Konten dari Pengguna
Hari Paru Sedunia, Polemik antara Polusi dan Perlindungan Warga
26 September 2025 10:00 WIB
·
waktu baca 8 menit
Kiriman Pengguna
Hari Paru Sedunia, Polemik antara Polusi dan Perlindungan Warga
Hari Paru Sedunia, polemik antara polusi dan perlindungan warga. Perlu ada reformasi yang mendalam: perumusan regulasi yang lebih tegas dan jelas, hingga penguatan lembaga penegak hukum. #userstoryWahyu Andrianto
Tulisan dari Wahyu Andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hari Paru Sedunia (World Lung Day) adalah sebuah acara global yang diperingati setiap tahun pada tanggal 25 September. Inisiatif ini diprakarsai oleh Forum of International Respiratory Societies (FIRS). Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran global tentang kesehatan paru-paru dan perlunya tindakan cepat untuk mengurangi beban penyakit pernapasan. Peringatan ini menjadi platform penting bagi dokter, perawat, profesional kesehatan, pasien, dan masyarakat umum untuk bersatu dan berbagi informasi tentang pencegahan, pengobatan, serta penelitian terkait penyakit paru.
ADVERTISEMENT
Ide untuk mengadakan peringatan Hari Paru Sedunia muncul dari inisiatif FIRS. Tujuannya adalah untuk menciptakan satu hari yang didedikasikan sepenuhnya untuk kesehatan paru-paru. FIRS ingin menyoroti fakta bahwa penyakit pernapasan, termasuk asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), pneumonia, dan kanker paru, adalah penyebab utama morbiditas dan kematian di seluruh dunia. Meskipun penyakit ini dapat dicegah dan diobati, penyakit ini sering kali kurang mendapat perhatian dan sumber daya yang memadai dalam penanganannya.
Tema Hari Paru Sedunia pada tahun 2025 adalah, "Healthy Lungs, Healthy Life" atau "Paru Sehat, Hidup Sehat". Tema ini dirancang untuk menyoroti hubungan mendalam antara kesehatan paru-paru dan kualitas hidup secara keseluruhan. Melalui tema ini, FIRS dan organisasi mitra lainnya berupaya mengedukasi masyarakat global tentang pentingnya paru-paru yang sehat dan langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk melindungi organ vital ini.
ADVERTISEMENT
Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai penyakit paru yang dapat dicegah seperti, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang sering disebabkan oleh paparan asap rokok dan polusi udara; asma yang dipicu oleh polusi; kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok dan paparan zat karsinogenik (seperti radon dan asbes); Tuberkulosis (TBC) yang masih menjadi masalah global, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Tema ini menekankan pentingnya deteksi dini. Penyakit paru—jika terdeteksi lebih awal—memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Oleh karena itu, peringatan ini mendorong individu untuk melakukan skrining paru secara rutin, terutama bagi mereka yang memiliki faktor risiko (perokok, pekerja di lingkungan berisiko, atau riwayat keluarga); memahami gejala awal seperti batuk kronis, sesak napas, nyeri dada, dan batuk berdarah; mengadvokasi kesetaraan akses terhadap perawatan dan pengobatan.
ADVERTISEMENT
Polusi udara merupakan salah satu penyebab utama penyakit paru. Polusi udara bukanlah sekadar kabut atau asap yang mengganggu pemandangan, melainkan juga partikel dan gas yang berinteraksi langsung dengan sistem pernapasan. Berbeda dengan polutan besar yang bisa dihentikan oleh bulu hidung, jenis-jenis polutan ini memiliki ukuran sangat kecil sehingga dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan bahkan masuk ke aliran darah, menimbulkan kerusakan jangka panjang yang serius.
PM10 (partikel berukuran 10 µm) adalah partikel yang berasal dari debu, serbuk sari, dan asap. Karena ukurannya yang relatif lebih besar, PM10 dapat terperangkap di saluran pernapasan bagian atas dan memicu iritasi pada hidung, tenggorokan, dan mata. Paparan jangka panjang dapat menyebabkan radang tenggorokan kronis dan memperburuk kondisi asma.
