Konten dari Pengguna

Benang Kusut Diabetes di Indonesia dalam Perspektif Kesehatan dan Regulasi

wahyu andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
7 April 2025 14:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi diabetes melitus berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk usia ≥ 15 tahun adalah 8,5%. Beberapa provinsi dengan prevalensi diabetes tertinggi berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada usia ≥ 15 tahun antara lain adalah DI Yogyakarta: 11,4%, DKI Jakarta: 10,8%, Kalimantan Timur: 10,4%, Sulawesi Utara: 9,7%, dan Jawa Tengah: 9,1%. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021 memperkirakan jumlah orang dewasa (usia 20-79 tahun) dengan diabetes di Indonesia pada tahun 2021 adalah sekitar 19,5 juta. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dunia dalam jumlah penderita diabetes.
ADVERTISEMENT
Secara umum, tren kasus diabetes di Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan data Riskesdas dari tahun ke tahun. Riskesdas 2007, prevalensi diabetes berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada usia ≥ 15 tahun adalah 5,7%. Riskesdas 2013, prevalensi diabetes berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada usia ≥ 15 tahun meningkat menjadi 6,9%. Riskesdas 2018, prevalensi diabetes berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada usia ≥ 15 tahun kembali meningkat menjadi 8,5%.
Beberapa faktor utama, berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi diabetes di Indonesia. Konsumsi makanan tinggi gula, tinggi lemak jenuh, rendah serat, dan kurangnya asupan buah dan sayur semakin umum di masyarakat. Makanan cepat saji dan minuman manis juga menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat. Gaya hidup yang semakin sedentari akibat pekerjaan yang lebih banyak duduk, penggunaan kendaraan pribadi, dan kurangnya waktu atau kesempatan untuk berolahraga berkontribusi pada peningkatan risiko obesitas dan diabetes. Kebiasaan merokok juga dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2.
ADVERTISEMENT
Urbanisasi seringkali membawa perubahan pada pola makan dan gaya hidup. Akses ke makanan olahan dan cepat saji menjadi lebih mudah, sementara ruang untuk aktivitas fisik semakin terbatas. Tekanan hidup di perkotaan juga dapat berkontribusi pada stres, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi kadar gula darah. Indonesia memiliki populasi yang heterogen dengan berbagai latar belakang genetik. Beberapa kelompok etnis memiliki predisposisi genetik yang lebih tinggi terhadap diabetes tipe 2. Riwayat keluarga dengan diabetes juga merupakan faktor risiko yang signifikan. Jika seseorang memiliki orang tua atau saudara kandung dengan diabetes, risiko mereka untuk mengembangkan penyakit ini lebih tinggi.
Prevalensi diabetes cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Dengan meningkatnya harapan hidup dan populasi lansia di Indonesia, jumlah kasus diabetes juga berpotensi meningkat. Obesitas dan kelebihan berat badan merupakan faktor risiko utama untuk diabetes tipe 2. Peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia sejalan dengan peningkatan prevalensi diabetes.
ADVERTISEMENT
Komplikasi diabetes berpengaruh terhadap kualitas dan harapan hidup, serta beban psikologis dan sosial yang dialami penderita diabetes. Diabetes, jika tidak terkontrol dengan baik, dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius, baik dalam jangka pendek (akut) maupun jangka panjang (kronis).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi secara tiba-tiba dan memerlukan penanganan medis segera. Hipoglikemia (gula darah rendah), terjadi ketika kadar gula darah turun terlalu rendah (biasanya di bawah 70 mg/dL). Gejalanya bisa berupa gemetar, keringat dingin, pusing, lemas, kebingungan, hingga kehilangan kesadaran dan kejang jika tidak ditangani. Hiperglikemia (gula darah tinggi), terjadi ketika kadar gula darah naik terlalu tinggi. Gejalanya berkembang secara bertahap dan bisa meliputi rasa haus berlebihan, sering buang air kecil, penglihatan kabur, kelelahan, dan kulit kering. Jika sangat tinggi, dapat menyebabkan komplikasi serius seperti Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Sindrom Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketonik (SHHNK). Ketoasidosis Diabetik (KAD), lebih sering terjadi pada diabetes tipe 1, akibat kekurangan insulin yang menyebabkan tubuh memecah lemak sebagai energi, menghasilkan keton yang berbahaya. Gejalanya meliputi mual, muntah, nyeri perut, napas berbau buah, dan penurunan kesadaran. Sindrom Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketonik (SHHNK), lebih sering terjadi pada diabetes tipe 2, ditandai dengan kadar gula darah yang sangat tinggi dan dehidrasi parah tanpa keton yang signifikan. Gejalanya meliputi kebingungan, disorientasi, dan bahkan koma.
ADVERTISEMENT
Komplikasi kronis ini berkembang secara bertahap dalam jangka waktu yang lama karena kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat kadar gula darah yang tinggi. Diabetes meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (angina, serangan jantung), stroke, dan penyakit arteri perifer (penyempitan pembuluh darah di kaki dan tungkai). Kadar gula darah tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah dan mempercepat proses aterosklerosis (penumpukan plak). Diabetes juga dapat menyebabkan nefropati diabetik (penyakit ginjal diabetik). Kerusakan pada pembuluh darah kecil di ginjal dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring limbah dari darah. Pada tahap lanjut, dapat menyebabkan gagal ginjal yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.
