Konten dari Pengguna

Harapan dan Jeratan Hukum dalam Ganja Medis

wahyu andrianto
Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
25 Desember 2024 16:24 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Hanya dengan keseimbangan antara kemanusiaan, perlindungan masyarakat, dan landasan ilmiah, Indonesia dapat menentukan arah kebijakan ganja medis secara tepat dan bertanggung jawab.”
ADVERTISEMENT
Istilah "ganja medis" merujuk pada penggunaan tanaman cannabis sativa (ganja) atau kandungannya untuk tujuan pengobatan. Penggunaan ganja medis berbeda dengan penggunaan ganja rekreasional. Ganja medis digunakan di bawah pengawasan dokter dan dengan dosis yang terkontrol untuk mengatasi kondisi medis tertentu. Tanaman ganja mengandung lebih dari 100 senyawa kimia yang disebut cannabinoid, di antaranya adalah Tetrahydrocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD). THC adalah komponen psikoaktif utama dalam ganja, yang bertanggung jawab atas efek "mabuk" atau euforia yang sering dikaitkan dengan penggunaan ganja. THC juga memiliki sifat analgesik (pereda nyeri), anti-inflamasi (anti-peradangan), dan perangsang nafsu makan. CBD adalah komponen non-psikoaktif, artinya tidak menyebabkan efek "mabuk". CBD memiliki berbagai potensi manfaat terapeutik, termasuk anti-inflamasi, anti-kejang, anti-kecemasan, dan pereda nyeri. Perbedaan utama antara THC dan CBD adalah efek psikoaktifnya. THC menghasilkan efek "high", sedangkan CBD tidak. Beberapa produk ganja medis mengandung kombinasi THC dan CBD dalam rasio yang berbeda, tergantung pada kondisi yang diobati.
ADVERTISEMENT
Penggunaan ganja untuk tujuan pengobatan telah berlangsung selama ribuan tahun di berbagai budaya di dunia. Di Tiongkok, penggunaan ganja sebagai obat tercatat dalam teks-teks medis Tiongkok kuno yang berasal dari ribuan tahun lalu. Kaisar Shen Nung, yang dianggap sebagai bapak pengobatan Tiongkok, disebut-sebut telah merekomendasikan ganja untuk berbagai penyakit pada sekitar tahun 2700 SM. India juga mengenal ganja dalam proses pengobatan. Ganja, yang dikenal sebagai bhang atau ganja dalam bahasa Sanskerta, telah digunakan dalam pengobatan Ayurveda selama berabad-abad untuk mengobati berbagai kondisi, termasuk nyeri, insomnia, dan masalah pencernaan. Penggunaan ganja untuk pengobatan juga tercatat dalam teks-teks medis dari peradaban Islam pada Abad Pertengahan. Para ilmuwan dan dokter Muslim seperti Ibnu Sina (Avicenna) membahas penggunaan ganja untuk berbagai kondisi medis. Ganja diperkenalkan ke Eropa pada Abad Pertengahan dan digunakan untuk berbagai tujuan pengobatan.
ADVERTISEMENT
Penelitian modern tentang manfaat ganja medis mulai berkembang pesat pada abad ke-20 dan ke-21. Beberapa area penelitian utama adalah terkait dengan beberapa kelainan medis. CBD telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi kejang pada beberapa jenis epilepsi, terutama pada anak-anak dengan sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut. Beberapa obat berbasis CBD telah disetujui oleh badan pengawas obat di beberapa negara untuk pengobatan epilepsi. Ganja medis, terutama yang mengandung THC, telah terbukti efektif dalam meredakan nyeri kronis, termasuk nyeri neuropatik (nyeri akibat kerusakan saraf) dan nyeri yang terkait dengan kanker. Ganja medis juga dapat membantu mengurangi gejala Multiple Sclerosis (MS), seperti spastisitas otot (kekakuan otot), nyeri, dan masalah kandung kemih. Ganja medis dapat membantu mengurangi mual dan muntah yang sering dialami pasien yang menjalani kemoterapi. Hal ini adalah salah satu penggunaan ganja medis yang paling umum dan didukung oleh banyak penelitian. Penelitian juga sedang dilakukan untuk mengeksplorasi potensi manfaat ganja medis untuk kondisi lain seperti, penyakit alzheimer, penyakit parkinson, gangguan kecemasan, gangguan tidur, dan penyakit radang usus.
