Konten dari Pengguna

Kecurangan (Fraud) dalam Penyelenggaraan JKN

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
5 Mei 2024 14:25 WIB
·
waktu baca 16 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Luasnya cakupan dan kepesertaan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional serta besarnya dana yang dikelola melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional menimbulkan kecurangan (fraud) dalam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Kecurangan (fraud) ini semakin kronis dengan adanya celah dalam regulasi dan sistem pelayanan kesehatan serta lemahnya penegakan hukum sehingga tidak dapat mewujudkan kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Program Jaminan Kesehatan Nasional merupakan program Pemerintah yang bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Manfaat program ini diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) termasuk obat dan bahan medis dengan menggunakan teknik layanan kendali mutu dan biaya (managed care).
Program Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial, dan prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar prosentase tertentu dari upah bagi yang memiliki penghasilan dan pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin).
ADVERTISEMENT
Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh Pemerintah (fakir miskin dan orang tidak mampu). Kepesertaan program ini bersifat berkesinambungan sesuai prinsip portabilitas dengan memberlakukan program di seluruh wilayah Indonesia dan menjamin keberlangsungan manfaat bagi peserta dan keluarganya hingga enam bulan pasca pemutusan hubungan kerja (PHK). Selanjutnya, pekerja yang tidak memiliki pekerjaan setelah enam bulan PHK atau mengalami cacat tetap total dan tidak memiliki kemampuan ekonomi tetap menjadi peserta dan iurannya dibayar oleh pemeritah.
Manfaat Program Jaminan Kesehatan Nasional bagi peserta adalah: (1) Pelayanan Kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan badan penyelenggara jaminan sosial; (2) dalam keadaan darurat, pelayanan kesehatan dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan badan penyelenggara jaminan sosial; (3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) wajib memberikan kompensasi (dapat berupa uang tunai) untuk memenuhi kebutuhan medik peserta yang berada di daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat; (4) layanan rawat inap di Rumah Sakit diberikan di kelas standar; (5) Badan penyelenggara jaminan sosial menjamin obat-obatan dan bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan kebutuhan medis, ketersediaan, efektifitas, dan efisiensi dari obat atau bahan medis habis pakai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (6) dalam pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menerapkan sistem kendali mutu, sistem kendali biaya dan sistem pembayaran untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi jaminan kesehatan serta untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan kesehatan; dan (7) untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.
ADVERTISEMENT
Dalam penyelenggaraannya, Program Jaminan Kesehatan Nasional tidak dapat dilepaskan dari berbagai penyimpangan yang dapat dikategorikan sebagai kecurangan (fraud). Kecurangan (fraud) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program Jaminan Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara khusus, kecurangan (fraud) ini telah diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.
Pelaku kecurangan (fraud) dapat digolongkan menjadi 4 (empat), yaitu: a. Peserta; b. BPJS Kesehatan; c. Fasilitas Kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan; d. Penyedia obat dan alat kesehatan; dan e. Pemangku kepentingan lainnya.
ADVERTISEMENT
Jenis Kecurangan (fraud) oleh Peserta, yaitu: 1. memalsukan data dan/atau Identitas Peserta untuk memperoleh pelayanan kesehatan; 2. meminjamkan/menyewakan/memperjualbelikan Identitas Peserta milik Peserta lain atau dirinya sendiri; 3. memanfaatkan haknya untuk pelayanan yang tidak perlu (unneccesary services) antara lain: a. meminta rujukan ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) bukan karena alasan medis; b. bekerja sama dengan Fasilitas Kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan indikasi medis; c. memaksa meminta tambahan pemeriksaan diagnostik, obat-obatan di luar indikasi medis; d. memberikan informasi yang tidak benar dalam penegakan diagnosis; 4. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan dalam rangka memperoleh pelayanan kesehatan, antara lain: a. memberikan suap dan/atau imbalan kepada pemberi pelayanan kesehatan dan Fasilitas Kesehatan; b. memberikan suap dan/atau imbalan kepada pegawai BPJS Kesehatan; c. memberikan suap dan/atau imbalan kepada pihak lain yang berwenang dalam penetapan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI); 5. memperoleh obat dan/atau alat kesehatan dengan cara yang tidak sesuai ketentuan untuk dijual kembali dengan maksud mendapatkan keuntungan.
