Konten dari Pengguna

Emansipasi Wanita Tanpa Meninggalkan Fitrah Wanita

Wahyu Sri Utami
Halo, Saya Tami, seorang pembelajar yang saat ini sedang menempuh Pendidikan di Universitas Pamulang, Program Studi Magister Manajemen Pendidikan, Fakultas Pascasarjana.
22 April 2025 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Sri Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa Raden Ajeng Kartini (1879 - 1904) yang merupakan seorang pelopor Emansipasi Wanita. Melalui pemikirannya yang tajam dan cita-citanya yang tinggi, Kartini memperjuangkan hak-hak wanita untuk mendapatkan pendidikan, kesempatan, dan pengakuan yang setara di tengah masyarakat yang kala itu masih patriarki.
Ilustrasi Penguatan Judul Emansipasi Wanita tanpa Meninggalkan Fitrah Sebagai Wanita. Sumber: Dokumen Pribadi Penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penguatan Judul Emansipasi Wanita tanpa Meninggalkan Fitrah Sebagai Wanita. Sumber: Dokumen Pribadi Penulis.
Sejarah perjalanan Emansipasi Wanita di Indonesia sudah dimulai pada masa penjajahan Belanda, Kartini menyuarakan pentingnya pendidikan bagi wanita kala itu yang saat itu sangat dibatasi.
ADVERTISEMENT
Melalui surat-menyuratnya dengan teman-teman di Belanda, Kartini mengekspresikan pemikirannya tentang pendidikan untuk wanita, kebebasan berpikir dan keesetaraan hak antara laki-laki dan wanita.
Surat-suratnya kemudian dibukukan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang", yang menjadi semangat awal gerakan emansipasi di Indonesia. Pada tahun 1912 diibentuklah organisasi wanita pertama, Putri Mardika, untuk memajukan pendidikan wanita. Kemudian di tahun 1946 didirikan KOWANI (Kongres Wanita Indonesia), yang memperjuangkan hak-hak perempuan secara nasional. Pada Era Reformasi peran perempuan Indonesia mulai aktif di bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Namun, dalam semangat emansipasi yang digelorakan Kartini, penting bagi kita untuk tidak melupakan esensi utama dari fitrah seorang wanita. Emansipasi bukanlah berarti meniru peran laki-laki sepenuhnya atau menghapus perbedaan kodrati, tetapi memperjuangkan hak untuk berkembang tanpa kehilangan jati diri sebagai wanita.
ADVERTISEMENT
Kartini bukanlah tokoh yang menginginkan wanita melampaui batas kodratnya. Ia menginginkan agar wanita memiliki akses terhadap pendidikan dan berkontribusi dalam kehidupan sosial secara intelektual. Dalam surat-suratnya kepada sahabat pena di Belanda, Kartini menuliskan kegelisahan terhadap keterbatasan wanita Jawa yang hanya dijadikan pelengkap rumah tangga tanpa diberikan kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Baginya, wanita yang cerdas adalah pilar keluarga dan bangsa. Ibu yang terdidik akan melahirkan generasi yang kuat dan berkualitas. Maka dari itu, emansipasi adalah upaya untuk mengangkat derajat wanita, bukan menghapus fitrah wanita.
Fitrah wanita adalah kekuatan dalam kelembutan, ketegasan dalam kasih sayang, serta kemampuan untuk mendidik, merawat, dan mencintai dengan tulus. Dalam peran sebagai ibu, istri, maupun anggota masyarakat, wanita memiliki tempat yang sangat strategis dalam pembangunan peradaban. Tidak sedikit wanita modern yang berhasil menyeimbangkan peran domestik dan publik tanpa kehilangan keanggunan dan kelembutannya. Mereka tetap dapat menjadi pemimpin, profesional, maupun aktivis, sambil tetap memegang peran dalam keluarga dengan sepenuh hati.
ADVERTISEMENT
Perkembangan jaman telah membuka banyak ruang bagi wanita untuk berkarya. Namun, tantangan yang muncul justru saat sebagian perempuan merasa harus meninggalkan fitrahnya demi dianggap ‘setara’. Di sinilah pentingnya kembali pada semangat Kartini yang sebenarnya emansipasi yang tidak memberontak pada fitrahnya. Tetapi mengangkat harkat melalui jalur pendidikan, kebijaksanaan, dan kesadaran diri.
Emansipasi yang harmonis bukan berarti memilih antara karier atau keluarga, keras atau lembut, melainkan bagaimana seorang wanita mampu menjalankan keduanya dengan seimbang, bijak, dan penuh makna. Wanita bebas berkarya, namun tetap membumi pada nilai-nilai luhur yang melekat padanya.
R.A. Kartini mengajarkan kita bahwa wanita bukan makhluk lemah, melainkan pilar penting dalam peradaban. Emansipasi sejati bukan tentang menjadi seperti laki-laki, melainkan menjadi wanita seutuhnya yang cerdas, kuat, berdaya, namun tetap setia pada fitrahnya.
ADVERTISEMENT