Kadar gula darah tinggi dapat merusak saraf di seluruh tubuh, dikenal dengan neuropati diabetik (kerusakan saraf diabetik) meliputi neuropati perifer, neuropati autonom, retinopati diabetik (kerusakan mata diabetik), amputasi, masalah kulit, masalah gigi dan gusi, gastroparesis diabetik, dan disfungsi ereksi. Neuropati perifer memengaruhi saraf di kaki dan tangan, menyebabkan gejala seperti mati rasa, kesemutan, nyeri, dan kelemahan. Hal ini dapat meningkatkan risiko luka kaki yang tidak terasa dan infeksi. Neuropati autonom memengaruhi saraf yang mengontrol fungsi tubuh otomatis seperti pencernaan, detak jantung, tekanan darah, dan fungsi kandung kemih. Retinopati diabetik adalah kerusakan pada pembuluh darah kecil di retina (lapisan belakang mata) dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. Amputasi merupakan kombinasi neuropati perifer dan penyakit arteri perifer yang meningkatkan risiko luka dan infeksi pada kaki sehingga sulit sembuh. Jika infeksi parah dan tidak terkontrol, amputasi diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi. Penderita diabetes lebih rentan terhadap berbagai masalah kulit, termasuk infeksi bakteri dan jamur, kulit kering dan gatal. Diabetes dapat meningkatkan risiko penyakit gusi (periodontitis) dan infeksi mulut lainnya. Gastroparesis diabetik adalah Kerusakan saraf di perut yang dapat memperlambat pengosongan lambung, menyebabkan mual, muntah, kembung, dan rasa kenyang lebih cepat. Disfungsi ereksi adalah kerusakan saraf dan pembuluh darah dapat menyebabkan masalah ereksi pada pria.
ADVERTISEMENT
Diabetes merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengelolaan jangka panjang dan menimbulkan komplikasi yang mahal. Beban biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh diabetes di Indonesia sangat signifikan dan terus meningkat. Diabetes tidak hanya membebani sektor kesehatan, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Indonesia memiliki berbagai peraturan, kebijakan, dan program yang bertujuan untuk mengatasi masalah diabetes. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merupakan landasan hukum utama untuk penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. Beberapa pasal di dalamnya relevan dengan pengendalian penyakit tidak menular (PTM) termasuk diabetes misalnya, penguatan upaya promotif dan preventif, pengendalian faktor risiko PTM, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi penderita PTM, penguatan sistem surveilans dan informasi kesehatan terkait PTM, kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam upaya pengendalian PTM. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 merupakan turunan dari UU Kesehatan dan secara lebih spesifik mengatur berbagai upaya kesehatan, termasuk pencegahan dan pengendalian PTM.
ADVERTISEMENT
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki peraturan terkait label makanan yang mewajibkan pencantuman informasi nilai gizi, termasuk kandungan gula, lemak, dan garam. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen agar dapat membuat pilihan makanan yang lebih sehat. Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan mengatur secara rinci informasi gizi yang wajib dicantumkan pada label makanan olahan. Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2019 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan merupakan perubahan atas peraturan sebelumnya.
GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) merupakan program nasional yang mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi makanan sehat, melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, membersihkan lingkungan, dan menggunakan jamban sehat. Kementerian Kesehatan dan perkumpulan profesi seperti Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) secara berkala menerbitkan Panduan Praktik Klinis (PPK) atau konsensus pengelolaan diabetes melitus. Panduan ini memberikan rekomendasi kepada tenaga kesehatan mengenai diagnosis, pengobatan, dan pemantauan diabetes berdasarkan bukti ilmiah terkini. Panduan ini penting untuk memastikan standar pelayanan yang optimal bagi penderita diabetes. Kementerian Kesehatan memiliki Direktorat P2PTM yang bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta program pengendalian berbagai penyakit tidak menular, termasuk diabetes. Pemerintah berupaya untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan obat-obatan dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh penderita diabetes, termasuk melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
ADVERTISEMENT
Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai regulasi, kebijakan, dan program terkait diabetes, efektivitasnya masih perlu ditingkatkan. Regulasi dan program seringkali tidak diimplementasikan secara efektif dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelanggaran regulasi, misalnya terkait label makanan atau promosi produk tidak sehat, belum optimal. Pengendalian diabetes memerlukan kerja sama lintas sektor (kesehatan, pendidikan, pertanian, industri, dll), tetapi koordinasi yang efektif seringkali menjadi kendala. Keterbatasan anggaran, SDM Kesehatan, dan infrastruktur dapat menghambat efektivitas program pengendalian diabetes. Perubahan perilaku masyarakat terkait gaya hidup sehat memerlukan upaya yang berkelanjutan dan komprehensif.
Tingginya prevalensi diabetes di Indonesia bukan hanya menjadi beban kesehatan yang signifikan bagi individu, masyarakat, dan sistem kesehatan secara keseluruhan, tetapi juga mengancam produktivitas dan pertumbuhan ekonomi bangsa. Dampak kesehatan yang luas, mulai dari komplikasi akut hingga kronis, menurunkan kualitas dan harapan hidup. Meskipun berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan program pemerintah telah diimplementasikan, tantangan dalam pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pengelolaan diabetes masih nyata. Kesenjangan implementasi, kurangnya koordinasi antar sektor, keterbatasan sumber daya, serta tantangan dalam mengubah perilaku masyarakat menjadi penghambat utama dalam mencapai pengendalian diabetes yang optimal. Diperlukan evaluasi berkala terhadap regulasi yang ada, penguatan program promosi kesehatan yang inovatif dan berkelanjutan, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan dan pengelolaan diabetes.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/frambos-gula-sendok-makanan-imut-4599580/