ADVERTISEMENT
Jenis Kecurangan (fraud) oleh BPJS Kesehatan, yaitu: 1. melakukan kerjasama dengan Peserta untuk menerbitkan identitas Peserta yang tidak sesuai dengan ketentuan; 2. melakukan kerjasama dengan Peserta dan/atau Fasilitas Kesehatan untuk mengajukan klaim yang tidak sesuai dengan ketentuan; 3.menyetujui/membiarkan/memanipulasi manfaat yang tidak dijamin dalam Jaminan Kesehatan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan baik finansial maupun non finansial dari Peserta atau Fasilitas Kesehatan; 4. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan, dan/atau memiliki benturan kepentingan yang mempengaruhi pengambilan keputusan sesuai dengan kewenangannya, antara lain: a. menolak dan/atau memperlambat penerimaan pengajuan klaim yang telah memenuhi syarat; b. memperlambat atau mempercepat proses verifikasi klaim dan/atau pembayaran klaim yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menahan pembayaran tagihan ke Fasilitas Kesehatan yang telah diverifikasi dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menghilangkan data klaim dan/atau dokumen pendukung klaim baik softcopy maupun hardcopy dari Fasilitas Kesehatan; e. bekerjasama dan/atau meminta Fasilitas Kesehatan untuk mengubah kode diagnosis atau dokumen pendukung lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. menerima atau menarik imbalan dari Peserta/calon Peserta; g. menunda proses pendaftaran kepesertaan yang telah memenuhi persyaratan; h. membiarkan dan/atau tidak melaporkan adanya indikasi kecurangan yang diketahuinya kepada atasannya; i. mengurangi manfaat yang seharusnya menjadi hak Peserta; j. mengarahkan dan/atau bekerjasama dengan koder rumah sakit untuk merubah kodifikasi yang tidak sesuai dengan diagnose yang ditulis oleh dokter; k. melaksanakan credentialing/recredentialing Fasilitas Kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; l. memanipulasi hasil credentialing/recredentialing Fasilitas Kesehatan; m. memindahkan atau menentukan Peserta untuk didaftarkan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tertentu di luar ketentuan yang berlaku; dan n. pembayaran kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 5. menggunakan dana Jaminan Kesehatan untuk kepentingan pribadi; 6. menarik besaran iuran tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 7. menerima titipan pembayaran iuran dari Peserta dan tidak disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kecurangan (fraud) oleh Fasilitas Kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis, tenaga kesehatan lain, dan tenaga administrasi.
Jenis Kecurangan (fraud) oleh pemberi pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu: a. penyalahgunaan dana kapitasi dan/atau nonkapitasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; b. menarik biaya dari Peserta yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memanipulasi klaim nonkapitasi, seperti: 1) klaim palsu (phantom billing) atau klaim fiktif, merupakan klaim atas layanan yang tidak pernah diberikan; 2) memperpanjang lama perawatan (prolonged length of stay); 3) penjiplakan klaim dari pasien lain (cloning); dan 4) tagihan atau klaim berulang (repeat billing) pada kasus yang sudah ditagihkan sebelumnya; d. melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; e. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan terkait dengan program Jaminan Kesehatan; dan f. memalsukan Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan dan Surat Izin Operasional Fasilitas Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Jenis Kecurangan (fraud) oleh pemberi pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yaitu: a. memanipulasi diagnosis dan/atau tindakan; Memanipulasi diagnosis dan/atau tindakan merupakan tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan besaran klaim dengan cara memalsukan diagnosa dan/atau tindakan medis, seperti: 1) pasien seharusnya didiagnosis apendicitis akut, setelah operasi tanpa penyulit tetapi di resume/rekam medis ditulis apendicitis akut dengan perforasi; dan 2) pasien dengan pterigium grade I tetapi dalam resume/rekam medis ditulis squaomous cell ca conjungtiva dan dilakukan tindakan biopsi eksisi tanpa bukti dilakukan pemeriksaan patologi anatomi; b. penjiplakan klaim dari pasien lain (cloning). Penjiplakan klaim dari pasien lain (cloning) merupakan klaim yang dibuat dengan cara menyalin dari klaim pasien lain yang sudah ada, seperti: menyalin (copy paste) seluruh atau sebagian rekam medis dan/atau data pasien lain; c. klaim palsu (Phantom billing). Klaim palsu (Phantom billing) merupakan klaim atas layanan yang tidak pernah dilakukan/diberikan kepada pasien, seperti: 1) Penagihan tindakan medik operatif yang tidak pernah dilakukan; dan 2) Penagihan obat/alat kesehatan di luar paket INA-CBG yang tidak diberikan kepada pasien; d. penggelembungan tagihan obat dan/atau alat kesehatan (Inflated bills). Penggelembungan tagihan obat dan/atau alat kesehatan (Inflated bills) merupakan klaim atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih besar dari biaya yang sebenarnya, seperti: 1) pasien patah tulang dilakukan operasi ortopedi dengan menggunakan plate and screw 