Konten dari Pengguna

Imbal Jasa bagi Dokter PPDS: Tanggung Jawab Siapa?

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
29 September 2024 14:24 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum harus segera mewujudkan bentuk imbal jasa terhadap Dokter Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) agar tujuan hukum untuk memberikan kepastian hukum, keadilan serta kemanfaatan hukum dapat dirasakan oleh Dokter Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
ADVERTISEMENT
Dokter adalah sebuah profesi yang mulia dan sekaligus juga merupakan profesi yang memiliki tanggung jawab besar, terutama terkait dengan patient safety. Oleh karena itu, alur pendidikan yang ditempuh oleh seorang Dokter, relatif panjang. Apabila seorang dokter telah menjalani semua tahapan untuk menjadi Dokter Umum maka Dokter Umum tersebut dapat melanjutkan pendidikannya dengan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sesuai dengan spesialisasi yang ingin didalami oleh Dokter Umum itu. Waktu tempuh untuk menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) bervariasi, berkisar antara 2 - 4 tahun dan sebagian besar waktu akan dihabiskan untuk praktik di fasilitas kesehatan. Dokter Umum yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) ini disebut Residen (Dokter Residen).
ADVERTISEMENT
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, dalam bukunya yang berjudul, “Kebijakan Pembiayaan dan Fragmentasi Sistem Kesehatan” menyatakan bahwa, Dokter Residen adalah dokter yang telah menyelesaikan studi kedokteran dan mendapatkan gelar Dokter (Dokter Umum), tetapi masih harus memperdalam pengetahuan dan keterampilan klinis mereka melalui pelatihan klinis yang intensif di bawah pengawasan Dokter Spesialis di rumah sakit atau lembaga kesehatan lainnya. Program pendidikan dan pelatihan Dokter Residen biasanya berlangsung selama beberapa tahun dan terdiri dari rotasi ke berbagai departemen di rumah sakit atau lembaga kesehatan lainnya. Selama menempuh program ini, Dokter Residen akan belajar mengenai berbagai aspek praktik kedokteran, seperti diagnosis, perawatan pasien, penanganan kasus gawat darurat, dan prosedur medis. Dokter Residen juga memiliki tanggung jawab dalam merawat pasien di bawah pengawasan Dokter Spesialis dan juga belajar untuk melakukan tindakan medis yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pada awalnya terdapat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai pendidikan Dokter, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Salah satu hal yang ditekankan oleh undang-undang ini adalah mengenai insentif, dimana dinyatakan bahwa Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis berhak memperoleh insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran (Pasal 31 (1) (b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran). Insentif di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dimaknai sebagai imbalan dalam bentuk materi yang diberikan oleh Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran atas jasa pelayanan medis yang dilakukan sesuai kompetensinya (Penjelasan Pasal 31 (1) (b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran). Terkait dengan insentif ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Ketiga Undang-Undang tersebut merupakan satu kesatuan untuk memaknai mengenai insentif karena Dokter Residen dalam menempuh pendidikan, juga melaksanakan praktik kedokteran di rumah sakit dan merupakan kewajiban dari rumah sakit untuk memberikan insentif.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 8 Agustus 2023, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan di dalam Pasal 454 (f) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Hingga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, ketentuan mengenai insentif bagi Dokter peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau biasa disebut dengan Dokter Residen belum memberikan kemanfaatan hukum. Hal ini dikarenakan belum ada peraturan yang menerjemahkan atau menjelaskan lebih lanjut ketentuan mengenai insentif bagi Dokter Residen, misalnya: mekanisme pembagian kewenangan dan pertanggungjawaban dalam pemberian insentif bagi Dokter Residen, pihak yang bertanggung jawab dalam pemberian insentif bagi Dokter Residen, dan besaran insentif yang proporsional bagi Dokter Residen.
ADVERTISEMENT
Apabila dilakukan perbandingan antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka terlihat bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menghadirkan sesuatu hal yang baru sekaligus tantangan bagi Rumah Sakit Pendidikan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mencabut fasilitas insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan. Pada awalnya, Rumah Sakit mempunyai hak: menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit; menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan; menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan (Pasal 30 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Namun, hak Rumah Sakit tersebut kemudian diubah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di dalam Undang-Undang tersebut, hak Rumah Sakit menjadi: menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit; menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam mengembangkan pelayanan; menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; mendapatkan pelindungan hukum dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan; dan mempromosikan layanan Kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 191 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Sebagai pengganti dari ketentuan mengenai insentif pajak bagi Rumah Sakit Pendidikan maka dihadirkan mekanisme pembiayaan bagi Rumah Sakit Pendidikan, dimana Pendapatan Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan sebagai pendapatan negara atau pendapatan Pemerintah Daerah (Pasal 191 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Artinya adalah, dengan ketiadaan insentif pajak bagi Rumah Sakit Pendidikan maka Rumah Sakit Pendidikan didorong untuk mencari pendapatan yang nantinya akan dipergunakan bagi biaya operasional bagi Rumah Sakit Pendidikan. Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi Rumah Sakit Pendidikan yang juga menyelenggarakan pendidikan bagi Dokter Residen.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara tegas menyatakan bahwa Dokter Residen adalah peserta didik yang mempunyai hak dan kewajiban. Salah satu hak dari peserta didik adalah mendapatkan imbal jasa. Selengkapnya, hak peserta didik adalah sebagai berikut: memperoleh bantuan hukum dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan; memperoleh waktu istirahat; mendapatkan jaminan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mendapat pelindungan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan; dan mendapat imbalan jasa pelayanan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan (Pasal 219 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Jadi, imbal jasa merupakan hak bagi peserta didik.
ADVERTISEMENT
Anehnya, imbal jasa tersebut bukan merupakan kewajiban bagi Rumah Sakit. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa ada 20 (dua puluh) kewajiban Rumah Sakit. Namun, dari 20 (dua puluh) kewajiban tersebut, tidak ada kewajiban untuk memberikan imbal jasa bagi peserta didik, yang dalam hal ini adalah Dokter Residen. Adapun 20 (dua puluh) kewajiban Rumah Sakit tersebut adalah sebagai berikut: memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat; memberikan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit; memberikan pelayanan Gawat Darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya; berperan aktif dalam memberikan Pelayanan Kesehatan pada bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya; menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin; melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan bagi Pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan Gawat Darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan bagi korban bencana dan KLB, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan; membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani Pasien; menyelenggarakan rekam medis; menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak, antara lain sarana ibadah, tempat parkir, ruang tunggu, sarana untuk penyandang disabilitas, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia; melaksanakan sistem rujukan; menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan; memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban Pasien; menghormati dan melindungi hak-hak Pasien; melaksanakan etika Rumah Sakit; memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana; melaksanakan program pemerintah di bidang Kesehatan, baik secara regional maupun nasional; membuat daftar Tenaga Medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan Tenaga Kesehatan lainnya; menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit; melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan tanpa rokok (Pasal 189 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Kembali ke judul artikel ini, “Imbal Jasa bagi Dokter PPDS: Tanggung Jawab Siapa?” Hal tersebut hingga saat ini masih menjadi misteri. Semoga peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan dapat memecahkan misteri tersebut dan memberikan keadilan yang proporsional bagi Dokter PPDS.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/pembedahan-rsud-dokter-peduli-1822458/