ADVERTISEMENT
PM2.5 (partikel berukuran 2.5 µm) adalah polutan paling berbahaya. Ukurannya 30 kali lebih kecil dari diameter rambut manusia, menjadikannya sangat mudah dihirup dan menembus jauh ke dalam paru-paru hingga mencapai kantung udara (alveolus). Di sana, PM2.5 dapat menyebabkan peradangan, merusak jaringan paru, dan bahkan masuk ke pembuluh darah, memicu berbagai masalah kardiovaskular.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah salah satu penyakit paling umum yang dipicu oleh polusi udara. Partikel-partikel polutan dapat melemahkan sistem imun lokal di saluran pernapasan, membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi virus dan bakteri. ISPA yang terus-menerus dapat merusak jaringan paru dan menyebabkan komplikasi lebih lanjut. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa polusi udara bertanggung jawab atas sekitar 30% kematian akibat ISPA pada anak-anak di bawah 5 tahun secara global.
ADVERTISEMENT
Asma adalah kondisi peradangan kronis pada saluran pernapasan yang menyebabkan sulit bernapas. Polutan udara berfungsi sebagai pemicu utama yang memperburuk gejala asma dan meningkatkan frekuensi serangan. Sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health menemukan bahwa hampir 4 juta kasus asma anak baru setiap tahun dapat dikaitkan dengan polusi NO2 dari lalu lintas.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru progresif yang menyebabkan kesulitan bernapas karena penyumbatan aliran udara. Meskipun PPOK paling sering dikaitkan dengan kebiasaan merokok, paparan polusi udara jangka panjang juga menjadi faktor risiko yang signifikan. WHO memperkirakan bahwa 20% dari seluruh kasus PPOK global dapat dikaitkan dengan paparan polusi udara, baik di luar maupun di dalam ruangan.
ADVERTISEMENT
Kanker paru adalah dampak paling mematikan dari paparan polusi udara. Polutan PM2.5 digolongkan oleh WHO sebagai karsinogen Kelompok 1, yang berarti memiliki bukti kuat sebagai penyebab kanker pada manusia, setara dengan tembakau. Kasus gugatan hukum di Tiongkok pada tahun 2013 menunjukkan seorang perempuan mengajukan tuntutan terhadap perusahaan baja yang mencemari udara, dengan alasan polusi telah menyebabkan kanker paru-parunya. Meskipun gugatan ini tidak berhasil, kasus ini menjadi salah satu contoh pertama yang menyoroti potensi hubungan antara polusi dan kanker paru di pengadilan.
Secara umum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur berbagai aspek kesehatan, termasuk tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan kesehatan. Namun, fokus utamanya adalah pada sistem kesehatan, seperti upaya kesehatan, fasilitas pelayanan, sumber daya manusia kesehatan, dan ketahanan kefarmasian.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hak atas lingkungan yang sehat, undang-undang ini tidak secara eksplisit merumuskannya dalam pasal khusus seperti yang ada di Undang-Undang Lingkungan Hidup. Meski demikian, ada beberapa ketentuan yang secara implisit dan eksplisit dapat menjadi dasar hukum bagi isu ini. Undang-Undang ini menegaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang paripurna. Tanggung jawab ini mencakup pengendalian penyakit dan faktor risiko yang secara tidak langsung mencakup polusi udara. Hal ini dikarenakan polusi adalah salah satu faktor risiko utama penyakit pernapasan.
