Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Iklan Dokter dari Perspektif Undang-Undang Kesehatan
9 Maret 2025 12:34 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Era digital telah mengubah cara informasi disebarkan dan dikonsumsi. Platform seperti website, media sosial (Facebook, Instagram, TikTok, YouTube, Twitter/X), mesin pencari (Google), dan berbagai aplikasi online lainnya menawarkan saluran iklan yang kuat dan luas. Iklan online tidak terbatas oleh batas geografis seperti iklan tradisional (misalnya, spanduk atau iklan di koran lokal). Klinik di Jakarta bisa menjangkau calon pasien di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, jika relevan (misalnya untuk layanan medical tourism).
ADVERTISEMENT
Iklan dokter di era sekarang ini dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai jenis informasi kesehatan yang bermanfaat. Masyarakat dapat mengetahui jenis layanan kesehatan yang ditawarkan oleh dokter atau klinik, spesialisasi dokter, fasilitas yang tersedia, teknologi yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal ini membantu masyarakat memilih layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Iklan dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit tertentu, gejala-gejala yang perlu diwaspadai, faktor risiko, dan pentingnya deteksi dini. Contohnya, iklan tentang kanker payudara yang menekankan pentingnya pemeriksaan mamografi rutin. Iklan bisa mempromosikan program vaksinasi, medical check-up, kampanye berhenti merokok, pentingnya olahraga teratur, pola makan sehat, dan informasi pencegahan penyakit lainnya. Iklan dapat memperkenalkan teknologi medis baru, metode pengobatan inovatif, atau layanan kesehatan terbaru yang mungkin bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini membantu masyarakat mengetahui perkembangan terbaru di bidang kesehatan. Iklan dapat memberikan informasi penting seperti alamat klinik/rumah sakit, nomor telepon, website, akun media sosial, jam operasional, dan cara membuat janji temu.
ADVERTISEMENT
Iklan dokter yang tidak terkendali dan berlebihan adalah potensi komersialisasi profesi kedokteran. Profesi dokter secara tradisional dianggap sebagai salah satu profesi yang mulia dan terhormat di masyarakat. Inti dari profesi dokter adalah melayani pasien, meringankan penderitaan, dan meningkatkan kualitas hidup. Kepentingan pasien seharusnya selalu menjadi prioritas utama, di atas kepentingan pribadi atau finansial dokter. Profesi kedokteran terikat dengan kode etik, seperti sumpah Hippocrates dan prinsip etika biomedis (Beneficence, Non-maleficence, Autonomy, Justice). Nilai-nilai ini menekankan pada integritas, kejujuran, kerahasiaan, dan tanggung jawab moral yang tinggi. Masyarakat menaruh kepercayaan yang besar kepada dokter. Dokter diharapkan menjadi sosok yang bijaksana, berpengetahuan luas, dapat diandalkan, dan bertindak demi kepentingan terbaik pasien. Kepercayaan ini adalah fondasi penting dari hubungan dokter-pasien.
ADVERTISEMENT
Iklan dokter yang tidak terkendali dan agresif dapat secara bertahap mengikis nilai-nilai luhur ini dan mendorong komersialisasi profesi kedokteran. Iklan yang berfokus pada promosi diskon, paket layanan menarik, atau janji-janji instan cenderung mereduksi layanan kesehatan menjadi komoditas yang diperjualbelikan seperti barang atau jasa lainnya. Hal ini mengabaikan kompleksitas layanan kesehatan, aspek kemanusiaan, dan tanggung jawab etika yang melekat di dalamnya. Ketika iklan menjadi fokus utama, fasilitas kesehatan dan dokter akan lebih berkompetisi dalam hal harga dan promosi daripada kualitas layanan atau inovasi medis. Hal ini dapat menurunkan standar kualitas dan mendorong praktik-praktik yang kurang etis demi menarik pasien. Akibat dari komersialisasi ini adalah tercemarnya citra dokter di mata masyarakat. Iklan yang berlebihan dan berorientasi komersial dapat mengikis kepercayaan publik terhadap dokter sebagai figur yang dihormati dan diandalkan.
ADVERTISEMENT
Beberapa iklan dokter, sifatnya tidak etis karena menyampaikan informasi yang menyesatkan dan klaim yang berlebihan, misalnya: klaim kesembuhan instan, melebih-lebihkan manfaat layanan atau produk, menyajikan statistik keberhasilan yang dipilih secara selektif untuk membuat layanan tampak lebih efektif dari sebenarnya, menyembunyikan data tentang kegagalan atau efek samping, penggunaan testimoni pasien secara berlebihan atau tidak representatif, klaim tanpa bukti ilmiah atau dasar yang lemah, mengeksploitasi rasa takut atau kecemasan pasien.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara umum menekankan pada pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, efektif, efisien, dan etis. Artinya, segala bentuk promosi atau informasi layanan kesehatan, termasuk iklan dokter, haruslah dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. Iklan tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur profesi kedokteran dan harus mengutamakan kepentingan pasien.
