Konten dari Pengguna

Generasi Strawberry, dari Perspektif Undang-undang Kesehatan

wahyu andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
10 Mei 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Generasi strawberry bukanlah istilah demografis resmi seperti Generasi X, Milenial, atau Gen Z, melainkan sebuah label atau julukan yang pertama kali muncul di Taiwan dan digunakan untuk menggambarkan generasi yang lahir setelah tahun 1980-an. Julukan ini muncul karena persepsi bahwa generasi ini mirip dengan buah strawberry, terlihat menarik dan indah dari luar, tetapi mudah "memar" atau rusak ketika diberi sedikit tekanan.
ADVERTISEMENT
Generasi strawberry dianggap kurang tangguh, sensitif terhadap kritik, mudah menyerah saat menghadapi kesulitan, kurang memiliki etos kerja yang keras seperti generasi sebelumnya, dan cenderung memprioritaskan kenyamanan pribadi serta keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) dibandingkan dedikasi penuh pada pekerjaan atau perusahaan.
Di berbagai konteks dan negara, istilah generasi strawberry juga diterapkan pada generasi yang lebih muda seperti Generasi Z yang saat ini memasuki dunia kerja atau sedang dalam tahap awal karir. Jadi, secara umum merujuk pada anak muda atau generasi muda yang sedang dalam masa transisi menuju kedewasaan penuh atau awal karir profesional.
Generasi Strawberry (terutama Milenial dan Gen Z) tumbuh dalam konteks sosial yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka adalah generasi yang tumbuh besar dengan internet, media sosial, dan teknologi digital. Informasi mudah diakses, komunikasi instan, dan kehidupan sering kali ditampilkan di platform online. Hal ini membentuk cara mereka berinteraksi, belajar, dan memandang dunia. Mereka menghadapi tantangan unik seperti persaingan global yang ketat, ketidakpastian ekonomi, perubahan cepat di pasar kerja, dan tekanan sosial dari media online.
ADVERTISEMENT
Beberapa pandangan menyebutkan mereka dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung lebih protektif, yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam menghadapi kesulitan secara mandiri. Mereka sering dianggap memiliki nilai dan prioritas yang berbeda, seperti mencari pekerjaan yang bermakna, menginginkan fleksibilitas, dan kurang loyal pada satu perusahaan jika merasa tidak dihargai atau tidak sesuai dengan nilai mereka.
Berbagai tekanan modern yang spesifik dihadapi oleh generasi strawberry (atau generasi muda yang sering dilabeli demikian). Dunia semakin terhubung, timbul persaingan global. Lulusan tidak hanya bersaing dengan teman seangkatan di kota atau negara yang sama, tetapi juga dengan talenta dari seluruh dunia berkat platform online dan mobilitas. Pasar kerja semakin spesifik dan membutuhkan keterampilan yang terus diperbarui.
ADVERTISEMENT
Gelar sarjana menjadi standar minimum di banyak bidang, dan banyak yang merasa perlu melanjutkan ke jenjang S2 atau sertifikasi tambahan hanya untuk bisa bersaing. Hal ini menambah beban biaya dan waktu belajar. Selain itu, ada tekanan (dari keluarga, sosial, atau diri sendiri) untuk segera mendapatkan pekerjaan mapan dengan gaji tinggi setelah lulus, atau bahkan menjadi wirausahawan sukses di usia muda. Proses merintis atau melewati masa sulit dalam karir terkadang kurang diberi ruang.
Media sosial sering menampilkan versi kehidupan orang lain yang sudah difilter dan diidealkan (kesuksesan, kebahagiaan, liburan, penampilan fisik). Hal ini menciptakan perbandingan diri yang konstan dan membuat seseorang merasa hidupnya "kurang" atau tidak sebahagia/sesukses orang lain. Jumlah likes, komentar, atau followers bisa menjadi ukuran "nilai" diri atau popularitas. Ketergantungan pada validasi online ini membuat kesehatan mental rentan terhadap fluktuasi respons dari publik digital.
ADVERTISEMENT
Kritik online bisa terasa sangat menyakitkan. Melihat teman-teman atau kenalan melakukan aktivitas menarik, bepergian, atau mencapai momen penting menimbulkan rasa cemas, iri, dan takut ketinggalan. Hal ini mendorong individu untuk terus aktif secara sosial (baik online maupun offline) meski merasa lelah atau tidak mampu, demi "tidak ketinggalan". Inilah yang disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out).
Isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidakstabilan politik, pandemi, dan revolusi teknologi (otomatisasi, AI) menciptakan rasa tidak pasti mengenai masa depan, stabilitas karir jangka panjang, dan kondisi bumi tempat mereka akan hidup. Generasi ini menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi (terutama perumahan) dibandingkan pendapatan awal, beban utang (misal: pinjaman pendidikan), dan kurangnya jaminan keamanan kerja seumur hidup yang dinikmati generasi sebelumnya. Ekonomi gig (pekerja lepas/kontrak) memberikan fleksibilitas, tetapi minim jaminan dan stabilitas.
ADVERTISEMENT
Tekanan-tekanan seperti persaingan karir yang tinggi, paparan konstan di media sosial, ekspektasi keluarga yang besar, ketidakpastian global, dan banjir informasi, secara kumulatif menciptakan beban mental yang signifikan bagi generasi strawberry. Dampak dari tekanan ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk isu kesehatan mental.