Berbeda dengan UU Kesehatan yang lebih berfokus pada dampak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) secara langsung mengatur isu pencemaran lingkungan. UU ini tidak hanya memberikan landasan bagi penegakan hukum, tetapi juga menegaskan hak-hak fundamental warga negara terkait lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pasal 66 UU PPLH secara eksplisit memberikan hak kepada setiap orang untuk mengajukan gugatan perdata atas kerugian yang diderita akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan. Pasal 91 UU PPLH memungkinkan gugatan perwakilan kelompok (class action). Artinya, sekelompok orang yang mengalami kerugian serupa akibat pencemaran bisa mengajukan satu gugatan bersama-sama tanpa harus mendaftarkan setiap korban secara individu. Gugatan class action relevan untuk kasus polusi udara karena dampaknya sering kali dirasakan oleh ribuan atau bahkan jutaan orang di suatu wilayah. Pasal ini menyederhanakan proses hukum dan memberikan kekuatan kolektif kepada korban.
Contoh nyata dari penggunaan pasal ini adalah kasus gugatan polusi udara di Jakarta. Pasal 93 UU PPLH menjamin hak masyarakat untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan lain terhadap pemerintah jika pemerintah lalai dalam melaksanakan tugasnya terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Meskipun Indonesia memiliki berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang perlindungan lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakannya di lapangan sering kali lemah. Salah satu kelemahan terbesar adalah sanksi yang tidak memberikan efek jera.
Hukuman yang dijatuhkan, baik berupa denda maupun sanksi pidana, sering kali dianggap terlalu ringan dibandingkan dengan keuntungan finansial yang diperoleh perusahaan pencemar. Denda yang tidak proporsional juga menjadi permasalahan. Perusahaan besar mungkin hanya dikenakan denda puluhan atau ratusan juta rupiah, jumlah yang kecil dibandingkan dengan biaya operasional yang harus mereka keluarkan untuk memasang teknologi antipolusi. Hal ini membuat mereka lebih memilih membayar denda daripada berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kasus pencemaran lingkungan sering kali berjalan sangat lama di pengadilan, menghabiskan waktu, biaya, dan energi. Penundaan ini memungkinkan perusahaan untuk terus beroperasi dan mencemari lingkungan. Sanksi pidana jarang sekali diterapkan kepada pelaku pencemaran.
Sistem regulasi di Indonesia kompleks dan tidak terkoordinasi. Adanya peraturan dari berbagai kementerian atau lembaga—misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, dan pemerintah daerah—dapat menyebabkan tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan. Standar ambang batas emisi dari industri terkadang tidak konsisten antara satu peraturan dengan peraturan lainnya, sehingga membuat pengawasan menjadi sulit. Prosedur perizinan yang rumit dan tidak terintegrasi memungkinkan celah bagi perusahaan untuk menghindari persyaratan lingkungan yang ketat. Kurangnya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah mempersulit permasalahan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah memiliki aturan lokal yang berbeda dari peraturan pusat. Hal ini menciptakan kebingungan dan hambatan dalam penegakan hukum yang seragam. Lembaga pengawasan lingkungan, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki keterbatasan jumlah personel, anggaran, dan peralatan untuk memantau ribuan pabrik dan sumber polusi lainnya.
Data kualitas udara dan laporan kepatuhan industri sering kali tidak mudah diakses oleh publik. Hal ini mempersulit masyarakat untuk memantau dan melaporkan pelanggaran. Pada beberapa kasus, kelemahan pengawasan juga diperparah oleh isu korupsi. Pihak yang seharusnya mengawasi justru dapat "bermain mata" dengan perusahaan pencemar, sehingga penegakan hukum tidak berjalan.
Pada hakikatnya, Hari Paru Sedunia bukan hanya tentang kampanye kesehatan atau sekadar mengenakan pita hijau. Peringatan ini adalah pengingat bahwa di balik setiap hirupan napas yang penuh ancaman polusi, ada hak-hak fundamental yang sedang terabaikan. Perjuangan untuk udara bersih adalah perjuangan untuk hak asasi. Hari Paru Sedunia bukan sekadar refleksi, tetapi sebagai momentum untuk bertindak.
ADVERTISEMENT