4 (empat) buah, namun ditagihkan lebih dari 4 (empat) buah; 2) obat pasien penyakit kronis pada rawat jalan yang seharusnya mendapat obat 1 (satu) bulan, tetapi obat yang diberikan untuk 2 minggu, namun ditagihkan biayanya selama 1 (satu) bulan; 3) pasien kemoterapi yang membutuhkan obat kemo sebanyak 2 (dua) vial diklaimkan menjadi 4 (empat) vial; e. pemecahan episode pelayanan sesuai dengan indikasi medis tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. pemecahan episode pelayanan yang tidak sesuai dengan indikasi medis (services unbundling or fragmentation). Pemecahan episode pelayanan yang tidak sesuai dengan indikasi medis (services unbundling or fragmentation) merupakan klaim atas dua atau lebih diagnosis dan/atau prosedur yang seharusnya menjadi satu paket pelayanan dalam episode yang sama, seperti: 1) pemberi pelayanan kesehatan mengirimkan tagihan terpisah dari diagnosis yang sama tetapi hasil pemeriksaan penunjang atau laboratorium yang sebenarnya dapat digabungkan menjadi terpisah menjadi 3 atau 4 pengajuan padahal dapat digabungkan menjadi satu grup dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan lebih; 2) menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat ditagihkan bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai klaim lebih besar pada satu episode perawatan pasien; dan 3) tindakan operasi lebih dari satu diagnosa penyakit yang dapat dilaksanakan dalam satu tindakan namun dilakukan tindakan lebih dari satu dan diklaim terpisah dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan; g. rujukan semu (self-referals). Rujukan semu (self-referals) merupakan klaim atas biaya pelayanan akibat rujukan ke rumah sakit tertentu atau ke dokter yang sama di Fasilitas Kesehatan lain kecuali dengan alasan keterbatasan fasilitas, seperti: 1) pasien masuk dengan kasus rencana akan di operasi tetapi dokter tidak mau mengoperasi di rumah sakit tersebut karena jasa operasi yang didapatkan sedikit sehingga pasien dirujuk ke rumah sakit tertentu dimana dokter juga bekerja di rumah sakit tersebut; 2) melakukan rujukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien ke rumah sakit dimana dokter itu berdinas; h. tagihan atau klaim berulang (repeat billing). Tagihan atau klaim berulang (repeat billing) merupakan klaim yang diulang pada kasus yang sama, seperti: Tagihan yang sudah pernah ditagihkan dan dibayarkan tetapi ditagihkan ulang; i. memperpanjang lama perawatan (prolonged length of stay); Memperpanjang lama perawatan (prolonged length of stay) merupakan klaim atas biaya pelayanan kesehatan yang lebih besar akibat perubahan lama hari perawatan inap bukan karena indikasi medis, seperti: 1) penggunaan ventilator yang diperpanjang waktunya tanpa indikasi medis; dan 2) Case Main Group (CMG) khusus untuk penyakit jiwa dan penyakit kusta; j. memanipulasi kelas perawatan (manipulation of room charge); Memanipulasi kelas perawatan (manipulation of room charge) merupakan tindakan manipulasi kelas perawatan yang menyebabkan klaim yang tidak sesuai; k. menagihkan tindakan yang tidak dilakukan. Menagihkan tindakan yang tidak dilakukan merupakan klaim atas diagnosis dan/atau tindakan yang tidak jadi dilaksanakan, seperti: 1) pada pasien Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) dengan rencana tindakan biopsi, tidak jadi dilakukan tindakan karena alasan tertentu namun tindakan biopsi tetap ditagihkan ke BPJS Kesehatan; dan 2) pasien dengan indikasi rawat inap, tetapi pasien menolak dan pulang, sehingga pasien hanya ingin rawat jalan, namun di klaimkan sebagai rawat inap; l. melakukan tindakan pengobatan yang tidak sesuai dengan indikasi medis. Melakukan tindakan pengobatan yang tidak sesuai dengan indikasi medis merupakan klaim atas tindakan pengobatan yang tidak sesuai dengan indikasi medis; m. admisi yang berulang (readmisi). Admisi yang berulang (readmisi) merupakan klaim atas diagnosis dan/atau tindakan dari satu episode yang dirawat atau diklaim lebih dari satu kali seolah-olah lebih dari satu episode, seperti pasien rawat inap dipulangkan kemudian diminta masuk kembali dengan berbagai alasan; n. menarik biaya dari Peserta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; o. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan terkait dengan Jaminan Kesehatan; dan p. memalsukan Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan dan Surat Izin Operasional Fasilitas Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Jenis tindakan kecurangan oleh Fasilitas Kesehatan lainnya (apotek, optik, laboratorium, dan jejaring lainnya), yaitu: a. klaim fiktif atau klaim obat, alat kesehatan dan/atau tindakan yang ditagihkan kepada BPJS Kesehatan namun tidak diberikan kepada pasien; b. mengurangi jumlah obat yang diserahkan kepada pasien namun yang ditagihkan adalah yang tertulis dalam resep; c. klaim atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih besar dari biaya yang sebenarnya (Inflated bills); d. memanipulasi hasil pemeriksaan untuk memenuhi persyaratan penagihan, seperti mengubah hasil pemeriksaan refraksi mata; dan e. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan terkait dengan program Jaminan Kesehatan.
