Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kepastian Hukum adalah Kunci Pemutus Rantai HIV/AIDS
1 Desember 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kepastian hukum mengandung makna, adanya regulasi yang terintegrasi dan komprehensif serta implementatif dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Regulasi adalah pondasi utama dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Hari AIDS Sedunia pertama kali diperingati pada tanggal 1 Desember 1988. Ide untuk memperingati Hari AIDS Sedunia muncul dari keprihatinan global terhadap meningkatnya kasus HIV/AIDS pada saat itu. Ide ini pertama kali dicetuskan oleh James W. Bunn dan Thomas Netter dari Program AIDS Global di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Jenewa, Swiss. Mereka melihat adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS dan dampaknya yang besar. Sejak pertama kali diperingati, peringatan Hari AIDS Sedunia telah berkembang menjadi kampanye global yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari Pemerintah, organisasi internasional, hingga masyarakat sipil. Setiap tahunnya, peringatan ini mengangkat tema yang berbeda-beda, tetapi tetap berfokus pada upaya untuk mengakhiri epidemi HIV/AIDS. Salah satu simbol yang dikenal dalam peringatan Hari AIDS Sedunia adalah pita merah. Pita merah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 sebagai simbol universal untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS.
ADVERTISEMENT
Tema Hari AIDS Sedunia tahun 2024 adalah, "Take the rights path: My health, my right!" Tema ini secara tegas menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kesehatan, termasuk akses terhadap layanan pencegahan, pengobatan, dan perawatan HIV. Hal ini adalah pengingat bahwa kesehatan adalah hak dasar manusia yang tidak boleh dilanggar. Setiap orang, terlepas dari latar belakang sosial atau ekonomi, berhak mendapatkan akses yang sama terhadap layanan kesehatan. Keadilan sosial dalam penanggulangan HIV/AIDS harus ditegakkan. Tema Hari AIDS Sedunia tahun 2024 mendorong penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Stigma ini seringkali menjadi penghalang bagi ODHA untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan dan hidup dengan layak. Dari aspek individu, tema ini mengajak setiap individu untuk mengambil tanggung jawab atas kesehatan diri sendiri dan orang lain. Dengan memahami risiko penularan HIV dan mengambil langkah-langkah pencegahan agar dapat melindungi diri sendiri dan komunitas. Dalam aspek yang lebih luas, tema ini memberikan harapan dan semangat untuk terus berjuang dan bekerja sama mencapai tujuan mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030. Tema Hari AIDS Sedunia tahun 2024 memberikan pesan yang kuat tentang pentingnya kesetaraan, kerja sama, dan penghapusan stigma dalam upaya mengakhiri epidemi HIV/AIDS.
ADVERTISEMENT
Penanganan HIV/AIDS merupakan isu kompleks yang melibatkan berbagai aspek, termasuk regulasi. Regulasi yang tidak memadai atau kurang efektif dapat menjadi hambatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Beberapa regulasi mengenai HIV/AIDS terlalu umum dan tidak memberikan pedoman yang jelas bagi para pemangku kepentingan. Kebijakan dalam penanggulangan HIV/AIDS tidak memberikan detail yang jelas atau rinci. Akibatnya, kebijakan tersebut menjadi kurang efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mengurangi penyebaran HIV dan meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Selain itu, regulasi yang ada seringkali tidak terintegrasi dengan kebijakan lain yang terkait, seperti kesehatan reproduksi dan hak asasi manusia. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak saling mendukung, bahkan saling bertentangan, sehingga upaya penanggulangan HIV/AIDS menjadi kurang efektif. Contohnya: kebijakan kesehatan fokus pada pengobatan ODHA, tetapi tidak memperhatikan aspek sosial seperti stigma dan diskriminasi; kebijakan pendidikan memberikan informasi tentang HIV/AIDS, tetapi tidak memberikan konseling dan dukungan psikologis bagi remaja yang berisiko. Kebijakan yang tidak terintegrasi dalam penanggulangan HIV/AIDS dapat menghambat upaya untuk mengatasi epidemi HIV/AIDS. Penting untuk membangun kerangka kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif agar upaya penanggulangan HIV/AIDS dapat berhasil.
