Mahkamah Konstitusi dan Pelanggaran TSM Pemilu

Wahyu Rizki Farizma
Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
20 April 2024 23:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Rizki Farizma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi seakan sedang ditantang kekuasaan kehakiman yang dimilikinya oleh para pihak sedang bersengketa pada Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Ditantangnya Mahkamah Konstitusi terlihat dalam dinamika penyelesaian sengketa PHPU. Yaitu, ketika pemohon dari pasangan Ganjar-Mahfud mengingatkan Mahkamah Konstitusi tentang putusan yang monumental (landmark decision) yang telah dikeluarkan oleh pengadilan konstitusi tersebut. Kemudian, pemohon Ganjar-Mahfud beserta tim hukum juga mendalilkan telah terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan Masif (TSM) pada Pemilu 2024. Namun, dalil pemohon tersebut dibantah oleh pihak terkait yaitu tim hukum Prabowo-Gibran yang menyatakan bahwa pelanggaran TSM bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tentu hal ini menarik untuk dibahas apakah Mahkamah Konstitusi benar-benar tidak memiliki kewenangan terhadap pelanggaran TSM ini?
ADVERTISEMENT
UU Pemilu dan Pelanggaran TSM
Dalam UU Pemilu, tepatnya pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 sebenarnya telah mengatur mengenai pelanggaran TSM dalam Pemilu. Hal ini dapat kita temukan dalam muatan norma Pasal 286 dan 463 UU Pemilu. Berdasarkan isi norma dalam kedua pasal tersebut memang menyatakan terkait dengan pelanggaran TSM masuk ke dalam kewenangan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu. Jika merujuk pada hasil putusan PHPU 2019 sebelumnya, tepatnya pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang menyatakan apabila pemohon menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang terkait dengan pelanggaran TSM ini maka pendapat pemohon masuk ke dalam ranah pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.
Maka, jika dilihat dari norma yang mengatur Pemilu di Indonesia terkait dengan pelanggaran TSM ini, memang masuk ke dalam ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, jika berkaca pada Pemilu kali ini saya merasa apabila kita terus berpedoman pada UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya rasanya akan kurang tepat. Hal ini mengingat banyaknya pelanggaran baik secara administratif maupun etik yang dilakukan oleh badan yang berwenang dalam menyelenggarakan Pemilu. Tentu mekanisme Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang melindungi konstitusi dinilai tepat untuk menyelesaikan keributan yang telah lama berlangsung sejak proses Pemilu ini dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili TSM ini tentu akan memberikan keadilan bagi semua para pihak yang termasuk didalamnya pasangan calon presiden Prabowo-Gibran yang tentu seharusnya merasakan dirugikan terkait dengan tuduhan pelanggaran TSM ini. Melalui Mahkamah Konstitusi lah seharusnya para pihak mengklarifikasi terkait dengan pelanggaran TSM, agar tidak ada lagi tuduhan-tuduhan yang muncul di publik. Diharapkan dalam persidangan ini semua kebenaran dapat terungkap seterang-terangnya bagi masyarakat Indonesia.
Jangan sampai tuduhan-tuduhan ini hanya sebatas tuduhan saja tanpa adanya pembuktian kepada masyarakat terkait dengan tuduhan tersebut. Sebagai pihak yang merasa dirugikan oleh tuduhan ini, seharusnya mendukung Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran TSM. Dengan adanya pembuktian dalam Mahkamah Konstitusi setidaknya masyarakat akan lebih percaya demokrasi di negaranya masih berjalan dengan baik. Hal ini merupakan sebagai bentuk tanggung jawab bernegara dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moh. Hatta bahwa demokrasi harus dijalankan dengan tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Judicial Activism
Sebenarnya sangat terlalu dini mengatakan apabila mengatakan Mahkamah Konstitusi tidak dapat berwenang dalam memeriksa, mengadili, dan memutus pelanggaran TSM pemilu sampai putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. Sebab sebenarnya Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan konsep judicial activism dalam proses sengketa ini. Konsep judicial activism merujuk pada pendapat Jimly Asshdiqie yaitu kecenderungan perananan hakim menjadi sangat aktif melibatkan diri dalam persoalan-persoalan di luar tugas utamanya untuk memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan padanya secara independen dan imparsial. Titik kunci dalam konsep ini yaitu keindependenan lembaga peradilan untuk dapat menghadirkan keadilan substantif melalui peradilan.
Sebagai lembaga yang independen dan merdeka tentu Mahkamah Konstitusi sangat bisa menjalankan konsep ini yang mana dalam konteks ini Mahkamah dapat memeriksa, mengadili, dan memutus terkait dengan pelanggaran TSM. Konsep ini sangat relevan digunakan saat ini untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat terkait tuduhan-tuduhan yang selama ini beredar. Mahkamah Konstitusi dalam perjalanannya pun pernah mengeluarkan putusan yang berakar dari konsep judicial activism ini. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang berakar dari konsep judicial activism diantaranya yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-V/2007 dan lain-lainnya.
ADVERTISEMENT
Maka, bukan tidak mungkin pada sengketa PHPU ini Mahkamah Konstitusi juga melaksanakan praktik judicial activism dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa ini. Penggunaan konsep ini juga dapat dikatakan usaha Mahkamah Konstitusi menyelamatkan demokrasi Indonesia yang telah dijamin oleh UUD 1945. Sudah sewajarnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga guardian of constitution melakukan praktik judicial activism ini, kemudian melalui praktik tersebut Mahkamah Konstitusi juga membangun budaya bernegara di Indonesia dengan menciptakan hukum yang progresif untuk mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kemandirian Mahkamah Konstitusi
Tentu tanpanya kemandirian Mahkamah Konstitusi konsep judicial activism tidak dapat berjalan sepenuhnya. Maka diharapkan Mahkamah Konstitusi terus menjaga kemandiriannya sebagai lembaga peradilan. Terkhusus dalam memutus perkara PHPU pada tahun 2024. Kemandirian Mahkamah Konstitusi ini lah yang akan bisa membuktikan kebenaran dalam sengketa PHPU. Diharapkan Mahkamah Konstitusi harus berani dan tegas dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa PHPU ini sebagai lembaga negara yang mandiri, terlebih terhadap dugaan TSM yang telah didalilkan oleh pemohon.
ADVERTISEMENT
Sebab masyarakat membutuhkan kemandirian Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran yang sebenarnya telah terjadi pada Pemilu 2024. Jangan sampai tuduhan tersebut hanya sebatas tuduhan belaka yang tidak pernah dapat dipertanggungjawabkan tuduhan tersebut. Masyarakat juga butuh transparansi atas apa yang telah terjadi selama ini. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi harus benar-benar mandiri dalam menjalani proses sengketa PHPU ini.