ADVERTISEMENT
Ganja di Indonesia saat ini masih digolongkan sebagai narkotika Golongan I berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penggolongan ini memiliki implikasi hukum yang penting terkait penggunaan dan peredarannya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengklasifikasikan narkotika ke dalam tiga golongan, yaitu Golongan I, Golongan II, dan Golongan III. Penggolongan ini didasarkan pada potensi ketergantungan dan manfaatnya dalam bidang pengobatan. Narkotika Golongan I memiliki potensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan tidak digunakan dalam terapi. Dalam lampiran UU tersebut, ganja termasuk dalam golongan ini, bersama dengan narkotika jenis lain seperti heroin, kokain, dan opium. Ini berarti bahwa ganja dianggap memiliki risiko penyalahgunaan yang sangat tinggi dan tidak diakui memiliki manfaat medis yang signifikan menurut hukum Indonesia saat ini. Karena termasuk Golongan I, ganja dilarang keras untuk digunakan dalam bentuk apapun, kecuali untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Artinya, penggunaan ganja untuk tujuan medis, rekreasi, atau tujuan lain di luar penelitian adalah ilegal di Indonesia. Satu-satunya pengecualian yang diizinkan oleh undang-undang adalah penggunaan ganja untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang dan dengan izin dari pemerintah. Tujuan dari pengecualian ini adalah untuk memungkinkan penelitian lebih lanjut tentang potensi manfaat dan risiko ganja, termasuk potensi manfaatnya dalam bidang medis. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi hukum yang berat, termasuk hukuman penjara dan denda yang besar. Baik pengguna, pengedar, maupun produsen ganja dapat dijerat hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Legalisasi ganja medis bervariasi di berbagai negara. Beberapa negara memiliki regulasi yang ketat, sementara yang lain lebih longgar. Kanada melegalkan ganja medis pada tahun 2001 dan melegalkan ganja untuk rekreasi pada tahun 2018. Ganja medis diatur secara ketat oleh pemerintah federal. Pasien yang memiliki otorisasi dari dokter dapat membeli ganja dari produsen berlisensi. Terdapat berbagai produk ganja yang tersedia, termasuk bunga kering, minyak, kapsul, dan produk makanan. Kualitas dan keamanan produk diawasi secara ketat. Australia melegalkan ganja medis secara nasional pada tahun 2016. Pasien dapat mengakses ganja medis dengan resep dokter untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti nyeri kronis, multiple sclerosis, dan efek samping kemoterapi. Regulasi di Australia bervariasi antar negara bagian dan teritori, tetapi secara umum, akses diberikan melalui dokter spesialis. Belanda memiliki kebijakan toleransi terhadap ganja sejak tahun 1970-an. Meskipun secara teknis ilegal, penjualan ganja dalam jumlah kecil di coffeeshop ditoleransi. Ganja medis juga legal di Belanda. Ganja medis tersedia melalui resep dokter dan diproduksi oleh perusahaan yang ditunjuk pemerintah. Produk yang tersedia termasuk bunga kering dan minyak. Legalisasi: Jerman melegalkan ganja medis pada tahun 2017. Pasien dengan kondisi medis tertentu dapat memperoleh ganja medis dengan resep dokter. Biaya pengobatan dapat ditanggung oleh asuransi kesehatan dalam beberapa kasus. Israel telah lama menjadi pusat penelitian ganja medis dan telah melegalkan penggunaannya sejak tahun 1990-an. Akses ke ganja medis diatur oleh Kementerian Kesehatan dan diberikan kepada pasien dengan kondisi medis tertentu, seperti kanker, nyeri kronis, dan PTSD. Uruguay menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan ganja untuk rekreasi dan medis pada tahun 2013. Ganja dapat dibeli di apotek yang terdaftar, ditanam di rumah dalam jumlah terbatas, atau melalui klub ganja.