Konten dari Pengguna

Hak Kesehatan Mental bagi Lansia sebagai Mandat UU Kesehatan

Wahyu Andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
1 Oktober 2025 21:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Hak Kesehatan Mental bagi Lansia sebagai Mandat UU Kesehatan
UU Kesehatan menyediakan landasan pelayanan kesehatan bagi lansia, tetapi implementasinya lemah.
Wahyu Andrianto
Tulisan dari Wahyu Andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lansia, kakek dan nenek. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lansia, kakek dan nenek. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hukum dan kebijakan yang diterapkan di Indonesia, pada umumnya kriteria yang dipergunakan untuk mengategorikan seorang manusia sudah berada dalam fase lansia adalah usia 60 tahun. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah payung hukum utama yang secara eksplisit mendefinisikan kriteria lansia di Indonesia. Undang-Undang ini menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun atau lebih.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pelayanan kesehatan dan ilmu kedokteran geriatri (cabang ilmu kedokteran yang fokus pada kesehatan dan penyakit pada lanjut usia), kriteria usia dibagi secara terperinci untuk menyesuaikan jenis intervensi dan fokus program. Lansia Muda (Young-old) adalah orang yang berusia 60 - 74 tahun; Lansia Madya (Middle-old) adalah orang yang berusia 75 - 89 tahun; Lansia Tua (Old-old /Very Old) adalah orang yang berusia 90 ke atas.
Untuk Lansia Muda, fokus pelayanan medis adalah pencegahan, promotif, dan mempertahankan fungsi sosial. Untuk Lansia Madya, fokus pelayanan medis adalah manajemen penyakit kronis, pencegahan komplikasi, dan rehabilitasi. Untuk Lansia Tua, fokus pelayanan medis adalah paliatif, kualitas hidup, dan perawatan jangka panjang.
WHO menggunakan batas 60 tahun untuk negara berkembang karena rata-rata harapan hidup (UHH) yang relatif lebih rendah dan usia pensiun yang cenderung lebih awal dibandingkan negara maju. Kriteria ini mendukung kriteria yang diterapkan di Indonesia dan memperkuat legitimasi penggunaan batas 60 tahun dalam kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Peningkatan populasi lansia tidak hanya terjadi secara nominal, tetapi juga secara persentase, menandakan bahwa Indonesia telah memasuki struktur penduduk menua (aging structure). Tahun 1990, jumlah penduduk lansia adalah 11,09 juta jiwa (5,74% dari jumlah total penduduk Indonesia). Tahun 2000, jumlah penduduk lansia adalah 14,35 juta jiwa (7,18% dari jumlah total penduduk Indonesia).
Tahun 2010, jumlah penduduk lansia adalah 21,68 juta jiwa (8,24% dari jumlah total penduduk Indonesia). Tahun 2020, jumlah penduduk lansia adalah 28,66 juta jiwa (10,75% dari jumlah total penduduk Indonesia). Tahun 2023, jumlah penduduk lansia adalah sekitar 31,50 juta jiwa (sekitar 11,7 % dari jumlah total penduduk Indonesia).
Tahun 2020, Rasio Ketergantungan Lansia (Old Age Dependency Ratio) mencapai 16,69. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 17 orang lansia. Proyeksi tahun 2045, rasio ini diperkirakan akan melonjak hingga 30,3. Rasio ketergantungan yang tinggi ini mengindikasikan bahwa masalah depresi lansia tidak hanya membebani individu dan keluarga, tetapi juga secara langsung memengaruhi produktivitas nasional dan keberlanjutan sistem jaminan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Penuaan membawa tantangan—kehilangan fisik, sosial, dan peran (seperti pensiun atau ditinggal pasangan)—yang secara alami dapat menimbulkan kesedihan yang wajar (grief atau sadness). Namun, ketika kesedihan ini menetap dan intensitasnya semakin parah serta mengganggu fungsi sehari-hari, maka hal itu berubah menjadi Depresi Klinis (Major Depressive Disorder).
Hal ini merupakan kondisi medis yang harus diobati. Depresi lansia sering terlewatkan atau dinormalisasi karena seringkali tidak tampil sebagai kesedihan atau mood yang tertekan secara eksplisit, melainkan bersembunyi di balik keluhan fisik.
Lansia lebih sering mengeluhkan sakit kepala, nyeri punggung, masalah pencernaan, atau kelelahan persisten yang tidak jelas penyebab fisiknya. Manifestasi depresi bisa berupa mudah marah atau sangat cemas, bukan selalu murung.
ADVERTISEMENT
Ketika lansia datang ke fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter dengan keluhan nyeri atau insomnia, fokus tindakan medis langsung tertuju pada gejala fisik itu. Dokter dan keluarga cenderung mengobati nyeri dan mengabaikan gejala inti depresi, karena menganggapnya sebagai efek samping dari penyakit fisik atau usia.
