Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Andaliman, di Antara Potensi dan Tantangan Regulasi dari Perspektif UU Kesehatan
14 April 2025 9:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Andaliman adalah sejenis rempah-rempah khas Indonesia yang berasal dari buah tanaman anggota genus Zanthoxylum. Dalam konteks kuliner dan pengobatan tradisional, yang dimaksud dengan Andaliman adalah buahnya yang memiliki aroma jeruk yang kuat dan rasa yang unik, memberikan sensasi "mati rasa" atau kebas ringan di lidah, diikuti dengan rasa pedas yang menyegarkan. Sensasi ini mirip dengan lada Sichuan, karena keduanya mengandung senyawa yang serupa, yaitu hydroxy-alpha-sanshool. Andaliman dikenal juga dengan nama lada batak. Andaliman merupakan tanaman endemik Sumatera Utara, banyak ditemukan di daerah dataran tinggi seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Berastagi, Kabanjahe, dan Simalungun.
ADVERTISEMENT
Andaliman telah lama digunakan secara tradisional oleh masyarakat lokal di Sumatera Utara untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan. Penggunaan ini diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari praktik pengobatan tradisional. Masyarakat percaya bahwa rasa pedas dan aromatik Andaliman dapat membantu melancarkan pencernaan, meredakan perut kembung, dan mengurangi rasa mual. Kandungan senyawa aktifnya diduga dapat merangsang produksi enzim pencernaan. Meskipun tidak sepopuler penggunaan untuk gangguan pencernaan ringan, beberapa masyarakat lokal menggunakan rebusan buah atau kulit batang Andaliman untuk membantu meredakan sakit perut dan diare. Beberapa masyarakat menggunakan rebusan buah Andaliman atau mencampurnya dengan bahan lain seperti madu untuk meredakan batuk dan sakit tenggorokan.
Andaliman sering ditambahkan ke dalam masakan, terutama pada hidangan berkuah seperti soto atau sup, yang dipercaya dapat memberikan efek menghangatkan tubuh. Beberapa masyarakat tradisional menggunakan tumbukan buah Andaliman yang dicampur dengan bahan lain (seperti minyak kelapa) untuk dioleskan pada bagian tubuh yang terasa nyeri atau mengalami peradangan, seperti nyeri otot atau sendi. Rasa dan aroma Andaliman yang khas seringkali digunakan sebagai penambah nafsu makan, terutama bagi orang yang sedang kurang sehat atau dalam masa pemulihan.
ADVERTISEMENT
Andaliman mengandung berbagai senyawa aktif yang berkontribusi pada aroma khas dan potensi manfaat farmakologisnya. Berbagai senyawa aktif tersebut adalah hydroxy-alpha-sanshool, limonene, beta-pinene, myrcene, dan senyawa fenolik dan flavonoid. Hydroxy-alpha-sanshool adalah kelompok alkaloid unik yang bertanggung jawab atas sensasi "mati rasa" atau kebas yang khas pada lidah setelah mengonsumsi Andaliman. Senyawa ini mempunyai manfaat farmakologis sebagai analgesik (pereda nyeri) dan anti-inflamasi. Limonene merupakan komponen utama dalam minyak atsiri Andaliman, memberikan aroma jeruk yang kuat. Senyawa ini mempunyai manfaat farmakologis sebagai antioksidan, anti-inflamasi, antikanker, dan anksiolitik (anti-kecemasan). Beta-pinene ditemukan dalam minyak atsiri Andaliman, memberikan aroma seperti pinus atau kayu. Senyawa ini mempunyai manfaat farmakologis sebagai anti-inflamasi, bronkodilator, dan neuroprotektif.
Myrcene berkontribusi pada aroma Andaliman. Senyawa ini mempunyai manfaat farmakologis sebagai anti-inflamasi, antioksidan, dan relaksan otot. Senyawa fenolik dan flavonoid merupakan kelompok senyawa dengan aktivitas antioksidan yang kuat. Senyawa ini mempunyai manfaat farmakologis sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan antikanker.
ADVERTISEMENT
Regulasi obat di Indonesia bertujuan untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang beredar serta melindungi kesehatan masyarakat. Kerangka hukum utama yang mendasari regulasi obat saat ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Selain UU Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki peran sentral dalam menyusun peraturan pelaksana, memberikan izin edar, melakukan pengawasan, dan penindakan terhadap pelanggaran di bidang obat dan makanan. Pengaturan obat tradisional di Indonesia saat ini bertujuan untuk memastikan keamanan, mutu, dan klaim khasiatnya bagi kesehatan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dalam Pasal 150, secara khusus mengatur tentang sediaan farmasi berupa Obat tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik. Ayat (1) menegaskan bahwa sediaan tersebut harus memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Ayat (2) memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan ini melalui Peraturan Pemerintah. UU Kesehatan memberikan dasar hukum bagi BPOM untuk menetapkan standar dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh obat tradisional agar dapat diedarkan di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan dan perhatian terhadap pentingnya pengawasan obat tradisional.
