Konten dari Pengguna

Pemerintahan Sistem Presidensil Dalam Bingkai Sistem Parlementer

Wahyu Rizki Farizma
Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas
12 Mei 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Rizki Farizma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Selain berebut kursi di parlemen, partai politik juga berebut kursi mentri di kabinet pemerintahan. Sumber: iStock.com
zoom-in-whitePerbesar
Selain berebut kursi di parlemen, partai politik juga berebut kursi mentri di kabinet pemerintahan. Sumber: iStock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Dalam Politik, tidak ada musuh abadi atau teman abadi”
Ungkapan tersebut sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia karena sering diungkapkan oleh politisi tanah air. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan komposisi partai politik di koalisi pemerintah yang sedang berkuasa. Terlebih kini pasca pemilihan umum di Indonesia, koalisi pemerintah yang sedang berkuasa mengalami perubahan di dalamnya. Mengenai istilah koalisi ini, awalnya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer yang menggunakan sistem multipartai. Namun, Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensil juga memakai sistem multipartai yang kerap menggunakan istilah koalisi dalam pemerintahannya. Oleh karena itu, bagaimana sistem koalisi ada di Indonesia dalam pemerintahan presidensil? dan apa dampak adanya koalisi dalam pemerintah presidensil di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Keberadaan Koalisi Dalam Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia
Salah satu amanat UUD 1945 saat dibentuknya Indonesia sebagai suatu negara yaitu diamanatkan untuk menjalankan pemerintahan dengan sistem presidensil. Maka dalam hal ini Presiden mendapatkan kewenangan untuk menjadi kepala pemerintahan di Indonesia. Mudahnya mengenai sistem presidensil ialah Presiden dijadikan kepala pemerintahan untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan yang kewenangannya berasal dari mekanisme pemilihan oleh rakyat. Secara teori, dalam sistem presidensil tidak dijalankan secara bersamaan dengan sistem multipartai. Namun, menariknya sistem presidensil di Indonesia saat ini menggunakan sistem multpartai. Hal ini dapat dilihat dalam Pemilihan Umum 2024 terdapat 18 partai nasional yang menjadi peserta pemilu di Indonesia.
Sistem multipartai sendiri sebenarnya bukan sistem yang baru dikenal dalam pemilahan umum pada belakangan ini. Pada pemilihan umum pertama di Indonesia pada tahun 1955 juga telah mengadopsi sistem multipartai dengan terdapat beberapa partai yang mengikuti pemilihan umum. Kemudian setelah mengadopsi sistem multipartai sejak pemilihan umum pertama, Indonesia juga menerapkan presidential threshold dalam pencalonan presiden. Presidential threshold sendiri ialah jumlah minimal presentase suara partai politik di parlemen agar bisa mencalonkan presiden dalam pemilihan umum. Dengan adanya dua hal ini yaitu sistem multipartai dan presidential threshold membuka peluang besar adanya koalisi dalam pemerintahan presidensil Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keberadaan koalisi dalam pemerintah ini, menimbulkan istilah kubu pemerintah dan kubu oposisi di Pemerintahan. Sedangkan istilah oposisi tersebut lebih lazim digunakan dengan sistem pemerintahan yang menggunakan sistem parlementer. Pada sistem parlementer istilah kubu oposisi dengan kubu pemerintahan akan terlihat dalam komposisi di Parlemen dalam menjalankan kewenangannya. Namun, jika dilihat di Indonesia komposisi parpol ini terlihat dalam kabinet yang ditunjuk oleh Presiden. Dapat dilihat dalam beberapa waktu ini, dalam pengisian kabinet di Indonesia dikenal menteri yang berdasarkan keahlian nya dan menteri yang berasal dari partai politik yang mendukung presiden pada saat pemilihan umum. Pada partai politik yang menyatakan tidak mendukung sang presiden baik sebelum maupun sesudah pemilihan umum, kita tidak akan menemukan kader partai politik tersebut dalam komposisi kabinet presiden.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat kita lihat dalam masa pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla pada masa jabatan 2014-2019. Pada pemilihan umum 2014 kedua pasangan ini diusung oleh gabungan partai politik yakni PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Kebangsaan, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Gabungan politik ini dikenal dengan Koalisi Indonesia Hebat. Setelah memenangkan pemilu terdapat juga partai politik yang tergabung yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Golkar. Kemudian sebagaimana pada umumnya Presiden akan membentuk kabinet setelah memenangkan pemilihan umum.
Pada saat membentuk kabinet dalam sistem presidensil ini, kita dapat melihat sifat pemerintah parlementer yang seakan-akan terdapat istilah koalisi pemerintahan dan oposisi. Dalam komposisi kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang dikenal dengan kabinet Kerja. Dalam kabinet ini, tidak ada sama sekali pun menteri yang berlatar kader partai politik yang tidak mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla baik menyatakan baik sebelum maupun sesudah pemilihan umum. Hal ini semakin jelas terdapat sifat pemerintahan parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dampak Koalisi Dalam Sistem Pemerintahan Presidesil
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem pemerintahan presidensil tidak mengenal adanya koalisi. Kemudian, Zainal Arifin Mochtar juga menyatakan bahwa tidak adanya urgensi sebuah koalisi dalam pemerintahan presidensil. Karena dalam sistem presidensil dalam penunjukan pemimpin dalam hal ini ialah presiden dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Berbeda dengan sistem parlementer, seorang Perdana Menteri (PM) membutuhkan koalisi dalam agar dapat menjadi Perdana Menteri yang dipilih melalui parlemen negara tersebut. Hal yang tidak urgensi ini terus berkembang di Indonesia hingga saat ini di Indonesia, sedangkan tidak adanya praktik tersebut di dalam teori sistem presidensial.
Tentunya dengan adanya praktik tersebut memiliki dampak dalam ketatanegaraan Indonesia. Setidaknya terdapat dua dampak yang akan timbul apabila praktik ketatanegaraan ini terus berkembang di Indonesia. Pertama, dalam penyusunan kabinet ditakutkan akan ada kepentingan partai politik yang tergabung di dalam koalisi tersebut. Dalam pembentukan kabinet presiden memiliki kewenangan penuh dalam penunjukan menteri nya sebagaimana amanat UUD 1945. Akan tetapi, jika seorang Presiden yang tergabung dalam koalisi partai politik tersebut tidak ingin suara partai politik tersebut hilang ditakutkan akan terjadinya jatah pembagian kursi menteri dalam penyusunan kabinet. Hal ini seolah-olah mengurangi kewenangan penuh presiden tersebut dalam pembentukan kabinet. Tentunya hal ini akan selalu jadi momok tertentu bagi siapa saja presiden yang terpilih dalam Pemilihan Umum.
ADVERTISEMENT
Kedua, apabila seorang presiden menghimpun banyak partai politik di dalam kabinet nya. Kemudian partai politik tersebut juga terdapat di parlemen, maka ditakutkan fungsi pengawasan oleh legislatif juga akan berkurang terhadap presiden. Hal ini juga dikarenakan masih terdapat anggota-anggota legislatif yang hanya mengikuti kemauan partai nya dibanding kemauan konstituennya. Tentu hal ini akan membahayakan apabila seorang eksekutif tidak diawasi melalui fungsi legislatif. Ditakutkan akan adanya abuse of power oleh eksekutif dalam hal ini pemerintah dalam menjalankan kewenangannya. Maka diperlukannya evaluasi terhadap norma-norma yang terkait melemahkan sistem presidensial di Indonesia. Agar Indonesia dapat menjalankan sistem presidensial secara murni di Indonesia.