Bahkan profesional kesehatan yang tidak terlatih dalam geriatri bisa terjebak dalam bias normalisasi. Jika lansia baru saja kehilangan pasangan, profesional mungkin menganggap perasaan sedih, isolasi, dan hilangnya minat adalah reaksi yang diharapkan (expected reaction) dan bukan penyakit yang membutuhkan pengobatan.
Hal ini mengurangi motivasi untuk melakukan skrining depresi secara rutin (misalnya menggunakan Geriatric Depression Scale). Anggapan bahwa depresi adalah bagian normal dari penuaan memiliki konsekuensi yang berbahaya dan melanggar hak kesehatan lansia.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menggabungkan dan memperbarui berbagai regulasi sebelumnya, termasuk yang spesifik mengatur mengenai kesehatan jiwa dan lansia.
Pasal 49 Ayat (1) UU Kesehatan menyatakan bahwa, "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjamin ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan bagi setiap orang." Hal ini tentunya mencakup juga lansia. Pelayanan kesehatan kiwa yang komprehensif tidak bisa hanya mengobati penyakit fisik, tetapi harus mencakup skrining dan intervensi depresi. Pelayanan harus terintegrasi, artinya ketika lansia datang untuk memeriksakan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan, skrining depresi (dengan Geriatric Depression Scale atau sejenisnya) harus disertakan.
Pasal 51 UU Kesehatan menyatakan bahwa, "Pelayanan kesehatan jiwa wajib diselenggarakan secara berjenjang..." Artinya, skrining depresi seharusnya dimulai dari fasilitas pelayanan kesehatan primer. Hal ini diperkuat oleh Pasal 86 Ayat (1) UU Kesehatan menyatakan bahwa, "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan Lanjut Usia yang komprehensif, terpadu, dan berkesinambungan."
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan) secara prinsipil telah memberikan kerangka perlindungan yang memadai. Ia menetapkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan bahwa lansia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif. Namun, terdapat permasalahan dalam implementasinya.
Celah terbesar adalah ketiadaan peraturan teknis yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan primer untuk melakukan skrining depresi secara rutin pada semua lansia yang berkunjung (misalnya melalui pemeriksaan berkala).
Saat ini, skrining depresi (seperti menggunakan GDS – Geriatric Depression Scale) bersifat opsional atau hanya dilakukan jika tenaga medis dan kesehatan mencurigai adanya gejala. Jumlah psikiater geriatri di Indonesia sangat minim, dan dokter atau perawat di fasilitas pelayanan kesehatan primer seringkali tidak memiliki kemampuan spesifik untuk mengenali masked depression (depresi bersembunyi di balik keluhan fisik) lansia.
ADVERTISEMENT
Program Posyandu Lansia (berbasis komunitas) hanya berfokus pada senam dan pemeriksaan fisik, sementara masalah depresi dibiarkan karena tidak adanya tenaga medis dan tenaga kesehatan mental di sana.
Oleh karena itu, Pemerintah perlu memprioritaskan program pelatihan (training) yang masif dan terstruktur bagi tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan primer mengenai: Membedakan kesedihan normal dari depresi klinis pada lansia; Penggunaan instrumen skrining yang valid; dan Manajemen psikososial awal (seperti konseling sederhana).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah menetapkan mandat yang jelas mengenai kewajiban negara untuk menjamin pelayanan kesehatan mental yang komprehensif dan terintegrasi, serta hak lansia atas pelayanan kesehatan yang utuh.
Di sisi lain, depresi klinis masih bersembunyi di balik stigma dan normalisasi yang keliru sebagai "bagian wajar dari penuaan." Untuk mengakhiri hal ini, Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pelaksana yang mewajibkan penerapan skrining depresi lansia yang terstruktur, seperti penggunaan Geriatric Depression Scale (GDS), di setiap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu mendorong program pendidikan dan pelatihan yang masif untuk meningkatkan jumlah psikiater geriatri dan tenaga kesehatan yang kompeten dalam mengenali manifestasi depresi pada lansia. SDM Kesehatan yang terlatih adalah fondasi agar intervensi yang tepat dapat diberikan. Kewajiban negara harus dibarengi dengan komitmen finansial.
Diperlukan alokasi anggaran yang jelas dan spesifik untuk pelayanan kesehatan jiwa lansia, mulai dari penyediaan instrumen skrining, pengadaan obat-obatan antidepresan, hingga biaya pelatihan SDM. Kualitas peradaban suatu bangsa dapat diukur dari bagaimana ia memperlakukan kelompoknya yang paling rentan, salah satunya adalah lansia.