Jenis Kecurangan (fraud) oleh Penyedia Obat dan Alat Kesehatan. Jenis Kecurangan (fraud) oleh Penyedia Obat, yaitu: a. penyedia obat yang terdaftar pada katalog elektronik menolak pesanan obat tanpa alasan yang jelas; b. penyedia obat memperlambat waktu pengiriman obat tanpa alasan yang jelas; dan c. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan terkait dengan program Jaminan Kesehatan. Jenis Kecurangan (fraud) oleh Penyedia Alat Kesehatan, yaitu: a. penyedia alat kesehatan yang terdaftar pada katalog elektronik menolak pesanan alat kesehatan tanpa alasan yang jelas; b. penyedia alat kesehatan memperlambat waktu pengiriman alat kesehatan tanpa alasan yang jelas; c. penyedia menganjurkan kepada Fasilitas Kesehatan untuk membeli alat kesehatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan atau tingkat keterampilan/keahlian tenaga kesehatan atau tenaga medis profesional yang akan menggunakan alat kesehatan tersebut dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan finansial; dan d. memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan terkait dengan program Jaminan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Jenis Kecurangan (fraud) oleh Pemangku Kepentingan Lainnya. Kecurangan (fraud) oleh pemangku kepentingan lainnya yaitu oleh Pemberi Kerja yang bukan termasuk penyelenggara negara. Jenis Kecurangan (fraud) oleh Pemberi Kerja yang bukan termasuk penyelenggara negara, yaitu: a. perbuatan memanipulasi data kepegawaian, seperti: 1) pemberi kerja memanipulasi data penghasilan yang diberikan kepada BPJS Kesehatan sehingga jumlah iuran yang dibayarkan tidak terlalu besar; 2) tidak mendaftarkan pegawainya menjadi Peserta BPJS Kesehatan; dan 3) memanipulasi data pegawai yang tidak termasuk ke dalam data kepegawaian Pemberi Kerja. b. jumlah dan upah pegawai tidak disampaikan secara riil; dan c. perbuatan memberi dan/atau menerima suap dan/atau imbalan yang terkait dengan program Jaminan Kesehatan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara khusus melakukan penelusuran terhadap kecurangan (fraud) dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional dengan mengambil data sampling tahun 2020-2022 untuk 3 (tiga) jenis layanan kesehatan, yaitu: sectio caesaria, hemodialisis dan katarak.
ADVERTISEMENT
Hasil penelusuran skema fraud Jaminan Kesehatan Nasional yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelenggaraan sectio caesaria, ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut: (1) Sistem Pencatatan Belum Terintegrasi (Belum menerapkan rekam medis elektronik secara menyeluruh; Sistem registrasi dan pencatatan kebutuhan lainnya (laundry, catering, penggunaan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), penggunaan ruang operasi, dll) belum terintegrasi dan masih manual); (2) Pendokumentasian Rekam Medis (Hasil diagnosa yang ditegakkan dan pencatatan hasil observasi pasien pada rekam medis yang untuk mendukung tindakan sectio caesaria, belum sepenuhnya didukung dengan dokumen yang memadai dan tercatat dengan baik pada rekam medis); (3) Penulisan Diagnosa dan Prosedur (Terdapat inkonsistensi diagnosa dan pengkodean yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021); (4) Prosedur Rujukan dan Alur Pasien (Tidak dilakukan pemilahan pasien apakah benar dalam kasus kegawatan sehingga tindakan sectio caesaria harus dilakukan; Terdapat indikasi rujukan semu (self-referrals) dari rumah sakit (kelas rumah sakit sama) tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan merujuk kepada rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (nama dokter sama); Rujukan dari praktek pribadi dokter spesialis yang tidak melalui alur rujukan berjenjang Jaminan Kesehatan Nasional); (5) Iuran Biaya (Iuanr biaya pada pasien yang sesuai hak kelas (contoh: transfusi darah; pembelian perban, operasi metode ERACS plus; pemeriksaan swab antigen; jasa pelayanan dokter spesialis anak di luar ketentuan; obat-obatan); Terdapat peserta naik kelas 2 tingkat dari hak kelas yang dimiliki oleh peserta, tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2018).