ADVERTISEMENT
Undang-undang ini juga menjamin hak pasien untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai layanan kesehatan yang akan diterimanya. Iklan dokter, sebagai salah satu bentuk penyampaian informasi layanan kesehatan kepada masyarakat, haruslah memberikan informasi yang benar, akurat, dan tidak menyesatkan. Iklan tidak boleh memberikan klaim yang berlebihan atau informasi yang dipalsukan demi menarik pasien. Secara umum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur kewajiban tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan, serta menjunjung tinggi etika profesi. Hal ini termasuk kewajiban untuk memberikan informasi yang jujur, objektif, dan tidak memihak kepada pasien. Dalam konteks iklan, dokter dan fasilitas kesehatan yang beriklan memiliki kewajiban moral dan etika untuk memastikan bahwa iklan mereka memuat informasi yang jujur, akurat, dan tidak bertentangan dengan etika profesi kedokteran.
ADVERTISEMENT
Meskipun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak secara spesifik mengatur iklan dokter, peraturan perundang-undangan tentang periklanan secara umum tetap berlaku dan relevan untuk iklan dokter. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (beserta perubahannya), mengatur tentang etika dan ketentuan isi siaran iklan di media penyiaran. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, melarang iklan yang menyesatkan atau menipu konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, lebih detail mengatur mengenai standar isi siaran iklan. Etika Pariwara Indonesia (EPI), mengatur tentang iklan layanan kesehatan dan menekankan pentingnya informasi yang benar, tidak menyesatkan, dan tidak mengeksploitasi emosi pasien. Selain peraturan perundang-undangan, organisasi profesi kedokteran (seperti Ikatan Dokter Indonesia - IDI) juga memiliki kode etik kedokteran yang mengatur perilaku dokter secara umum, termasuk dalam hal promosi atau penyampaian informasi layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menekankan prinsip pelayanan kesehatan yang etis dan bertanggung jawab, serta hak pasien atas informasi yang benar. Namun, prinsip-prinsip ini bersifat terlalu umum dan abstrak untuk mengatur kompleksitas iklan dokter secara efektif. Karena tidak ada pengaturan spesifik dalam UU Kesehatan, regulasi iklan dokter menjadi terfragmentasi dan tersebar di berbagai peraturan lain seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun ada berbagai peraturan, tetapi terdapat kekosongan hukum terkait aspek-aspek tertentu dalam iklan dokter yang tidak tercover secara spesifik oleh peraturan manapun. Contohnya, regulasi iklan dokter di media sosial atau influencer marketing, belum diatur secara komprehensif.
Iklan dokter semakin banyak bertebaran di media sosial, platform streaming video, aplikasi mobile, dan berbagai platform digital lainnya. Regulasi yang ada belum sepenuhnya mampu menjangkau dan mengontrol iklan di platform ini secara efektif. Dokter atau fasilitas kesehatan seringkali menggunakan influencer atau content marketing untuk promosi layanan. Bentuk iklan ini lebih terselubung dan sulit diidentifikasi sebagai iklan secara tradisional. Regulasi yang ada kurang efektif untuk mengatur bentuk promosi yang native dan terintegrasi dengan konten ini.
ADVERTISEMENT
Iklan online dapat dengan mudah menjangkau audiens lintas batas negara. Regulasi di tingkat nasional kesulitan untuk mengontrol iklan dokter dari luar negeri yang menargetkan masyarakat Indonesia, atau sebaliknya. Ketika terjadi pelanggaran, proses penegakan hukum menjadi rumit dan panjang karena melibatkan berbagai lembaga dan peraturan yang berbeda. Hal ini bisa mengurangi efektivitas penegakan hukum dan memberikan kesan bahwa regulasi iklan dokter kurang tegas.
Pemerintah perlu menyusun peraturan pelaksana dari UU No. 17 Tahun 2023 yang lebih spesifik dan detail mengatur tentang iklan dokter. Peraturan ini menjabarkan batasan-batasan etika, jenis klaim yang dilarang, format iklan yang diatur, mekanisme pengawasan, dan sanksi yang tegas. Perlu ada koordinasi yang lebih kuat dan jelas antar lembaga yang berwenang mengatur dan mengawasi iklan dokter (Kemenkes, Kominfo, BPOM, DPI, IDI). Pembagian tugas dan mekanisme kerjasama perlu diperjelas.
ADVERTISEMENT
Regulasi iklan dokter harus adaptif dan responsif terhadap perkembangan teknologi digital. Peraturan perlu diperbarui secara berkala untuk mengatasi tantangan iklan di media sosial, influencer marketing, dan platform digital lainnya. Perlu dibangun mekanisme pengawasan yang lebih proaktif dan efektif untuk memantau iklan dokter, termasuk di media digital. Pengawasan tidak hanya menunggu aduan, tetapi juga melakukan pemantauan rutin dan online monitoring. Sanksi bagi pelanggaran iklan dokter perlu dipertegas dan diefektifkan, agar memberikan efek jera yang signifikan bagi pelanggar. Sanksi tidak hanya bersifat administratif (teguran, denda), tetapi juga bisa mencakup sanksi yang lebih berat (misalnya, pencabutan izin praktik/usaha, sanksi hukum). Pemerintah, organisasi profesi, dan DPI perlu melakukan sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif kepada dokter, fasilitas kesehatan, agensi periklanan, dan masyarakat mengenai regulasi dan etika iklan dokter.
ADVERTISEMENT