Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Karakteristik Perbuatan Melawan Hukum dalam Sengketa Medis
2 April 2024 9:14 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara umum, istilah PMH (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Berdasarkan pengertian ini, maka ruang lingkup dari PMH (onrechtmatige daad) adalah sempit. Ganti kerugian tidak dapat diajukan terhadap suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pengertian PMH (onrechtmatige daad) menjadi lebih luas dengan adanya Keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen. Hoge Raad memberikan pertimbangan bahwa PMH (onrechmatige daad) diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Sedangkan barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian. Jadi, unsur-unsur PMH (onrechtmatige daad) berdasarkan Putusan Hoge Raad 1919 adalah: melanggar hak orang lain, seperti hak pribadi (integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain) dan hak absolut (hak kebendaan, nama perniagaan, dan lain-lain); bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; bertentangan dengan kesusilaan, yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang bertentangan dengan sopan santun yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat; bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum perdata, PMH dikenal dengan istilah onrechtmatige daad. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, PMH (onrechtmatige daad) adalah, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Berdasarkan uraian tersebut, unsur-unsur PMH (onrechtmatige daad) perdata meliputi adanya PMH, adanya kesalahan, adanya sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, serta adanya kerugian.
Rosa Agustina dalam bukunya berjudul Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) menjelaskan bahwa dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut: bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; bertentangan dengan hak subjektif orang lain; bertentangan dengan kesusilaan; dan bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Lebih lanjut, Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya berjudul KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, sebagaimana dikutip oleh Rosa Agustina menguraikan unsur PMH (onrechtmatige daad) yang harus dipenuhi, antara lain: harus ada perbuatan (positif maupun negatif); perbuatan itu harus melawan hukum; ada kerugian; ada hubungan sebab akibat antara PMH itu dengan kerugian; dan ada kesalahan.
ADVERTISEMENT
Beberapa pakar dan pemerhati Hukum Kesehatan memberikan penjelasan mengenai penerapan PMH (onrechtmatige daad) dalam tindakan medis. Gugatan PMH (onrechtmatige daad) dalam tindakan medis diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dengan unsur-unsur : 1) Pasien harus mengalami suatu kerugian; 2) Ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga bisa bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya); 3) Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; 4) Perbuatan itu melanggar hukum. Untuk dapat disebut PMH (onrechtmatige daad) harus dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : 1) Pasien harus mengalami suatu kerugian; 2) Ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga bisa bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya); 3) Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; 4) Perbuatan itu melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan PMH (onrechtmatige daad) unsur kesalahan itu berdiri sendiri (schuld zelfstanding vereiste). Artinya gugatan pada PMH (onrechtmatige daad) wajib tercermin tindakan/perbuatan dari dokter yang dapat dipersalahkan menurut hukum. Pertanggungjawaban dokter atas PMH (onrechtmatige daad) dalam tindakan medis berdasarkan undang-undang mengacu kepada Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 1366 KUHPerdata, dan Pasal 1367 KUHPerdata.
Pasal 1365 KUHPerdata diartikan bahwa pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan PMH (onrechtmatige daad). Dengan demikian untuk menentukan seorang dokter bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi, haruslah terdapat hubungan yang erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. Bentuk pertanggungjawaban dalam PMH (onrechtmatige daad) dalam tindakan medis berdasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata ialah bisa berupa ganti rugi materi dan immateri yang haruslah terdapat hubungan yang erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Pasal 1366 KUHPerdata menjelaskan bahwa, seseorang tidak saja bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab terhadap tindakan dari orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Pasal 1367 KUHPerdata digunakan untuk pertanggungjawaban dokter bagi orang-orang yang berada di bawah pengawasannya. Dengan demikian seorang dokter harus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya yaitu perawat, bidan, dan sebagainya, sehingga kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung jawab dokter.