Stres adalah dampak yang paling langsung dan umum. Terus-menerus dihadapkan pada tuntutan akademik, tenggat waktu pekerjaan, upaya menjaga citra di media sosial, dan kekhawatiran akan masa depan akan meningkatkan level hormon stres dalam tubuh. Stres kronis dapat menguras energi fisik dan mental, menyebabkan kelelahan, kesulitan tidur, masalah konsentrasi, dan mudah tersinggung. Bagi generasi strawberry yang dipersepsikan sensitif, ambang batas mereka terhadap stres bisa jadi lebih rendah atau cara mereka merespons tekanan terasa lebih intens.
ADVERTISEMENT
Tekanan untuk selalu berhasil (akademik, karir), perbandingan diri yang tak henti-hentinya di media sosial, serta ketidakpastian ekonomi dan global menjadi pemicu utama kecemasan (anxiety). Generasi strawberry merasa cemas tentang masa depan karir, khawatir tidak bisa memenuhi ekspektasi, takut ketinggalan (FOMO) dari tren atau pencapaian orang lain, atau cemas tentang kondisi dunia. Kecemasan ini bisa bermanifestasi sebagai rasa khawatir berlebihan, kegelisahan, serangan panik, atau gejala fisik seperti jantung berdebar dan kesulitan bernapas.
Kegagalan dalam memenuhi ekspektasi (baik dari diri sendiri maupun orang lain), perasaan tidak berharga akibat perbandingan di media sosial, kesulitan menemukan makna di tengah arus informasi yang deras, dan rasa putus asa terhadap ketidakpastian masa depan dapat berkontribusi pada munculnya gejala depresi. Generasi strawberry mungkin merasa sedih berkepanjangan, kehilangan minat pada aktivitas yang disukai, merasa lelah tanpa sebab, kesulitan tidur atau tidur berlebihan, dan memiliki pikiran negatif tentang diri sendiri atau masa depan.
ADVERTISEMENT
Kombinasi tekanan akademik/kerja yang intens, kesulitan menetapkan batasan (karena tuntutan "selalu on" di era digital), dan upaya keras untuk terus tampil "sempurna" dapat menyebabkan burnout. Hal ini bukan sekadar lelah, melainkan kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang ekstrem. Gejalanya meliputi rasa sinis, kehilangan motivasi dan minat pada pekerjaan/aktivitas yang dulunya disukai, serta menurunnya efektivitas.
Banjir tekanan dan stimulasi tanpa henti, ditambah dengan kemungkinan kurangnya pendidikan atau contoh cara mengelola emosi secara sehat (misal: karena pola asuh yang terlalu melindungi atau lingkungan yang tidak mengajarkan resiliensi), dapat membuat generasi ini kesulitan mengidentifikasi, memahami, dan merespons emosi dengan cara yang konstruktif (difficulty managing emotions). Generasi strawberry cenderung bereaksi secara impulsif, meledak-ledak, menarik diri, atau menggunakan mekanisme koping yang tidak sehat (misal: scrolling berlebihan, penolakan). Kesulitan ini memperburuk dampak tekanan pada kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak secara spesifik menyebut "generasi strawberry". Namun, pasal-pasal yang mengatur tentang kesehatan mental di dalamnya memiliki potensi besar untuk meningkatkan sistem dukungan dan layanan yang relevan bagi generasi ini dalam menghadapi tekanan modern.
UU Kesehatan menegaskan bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan. Hal ini memperkuat mandat pemerintah dan penyedia layanan kesehatan untuk menyediakan pelayanan kesehatan mental yang komprehensif, dari promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), hingga rehabilitatif.
Artinya, ada dasar hukum yang lebih kuat untuk pengembangan layanan yang dibutuhkan generasi muda. Salah satu fokus penting UU ini adalah penguatan layanan kesehatan di tingkat primer (Puskesmas dan fasilitas setara). Hal ini diharapkan dapat membuat akses terhadap deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan mental menjadi lebih mudah dijangkau oleh masyarakat, termasuk generasi strawberry, tanpa harus selalu langsung ke rumah sakit jiwa atau spesialis. Layanan di tingkat primer dapat menjadi garda terdepan dalam mengidentifikasi tekanan atau gejala awal pada remaja dan dewasa muda.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan mendorong lebih banyak upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, termasuk dalam aspek kesehatan mental. Hal ini membuka peluang lebih besar untuk program-program edukasi kesehatan mental di sekolah, kampus, atau komunitas yang relevan bagi generasi strawberry.
Edukasi ini dapat membantu mereka memahami pentingnya kesehatan mental, mengenali gejala masalah, serta mempelajari strategi koping dan regulasi diri yang sehat dalam menghadapi tekanan. UU ini juga memperkuat perlindungan hukum bagi individu yang mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan yang layak, hak untuk tidak didiskriminasi, dan hak privasi.
Penegasan hak ini penting untuk mengurangi stigma di masyarakat dan di lingkungan kerja/pendidikan, yang seringkali menjadi hambatan bagi generasi muda untuk mencari bantuan. Jika stigma berkurang, mereka akan merasa lebih aman untuk berbicara tentang perjuangan mental mereka.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan menekankan tanggung jawab pemerintah daerah dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, termasuk kesehatan mental. Hal ini mendorong adanya kebijakan atau program kesehatan mental yang lebih relevan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik di daerah, serta mengaktifkan peran komunitas, keluarga, dan institusi pendidikan dalam menciptakan lingkungan yang suportif bagi kesehatan mental generasi muda. Dengan adanya penegasan pentingnya kesehatan mental dalam UU Kesehatan, diharapkan ada dorongan lebih kuat untuk peningkatan jumlah dan kualitas tenaga profesional kesehatan mental (psikolog, psikiater, perawat jiwa) di berbagai tingkat layanan.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/strawberry-buah-daun-daun-kebun-4879794/