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, ganja medis masih menjadi perdebatan dan kontroversi di Indonesia. Salah satu argumen utama untuk legalisasi ganja medis adalah hak pasien untuk mengakses pengobatan yang berpotensi efektif bagi kondisi mereka. Bagi beberapa pasien, pengobatan konvensional mungkin tidak efektif atau menimbulkan efek samping yang tidak tertahankan. Ganja medis menawarkan alternatif yang dapat memberikan peredaan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penelitian telah menunjukkan potensi manfaat ganja medis untuk kondisi seperti nyeri kronis, epilepsi, mual dan muntah akibat kemoterapi, multiple sclerosis, dan hilangnya nafsu makan pada pasien HIV/AIDS. Menolak akses pasien ke pengobatan yang berpotensi bermanfaat ini dianggap melanggar hak mereka untuk mendapatkan perawatan yang terbaik. Argumen ini juga berkaitan dengan prinsip otonomi pasien, yaitu hak pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan medis mereka sendiri, berdasarkan informasi yang tersedia. Jika ganja medis terbukti bermanfaat bagi suatu kondisi, pasien harus memiliki hak untuk mempertimbangkan opsi tersebut bersama dokter mereka. Penelitian tentang ganja dapat mengarah pada pengembangan obat-obatan baru yang lebih efektif dan aman untuk berbagai kondisi medis. Cannabinoid yang terdapat dalam ganja memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi terapi untuk berbagai penyakit.
ADVERTISEMENT
Argumen yang menentang legalisasi ganja, khususnya terkait kekhawatiran penyalahgunaan, dampak kesehatan mental, potensi peningkatan kriminalitas, serta isu moral dan agama. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi ketergantungan terhadap ganja. Meskipun tidak semua pengguna ganja mengalami ketergantungan, beberapa orang, terutama remaja dan orang dengan riwayat gangguan mental, lebih rentan. Penggunaan ganja secara teratur dapat menyebabkan toleransi, di mana pengguna membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek yang sama, dan gejala putus zat saat berhenti menggunakannya. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ganja pada remaja dapat berdampak negatif pada perkembangan otak yang masih berkembang, terutama pada fungsi kognitif seperti memori, perhatian, dan pengambilan keputusan. Dampak ini bisa bersifat jangka panjang dan mengganggu prestasi akademik serta perkembangan sosial. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan ganja dan peningkatan risiko gangguan mental, seperti psikosis, skizofrenia, dan depresi. Meskipun hubungan sebab akibat belum sepenuhnya dipahami, kekhawatiran ini tetap menjadi perhatian utama. Ada kekhawatiran bahwa ganja dapat menjadi "gerbang" menuju penggunaan narkoba yang lebih keras. Meskipun tidak semua pengguna ganja beralih ke narkoba lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengguna ganja memiliki risiko lebih tinggi untuk mencoba narkoba lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ganja, terutama dalam dosis tinggi, dapat meningkatkan perilaku agresif pada beberapa orang. Meskipun hubungan ini kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, kekhawatiran ini tetap ada. Beberapa kelompok masyarakat menentang legalisasi ganja berdasarkan nilai-nilai moral yang mereka anut. Mereka percaya bahwa penggunaan ganja bertentangan dengan norma-norma sosial dan dapat merusak moralitas bangsa.
ADVERTISEMENT
Perjalanan ganja medis berada di persimpangan jalan, terjepit di antara harapan akan potensi terapeutiknya dan jeratan hukum. Kisah-kisah pasien yang berjuang melawan penyakit berat, mencari peredaan di tengah penderitaan, menyoroti dilema etis yang mendalam. Di satu sisi, ada hak asasi manusia untuk mendapatkan pengobatan yang layak dan efektif. Di sisi lain, ada kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan dan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Mencari keseimbangan yang tepat antara kemanusiaan dan perlindungan masyarakat adalah tantangan mendesak yang membutuhkan dialog yang terbuka, penelitian yang mendalam, dan kebijakan yang berbasis bukti.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/daun-ganja-gulma-daun-pot-leaf-5315557/