Penulis akan memberikan penjelasan mengenai penerapan PMH (onrechtmatige daad) dalam pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit. Penerapan PMH (onrechtmatige daad) dalam pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit mengandung makna bahwa Rumah Sakit harus bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran di Rumah Sakit. Pasal 39 UU Praktik Kedokteran memberikan pondasi mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran dengan menyatakan bahwa, “Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.” Artinya, penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan sebuah perikatan yang berbentuk inspanningsverbintennis (perikatan yang menuntut dilakukan upaya maksimal bidang keperdataan khusus). Salah satu bentuk penyelenggaraan praktik kedokteran adalah upaya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 45 UU Praktik Kedokteran. Pondasi dari upaya tindakan medis tercermin dalam informed consent, yaitu adanya persetujuan dari pasien dan/atau keluarga pasien dalam bentuk lisan atau tertulis kepada dokter/tenaga kesehatan yang akan melakukan upaya tindakan medis.
ADVERTISEMENT
Tindakan medis merupakan ranah pertanggungjawaban hukum dokter, tetapi penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan ranah pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit. Meskipun berbeda, tetapi kedua pertanggungjawaban hukum ini berhubungan erat. Pada saat dokter terbukti melakukan kelalaian dalam tindakan medisnya, misalnya kelalaian yang disebabkan karena lack of skill, maka hal tersebut dapat menimbulkan pertanggungjawaban hukum bagi Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan Rumah Sakit dibebani dengan kewajiban untuk menjamin mutu atau kualitas dari dokter yang bekerja dan/atau melakukan tindakan medis di Rumah Sakit. Pasien yang datang ke Rumah Sakit mempercayakan kualitas dan penjaminan mutu dokter sepenuhnya kepada Rumah Sakit. Sebelum melakukan pengobatan atau mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Rumah Sakit, pasien tidak mengetahui dan tidak mungkin untuk mengakses kualitas atau mutu dokter yang bekerja di Rumah Sakit. Pasien mempercayakan proses kredensial, audit medis, kendali mutu dan penjaminan mutu yang dilakukan oleh Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
Informed consent merupakan pondasi atau bukti tentang salah benarnya upaya tindakan medis yang dilakukan dokter kepada pasien. Namun, dalam penyelenggaraan informed consent, Rumah Sakit dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Misalnya, jika dokter berbuat yang bertentangan dengan kesepakatan sepihak yang dilakukan pasien-keluarga pasien dan terscermin dalam informed consent. Misalnya, tidak ada persetujuan mengangkat rahim atas operasi pengangkatan tumor. Akan tetapi jika pengangkatan rahim dianggap urgent, mendesak dan demi menyelamatkan pasien maka untuk menghindari sengketa medisnya pihak dokter wajib memintakan persetujuan terlebih dahulu setidaknya kepada keluarga pasien atau jika tidak ada pihak keluarga pasien yang menemani maka dimintakan persetujuannya kepada tim dokter yang ada di Rumah Sakit tersebut. Perlu ditelusuri, apakah alasan yang mendasari tindakan pengangkatan rahim yang tidak disebutkan di dalam informed consent tersebut sebagai suatu perluasan operasi karena kondisi darurat pasien atau sebaliknya merupakan misdiagnosis merupakan perdebatan dalam pertanggungjawaban tersendiri bidang medis yang tidak serta merta dalam menyalahkan atau membenarkan upaya tindakan medis yang dibutuhkan pasien. Penyimpangan terhadap standar yang ditetapkan oleh Rumah Sakit berpotensi membawa pertanggungjawaban hukum bagi Rumah Sakit karena Rumah Sakit dianggap telah gagal melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dokter yang melakukan tindakan medis di Rumah Sakit. Apabila pengangkatan rahim disebabkan karena misdiagnosis, maka penyebab yang dominan adalah lack of skill dari dokter. Lack of skill ini dapat dihindari apabila prosedur dan mekanisme penjaminan mutu dari Rumah Sakit berfungsi dengan baik. Untuk memastikan apakah kegagalan dokter dalam melakukan tindakan medis tergolong sebagai lack of skill atau bukan, hukum disiplin sangat berperan dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