ADVERTISEMENT
BPOM adalah badan utama yang bertanggung jawab atas regulasi obat tradisional di Indonesia. Peraturan BPOM menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam UU Kesehatan dan mengatur berbagai aspek terkait obat tradisional. BPOM mengklasifikasikan obat tradisional menjadi tiga kategori utama berdasarkan tingkat pembuktian khasiatnya yaitu jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT), dan fitofarmaka. Jamu adalah obat tradisional yang dibuat secara tradisional dan digunakan berdasarkan pengalaman empiris. Proses pembuatannya sederhana dan biasanya menggunakan bahan-bahan alami. Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah obat tradisional yang selain memenuhi persyaratan Jamu, juga telah dilakukan pembuktian ilmiah secara praklinik (uji pada hewan atau laboratorium) dan bahan bakunya telah distandardisasi. Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik (pada manusia), serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.
ADVERTISEMENT
Setiap obat tradisional yang akan diedarkan di Indonesia wajib memiliki izin edar dari BPOM. Proses pendaftaran melibatkan evaluasi terhadap keamanan, mutu, dan klaim khasiat yang diajukan oleh produsen. Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Edar dan Nomor Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Kuasi, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik mengatur secara rinci tata cara penerbitan izin edar dan nomor pendaftaran untuk obat tradisional. Peraturan ini bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses perizinan, tetapi tetap menjaga standar keamanan dan mutu.
BPOM menetapkan standar mutu dan keamanan yang harus dipenuhi oleh produsen obat tradisional, termasuk persyaratan mengenai bahan baku, proses produksi, dan pengujian produk akhir. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa obat tradisional yang beredar aman untuk dikonsumsi dan memiliki kualitas yang terjamin. BPOM menerbitkan pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang menjadi acuan bagi industri obat tradisional dalam melakukan produksi yang memenuhi standar mutu. Penerapan CPOTB bertujuan untuk menghasilkan produk obat tradisional yang konsisten, aman, dan efektif. BPOM mengatur ketentuan mengenai penandaan (label) pada kemasan obat tradisional, termasuk informasi mengenai komposisi, dosis, cara penggunaan, efek samping (jika ada), dan kontraindikasi. BPOM juga mengatur iklan obat tradisional untuk mencegah klaim yang berlebihan atau menyesatkan. Setelah obat tradisional mendapatkan izin edar dan beredar di pasaran, BPOM tetap melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa produk tersebut tetap memenuhi standar keamanan dan mutu. Pengawasan ini dapat berupa pengambilan sampel untuk pengujian, inspeksi ke fasilitas produksi, dan penanganan laporan efek samping dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Regulasi saat ini cenderung lebih menekankan pada pembuktian ilmiah modern (uji praklinik dan klinik) untuk klaim khasiat yang lebih tinggi (OHT dan Fitofarmaka). Hal ini bisa menjadi kendala bagi Andaliman yang penggunaan tradisionalnya kuat, tetapi penelitian ilmiah yang mendalam masih terbatas. Variabilitas alami dalam kandungan senyawa aktif Andaliman menyulitkan pemenuhan standar kualitas yang ketat seperti pada obat kimia sintetik. Regulasi perlu lebih fleksibel dalam menetapkan standar untuk produk alami yang kompleks. Persyaratan regulasi, terutama untuk izin edar dan CPOTB, dapat menjadi beban yang signifikan bagi produsen skala kecil dan tradisional Andaliman.
Meskipun UU Nomor 17 Tahun 2023 dan peraturan BPOM menunjukkan adanya perhatian terhadap obat tradisional, masih terdapat tantangan dalam mengakomodasi karakteristik unik seperti pada Andaliman. Regulasi yang lebih fleksibel, adaptif, dan mempertimbangkan bukti empiris serta pengetahuan tradisional, sambil tetap menjamin keamanan dan mutu, sangat penting untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan potensi obat tradisional Indonesia secara optimal. Perlu adanya sinergi antara pemerintah, BPOM, akademisi, praktisi tradisional, dan masyarakat untuk mewujudkan regulasi yang lebih inklusif dan progresif.
ADVERTISEMENT