ADVERTISEMENT
Hasil penelusuran skema fraud Jaminan Kesehatan Nasional yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelenggaraan hemodialisis, ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut: (1) Sistem Pencatatan Masih Manual (Pendokumentasian pelayanan pasien hemodialisis tersebar di beberapa tempat/file, sehingga meningkatkan risiko berkas tercecer dan tidak dijadikan acuan oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) untuk mengevaluasi kondisi pasien); (2) Pengendalian Internal tidak Memadai (Tetap bisa mendapatkan layanan hemodialisis meskipun approval sidik jari tidak sesuai dengan mengganti identifikasi peserta dengan pertanyaan; Tim Pencegahan Kecurangan RS bersifat formalitas dan tidak memahami fungsinya selain terkait pengajuan klaim); (3) Manipulasi Diagnosis dan Tagihan (Ditemukan penggunaan dialyzer reuse dari pencatatan CIU (Cost Item Usage) hemodialisis sebanyak 50 unit, padahal rumah sakit telah menyatakan penggunaan single use secara penuh; Evaluasi layanan hemodialisis 3 kali menjadi 2 kali/minggu dievaluasi tidak berdasarkan diagnosa dari Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) (per 3 bulan); Rekomendasi Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) untuk melakukan hemodialisis lebih dari dua kali seminggu terindikasi hanya formalitas); (4) Sumber Daya Manusia (SDM) Hemodialisis (Sumber Daya Manusia (SDM) hemodialisis belum sesuai standar kompetensi. Seharusnya, Dokter Penanggung Jawab hemodialisis adalah Dokter Sp.PD-KGH dan atau Dokter Sp.PD yang telah mempunyai sertifikat pelatihan hemodialisis di pusat pendidikan yang diakreditasi dan disahkan oleh PB PERNEFRI).
ADVERTISEMENT
Hasil penelusuran skema fraud Jaminan Kesehatan Nasional yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelenggaraan katarak, ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut: (1) Pendokumentasian Rekam Medis (Rekam medis yang tidak lengkap/tidak jelas yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penulisan diagnosa sekunder dan utama digabung dan nama dokter); (2) Penulisan Diagnosa dan Prosedur (Terdapat inkonsistensi diagnosa dan pengkodean yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021); (3) Iuran Biaya (Terdapat iuran biaya untuk menebus sebagian obat karena tidak mencukupi untuk kontrol sebelumnya).
Adapun beberapa Rekomendasi Tim Penanganan Fraud Jaminan Kesehatan Nasional adalah sebagai berikut: (1) Agar kecurangan klaim BPJS Kesehatan dengan modus phantom billing tidak terjadi, maka perlu dilakukan perbaikan mekanisme klaim BPJS dengan cara sebagaimana berikut: (a) Mendorong Kementerian Kesehatan untuk membuat regulasi dan melakukan sosialisasi terkait penggunaan fingerprint dalam rangka penerbitan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) pada fasilitas kesehatan; (b) Mendorong Kementerian Kesehatan untuk melakukan Monitoring dan Evaluasi terkait dengan progress pelaksanaan Rekam Medis Elektronik sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2022 dan mengintegrasikan dengan sistem verifikasi BPJS Kesehatan; (c) Mendorong BPJS Kesehatan untuk memperbaiki sistem filtrasi klaim yang berdasarkan dokumen pengajuan, termasuk BPJS Kesehatan memperluas sampling audit dengan kriteria tipe jenis penyakit dan tipe rumah sakit yang sejenis untuk daerah lain (penyakit ringan yang tidak memerlukan prosedur pelayanan kompleks dan tipe rumah sakit kecil C-D). (2) Penguatan regulasi (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018) atas kewajiban BPJS untuk melakukan sharing data dengan pemangku kepentingan (Kementerian Kesehatan, Kementerian terkait lainnya, organisasi profesi, akademisi, dll) termasuk mengatur pencegahan terjadinya fraud/kecurangan dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/search/asuransi%20kesehatan/