Sifat khusus penyelenggaraan layanan praktik kedokteran merupakan sebuah perikatan yang berbentuk inspanningsverbintennis (perikatan yang menuntut dilakukan upaya maksimal bidang perdata khusus). Menurut Peneliti, ada 3 (tiga) parameter untuk menentukan atau mengukur apakah penyelenggaraan upaya tindakan praktik kedokteran telah berdasarkan upaya maksimal atau tidak. Pertama, pengukuran berdasarkan Standar (baik Standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, Organisasi Profesi, maupun oleh Rumah Sakit), baik berupa Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional (SOP) maupun Standar Profesi. Penyelenggaraan praktik kedokteran harus mematuhi standar. Kedua, pengukuran berdasarkan kemampuan rata-rata atau average. Dalam hal ini, dokter yang melakukan upaya tindakan medis dibandingkan dengan dokter lainnya dari kategori atau spesialisasi yang sama. Misalnya, permasalahan terjadi dalam penyelenggaraan upaya tindakan praktik kedokteran berupa Bedah Caesar. Dalam hal ini, Dokter Spesialis Kandungan yang melaksanakan tindakan Bedah Caesar dibandingkan dengan Dokter Spesialis Kandungan lainnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah kemampuan dokter tersebut minimal rata-rata adalah sama atau average. Apabila kemampuan dokter tidak memenuhi standar kemampuan rata-rata atau average, maka dapat dipastikan bahwa parameter upaya maksimal dari inspanningsverbintennis bidang perdata khusus atau menerapkan Teori Upaya Medis (Medical Effort Theory) tidak tercapai. Ketiga, pengukuran berdasarkan situasi dan kondisi yang sama. Misalnya: dokter yang berdinas di Rumah Sakit Tipe C dibandingkan dengan dokter lain yang berdinas di Rumah Sakit Tipe C, dokter yang berdinas di daerah terpencil dibandingkan dengan dokter lain yang berdinas di daerah terpencil. Apabila hasil perbandingan memenuhi unsur kewajaran, maka dapat dipastikan bahwa dalam hal ini dokter telah melakukan upaya maksimal dalam perikatan inspanningsverbintennis bidang perdata khusus.
ADVERTISEMENT
Menurut Penulis, ada beberapa hal yang menyebabkan sifat khusus dari penyelenggaraan praktik kedokteran digolongkan sebagai sebuah perikatan yang berbentuk inspanningsverbintennis bidang perdata khusus (perikatan yang menuntut dilakukan upaya maksimal bidang perdata khusus), baik yang diatur di dalam Pasal 45 maupun Pasal 39 UU Praktik Kedokteran, yaitu: Pertama, keterbatasan ilmu dan teknologi dalam bidang kedokteran sehingga ilmu kedokteran tidak dapat menjanjikan keberhasilan dalam setiap penyelenggaraan praktik kedokteran. Oleh karena itu, karakteristik penyelenggaraan praktik kedokteran tidak mungkin merupakan resultaatsverbintennis (perikatan yang prestasinya berupa hasil); Kedua, karakteristik pasien yang sangat spesifik, berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya sehingga terapi yang diberikan dapat berbeda meskipun diagnosisnya adalah sama karena karakteristik tiap individu adalah berbeda dan unik; Ketiga, adanya potensi risiko medis dalam setiap tindakan medis sehingga penyelenggaraan praktik kedokteran dapat menemui kendala apabila terjadi risiko medis. Salah satu hal yang harus dipahami adalah dalam setiap tindakan medis selalu terkandung risiko medis dengan persentase dan probabilitas yang berbeda-beda; Keempat, karakteristik pasien di Indonesia yang beraneka ragam dan unik sehingga dimungkinkan terjadi contributory of negligence (kontribusi kesalahan pasien) yang menyebabkan kegagalan dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Misalnya, pasien setelah melakukan pengobatan di Rumah Sakit, dengan inisiatifnya sendiri melakukan berbagai pengobatan alternatif. Atau, pasien tidak mematuhi jadwal konsultasi dan pengobatan lanjutan yang telah dijadwalkan oleh Rumah Sakit; Kelima, kemungkinan terjadinya kecelakaan medis sehingga menyebabkan kegagalan penyelenggaraan praktik kedokteran. Misalnya, listrik di kamar operasi padam pada saat dilakukan tindakan pembedahan dan genset Rumah Sakit tidak langsung berfungsi untuk menggantikan pasokan listrik yang padam.