ADVERTISEMENT
Stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah masalah kompleks yang masih terjadi di berbagai belahan dunia. Stigma adalah cap negatif atau label yang melekat pada seseorang atau kelompok tertentu, sementara diskriminasi adalah tindakan atau perlakuan tidak adil atau berbeda berdasarkan stigma. Banyak orang masih beranggapan bahwa HIV/AIDS adalah penyakit menular melalui sentuhan sehari-hari, padahal kenyataannya HIV hanya menular melalui cairan tubuh tertentu. ODHA seringkali dikaitkan dengan perilaku berisiko seperti penggunaan narkoba suntik atau perilaku seksual yang tidak aman, padahal tidak semua ODHA memiliki riwayat perilaku seperti itu. Selain itu, ODHA seringkali dianggap sebagai beban bagi keluarga dan masyarakat karena biaya pengobatan dan stigma yang melekat pada penyakit ini. Perlakuan diskriminatif juga masih dialami oleh ODHA. ODHA seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. ODHA seringkali dikucilkan oleh keluarga, teman, dan masyarakat, mengalami kekerasan fisik, verbal, dan psikologis serta seringkali diberhentikan dari pekerjaan karena status HIV mereka. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA adalah masalah serius yang harus diatasi.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan akses terhadap layanan pengobatan dan perawatan AIDS merupakan salah satu tantangan terbesar dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan banyak ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tidak mendapatkan perawatan yang optimal, sehingga berdampak pada kualitas hidup dan harapan hidup mereka. Jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan pengobatan AIDS, terutama di daerah terpencil masih terbatas. Beberapa fasilitas kesehatan yang ada belum memiliki kapasitas dan kualitas layanan yang memadai untuk menangani pasien HIV/AIDS. Bagi ODHA yang tinggal di daerah terpencil, jarak tempuh ke fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan pengobatan AIDS seringkali jauh dan sulit dijangkau. Banyak ODHA yang tidak memiliki jaminan kesehatan memadai untuk menanggung biaya pengobatan. Jika akses terhadap layanan pencegahan dan pengobatan terbatas, maka risiko penularan HIV akan semakin tinggi. Meskipun telah ada upaya yang signifikan dalam pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS, tetapi angka kasus baru HIV/AIDS di Indonesia masih terus meningkat. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih lima kasus. Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS melonjak menjadi 2.947 kasus dan periode Juni 2009 meningkat hingga delapan kali lipat, menjadi 17.699 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal dunia mencapai 3.586 orang. Sepanjang Januari hingga September 2024, tercatat sebanyak 35.415 kasus HIV dan 12.481 kasus AIDS. Catatan periode tersebut nyaris melampaui laporan kasus HIV/AIDS tahun lalu, di angka lebih dari 50 ribu kasus. Sekitar 71% kasus baru HIV/AIDS didominasi oleh pria, sedangkan wanita sekitar 29% kasus baru HIV/AIDS. 19% kasus baru HIV/AIDS terjadi pada rentang usia 20-24 tahun, 60% kasus baru HIV/AIDS terjadi pada rentang usia 25-49 tahun, 6% kasus baru HIV/AIDS terjadi pada usia di bawah 20 tahun. Artinya, hampir sebagian besar atau hampir 90% kasus baru HIV/AIDS terjadi pada usia remaja hingga dewasa muda atau usia produktif.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi permasalahan AIDS di Indonesia, diperlukan perbaikan dan penyempurnaan regulasi yang ada. Penetapan regulasi yang tegas melarang segala bentuk diskriminasi terhadap ODHA dalam segala aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan akses layanan kesehatan serta penguatan perlindungan kerahasiaan identitas ODHA untuk mendorong capaian pengobatan.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diperluas cakupannya sehingga mencakup seluruh pengobatan HIV/AIDS, termasuk obat-obatan ARV. ODHA harus dipastikan agar dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan tanpa hambatan administratif. Oleh karena itu, peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan pengobatan HIV/AIDS, terutama di daerah-daerah terpencil, harus dilakukan.
Aspek promotif dalam penanggulangan HIV/AIDS harus digencarkan. Program edukasi seks komprehensif di sekolah-sekolah dan masyarakat harus dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS dan cara pencegahannya. Program pengurangan dampak negatif narkoba (PNDN) harus diperkuat untuk mengurangi risiko penularan HIV.
ADVERTISEMENT
Peningkatan koordinasi dan kolaborasi antar berbagai pihak harus diwujudkan. Kemitraan yang kuat antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan komunitas ODHA harus terbagun dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Sistem rujukan diperkuat untuk memastikan bahwa ODHA dapat dengan mudah mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ketersediaan anggaran yang cukup dan berkelanjutan untuk program pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS serta pengembangan mekanisme pendanaan inovatif, seperti kerja sama dengan lembaga donor internasional dan sektor swasta.
Permasalahan HIV/AIDS di Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya dengan regulasi semata. Namun, regulasi yang memadai dan tegas merupakan pondasi kuat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Regulasi yang baik dapat menjadi katalisator dalam upaya mencapai tujuan mengakhiri epidemi AIDS. Sebaliknya, regulasi yang tidak memadai dapat menjadi hambatan besar. Penting untuk membangun kerangka kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif agar upaya penanggulangan HIV/AIDS dapat berhasil.
ADVERTISEMENT