerjaan dan melakukan pekerjaan lebih baik daripada lainnya.
Tekanan industri tertentu, karyawan beberapa pekerjaan kreatif dimaksudkan untuk merasa “beruntung”, keberuntungan bekerja secara ekstra. Bidang keuangan, begadang adalah ritus peralihan dalam perjalanan untuk menjadi mitra. Menantang norma sosial semacam itu di tempat kerja dianggap tabu.
ADVERTISEMENT
Narasi yang dibangun, bahwa kita adalah pekerja keras dan kolaboratif. Jam kerja yang panjang secara tradisional mengukur kerja keras dan produktivitas, meskipun bekerja lembur tanpa dibayar. Apalagi mereka merasa perusahaan telah memberikan banyak hal, dan layak untuk dibela sekalipun harus menelepon istrinya tengah malam karena terlambat pulang.
Jutaan orang di dunia berhenti dari pekerjaan dalam waktu bersamaan. Orang-orang optimis mungkin menyebut bahwa pada pasar tenaga kerja berkembang, pegawai akhirnya dapat mengambil inisiatif dan menuntut upah untuk lembur mereka. Kelompok yang protes dengan cara tidak masuk kerja biasanya adalah mereka yang berada pada fase karier tinggi.
Generasi yang lebih muda tidak memiliki kemewahan itu. Persaingan pekerjaan di perusahaan menuntut jam kerja panjang dan sengit. Jam kerja diperpanjang tertanam dalam budaya kantor, sehingga banyak bisnis bergantung pada lembur. Itulah sebabnya, bahkan di tengah pandemi praktik yang sudah dikenal itu kembali dilakukan.
ADVERTISEMENT
Perusahaan keuangan besar yang terkenal dengan budaya kerja berjam-jam menuntut staf kembali ke kantor lima hari seminggu. Jika bos mengamanatkan hari kerja yang panjang dan lembur yang tidak dibayar, sulit bagi karyawan untuk mengambil sikap dan mengatakan tidak. Bahkan, ketika pemerintah mengeluarkan arahan tentang jam kerja, para pengusaha adalah yang pada akhirnya menentukan keputusan.
Di Jepang dan Korea Selatan, misalnya, jelas bahwa ada tekanan budaya mengesampingkan upaya legislasi di banyak perusahaan. Tentu saja, ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jam kerja yang lebih sedikit meningkatkan produktivitas. Tetapi untuk pekerjaan yang didasarkan pada pengetahuan kesulitannya terletak pada bagaimana mengukur target.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.