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan aspek Hukum Keperdataan Khusus, Rumah Sakit dimungkinkan juga untuk dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan perbuatan Wanprestasi, yaitu tanggung jawab dalam suatu gugatan berdasarkan perjanjian atau kontrak yang dilakukan pasien dan rumah sakit berdasarkan perjanjian menuntut hasil (Wanprestasi). Gugatan Wanprestasi dalam ketentuan KUHPerdata diatur dalam Pasal 1329 yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau, untuk tidak berbuat sesuatu, apakah si berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.” Terkait dengan pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit, Wanprestasi dapat terjadi karena adanya pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati antara Rumah Sakit dan pasien. Perjanjian ini dapat meliputi perjanjian tertulis maupun tidak tertulis asalkan syarat-syarat sahnya perjanjian sudah dipenuhi berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Gugatan Wanprestasi memerlukan suatu pemenuhan perjanjian. Akan tetapi bukan tidak mungkin apabila kedua belah pihak yang telah mengadakan perjanjian dan kemudian timbul kerugian, mereka tidak hanya menuntut atas tindakan Wanprestasi, tetapi dapat sekaligus menuntut PMH (onrechtmatige daad) apabila ditemukan unsur PMH (onrechtmatige daad).
ADVERTISEMENT
Dalam proses gugatan perdata, dapat dipastikan pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit terhadap pasien hampir semuanya menyangkut tuntutan ganti rugi. Untuk gugatan yang berdasar atas Wanprestasi lebih disebabkan karena adanya suatu perjanjian (tanggung jawab kontraktual) antara para pihak. Sedangkan, gugatan yang berdasarkan atas PMH (onrechtmatige daad) disebabkan oleh penyelenggaraan praktik kedokteran yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang diharapkan dari padanya dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat (tanggung jawab berdasar undang-undang berdasarkan Standar Profesi (SP), Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kebutuhan medis pasien).
Menurut Penulis, dalam pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit, Wanprestasi dapat diterapkan terkait dengan perjanjian yang diimplementasikan antara pasien dan Rumah Sakit. Perjanjian ini bukan dalam ranah penyelenggaraan praktik kedokteran, tetapi berada dalam wilayah duty of care Rumah Sakit, khususnya penggunaan fasilitas dan sarana prasarana Rumah Sakit. Misalnya: Perjanjian Rawat Inap. Pasien rawat inap sebelum dilakukan perawatan selalu didahului dengan perjanjian rawat inap (salah satunya adalah mengenai tipe kamar dan fasilitas yang dipilih oleh pasien). Cidera janji terhadap perjanjian rawat inap dapat menyebabkan Rumah Sakit harus bertanggung jawab berdasarkan Wanprestasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai simpulan, menurut Penulis, PMH (onrechtmatige daad) dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan PMH (onrechtmatige daad) secara umum. Oleh karena itu, PMH (onrechtmatige daad) dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan merupakan PMH (onrechtmatige daad) secara khusus. Beberapa hal yang membedakan adalah sebagai berikut:
Pertama, PMH (onrechtmatige daad) secara umum diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan. Ada 2 (dua) hal yang dapat dianalisis terkait dengan PMH (onrechtmatige daad) secara khusus, yaitu “perbuatan” dan “kealpaan” atau “kelalaian”. Dalam bidang medis, unsur perbuatan ini dapat dibedakan antara perbuatan yang merupakan perikatan layanan medis sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 39 UU Praktik Kedokteran dan perbuatan yang merupakan perikatan tindakan medis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 UU Praktik Kedokteran. Perikatan layanan medis sering digolongkan sebagai inspanningsverbintennis dalam koridor perdata khusus. Sedangkan perikatan tindakan medis merupakan sebuah perikatan sepihak dalam suatu tindakan upaya medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. Wujudnya adalah “satu pihak bersetuju, pihak lain berkewajiban” (“one party agrees, the other party has an obligation”). Perikatan layanan medis sifatnya kedua belah pihak berikat (semacam perjanjian dalam layanan medis perdata khusus), sedangkan perikatan tindakan medis sifatnya sepihak. Karakteristik dari ikatan tindakan medis selalu mendasarkan pada upaya maksimal (Medical Effort Theory). Terkait dengan “kealpaan” atau “kelalaian” dalam Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) secara khusus, unsur yang harus dibuktikan adalah adanya penyimpangan terhadap Standar (baik Standar Pelayanan, Standar Profesi maupun Standar Prosedur Operasional) dan pemenuhan terhadap kebutuhan medis pasien. Untuk membuktikan adanya penyimpangan tersebut dapat dilakukan melalui perbandingan (diperbandingkan) dengan dokter lain dengan kemampuan rata-rata average yang sama dan dalam situasi kondisi yang sama. Sedangkan untuk membuktikan pemenuhan kebutuhan medis pasien adalah dengan menganalisis perbandingan yang proporsional antara tindakan medis atau layanan medis yang dilakukan dengan tujuan dari tindakan medis atau layanan medis. Tindakan medis atau layanan medis yang berlebihan dan tidak proporsional, berpotensi digolongkan sebagai defensive medicine. Sedangkan tindakan medis atau layanan medis yang tidak memenuhi upaya maksimal, berpotensi digolongkan sebagai penyebab malpraktik medis.
ADVERTISEMENT
Kedua, PMH (onrechtmatige daad) secara umum tidak diperbolehkan bertentangan dengan hak orang lain, khususnya adalah hak subjektif orang lain. Sedangkan dalam PMH (onrechtmatige daad) secara khusus dimungkinkan atau dalam beberapa hal diperbolehkan bertentangan dengan hak orang lain dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan pada dasarnya dapat dipersamakan dengan tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 351 KUHP. Namun, unsur penganiayaan ini menjadi terhapus karena adanya 3 (tiga) hal yaitu: Pertama, dalam pelaksanaannya didasarkan pada informed consent; Kedua, sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis (dalam hal ini, tindakan pembedahan dilakukan sesuai dengan standar, baik standar pelayanan, standar profesi maupun standar prosedur operasional); Ketiga, tindakan pembedahan ditujukan untuk suatu tujuan yang konkrit, yaitu kebutuhan medis pasien. Contoh lainnya mengenai tindakan medis yang bertentangan dengan hak orang lain adalah tindakan medis terkait dengan perluasan operasi, dimana dalam perluasan operasi dilakukan beberapa tindakan medis (bahkan pengangkatan organ) yang sebelumnya tidak dijelaskan di dalam informed consent. Tindakan perluasan operasi diperbolehkan apabila selaras dengan Doktrin Life Saving, yaitu sebagai upaya tindakan medis yang terbaik untuk menyelamatkan pasien.
ADVERTISEMENT
Ketiga, PMH (onrechtmatige daad) secara umum diartikan sebagai perbuatan yang tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Namun, dalam PMH (onrechtmatige daad) secara khusus dimungkinkan untuk dilakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Contohnya adalah tindakan medis yang berupa aborsi. Pada dasarnya, aborsi bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Namun, aborsi diperbolehkan apabila bertujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Meskipun dalam aborsi ini konsekuensinya adalah menghilangkan nyawa janin yang dikandung oleh ibu. Tindakan medis ini bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan karena salah satu amanah dari Kode Etik Kedokteran Indonesia mewajibkan setiap dokter untuk menghormati hak hidup setiap makhluk insani. Tetapi, dalam kondisi kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, dokter diperkenankan oleh Doktrin (Doktrin Life Saving) dan Peraturan Perundang-Undangan untuk melakukan tindakan penyelamatan (khususnya terhadap ibu), dengan konsekuensi menghilangkan nyawa janin yang dikandung oleh ibu.
ADVERTISEMENT