Konten dari Pengguna

Kesehatan Mental Anggota Kepolisian dan Urgensi Regulasi

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
31 Desember 2024 12:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Krisis kesehatan mental anggota kepolisian ibarat alarm yang berbunyi nyaring. Kesehatan mental anggota kepolisian adalah isu krusial yang tidak bisa diabaikan. Urgensi regulasi yang berpihak, dengan implementasi yang efektif, adalah kunci untuk mengatasi krisis ini dan mewujudkan institusi kepolisian yang profesional serta humanis.”
ADVERTISEMENT
Peran polisi adalah multidimensional dan krusial dalam menjaga stabilitas keamanan masyarakat. Oleh karena itu, tekanan dan stres yang dihadapi polisi sangat kompleks dan beragam. Polisi seringkali terpapar pada kejadian traumatis, seperti kecelakaan lalu lintas yang fatal, tindak kekerasan, dan kematian. Jam kerja yang panjang dan tidak teratur, termasuk shift malam dapat mengganggu ritme sirkadian dan menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental, seperti insomnia, kelelahan kronis, dan gangguan pencernaan. Polisi dituntut untuk selalu profesional dan responsif dalam menjalankan tugasnya sehingga selalu berada di bawah pengawasan publik serta setiap tindakannya disorot oleh media (termasuk media massa). Budaya maskulinitas yang kuat di kalangan kepolisian membuat anggotanya enggan untuk mengakui kelemahan atau mencari bantuan dalam masalah kesehatan mental. Polisi seringkali dihadapkan pada situasi yang dilematis, di mana mereka harus membuat keputusan yang sulit dalam waktu singkat. Polisi berisiko menjadi sasaran ancaman dan kekerasan, baik dari pelaku kejahatan maupun dari pihak yang tidak puas dengan tindakan polisi. Masalah internal organisasi, seperti kurangnya komunikasi, kurangnya transparansi, dan adanya korupsi, juga dapat menjadi sumber stres bagi anggota kepolisian.
ADVERTISEMENT
Dampak masalah tersebut, berakibat serius bagi anggota kepolisian. Anggota kepolisian berpotensi mengalami berbagai jenis depresi, termasuk major depressive disorder, persistent depressive disorder (dysthymia), dan situational depression (gangguan penyesuaian dengan depresi). Anggota kepolisian mungkin mengalami berbagai jenis gangguan kecemasan, termasuk Generalized Anxiety Disorder (GAD), panic disorder, social anxiety disorder, dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang juga memiliki komponen kecemasan kuat. Anggota kepolisian juga berisiko mengalami trauma sekunder, yaitu trauma yang dialami akibat terpapar dengan penderitaan orang lain, misalnya saat menangani kasus kekerasan terhadap anak atau korban bencana. Alkohol dan berbagai jenis narkoba, termasuk obat-obatan resep seperti opioid dan benzodiazepin, sering disalahgunakan oleh anggota kepolisian sebagai mekanisme koping. Akses terhadap senjata api, tekanan pekerjaan yang tinggi, stigma terhadap masalah mental, dan kurangnya dukungan sosial menjadi faktor pemicu bunuh diri di kalangan anggota kepolisian.
ADVERTISEMENT
Stres dan trauma dapat menyebabkan perubahan kepribadian pada anggota kepolisian. Mereka menjadi lebih mudah marah, sensitif, atau menarik diri dari interaksi sosial, termasuk dengan keluarga. Stres dan frustrasi memicu pola komunikasi yang destruktif dalam keluarga, seperti berteriak, mudah menyalahkan, atau stonewalling (menolak untuk berkomunikasi). Dalam beberapa kasus, stres dan kurangnya dukungan emosional dapat mendorong anggota kepolisian untuk mencari pelarian di luar hubungan pernikahan, yang dapat berujung pada perselingkuhan.
Masalah-masalah yang dihadapi anggota kepolisian, tidak hanya berdampak pada individu dan keluarga mereka, tetapi juga memengaruhi kinerja kepolisian secara keseluruhan. Penurunan konsentrasi dan motivasi dapat berdampak kurang efisien atau bahkan terbengkalai pelaksanaan tugasnya. Stres, frustrasi, dan kurangnya kontrol diri meningkatkan risiko penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh anggota kepolisian dalam menjalankan tugas. Masalah kesehatan mental dan tekanan dari atasan atau lingkungan kerja yang korup mendorong anggota kepolisian untuk melakukan pelanggaran etika, seperti menerima suap atau melakukan pemerasan. Citra buruk kepolisian menghambat kerjasama dengan masyarakat dalam implementasi program pencegahan dan penanggulangan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyinggung tentang kesehatan kerja, relevan dengan kondisi kerja anggota kepolisian yang penuh tekanan dan berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan mental. Pasal-pasal terkait kesehatan kerja dapat menjadi landasan untuk program pencegahan dan penanganan masalah kesehatan mental di lingkungan kerja kepolisian. Undang-Undang Kesehatan menekankan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa. Hal ini membuka peluang bagi kerjasama antara kepolisian daerah dengan pemerintah daerah dalam penyediaan layanan kesehatan mental bagi anggota kepolisian. Undang-Undang Kesehatan mengatur tentang pembiayaan kesehatan, termasuk melalui mekanisme Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini penting untuk memastikan akses anggota kepolisian terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau. Penting untuk dicatat bahwa penerapan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (tentang tidak dipidananya seseorang karena gangguan jiwa) dalam konteks anggota kepolisian membutuhkan proses asesmen yang cermat dan profesional oleh ahli kejiwaan. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan keadilan. Setelah disahkannya Undang-Undang Kesehatan, akan ada peraturan pelaksana yang lebih detail untuk mengatur implementasinya, termasuk dalam bidang kesehatan jiwa. Peraturan-peraturan ini harus diperhatikan dan diimplementasikan oleh kepolisian. Harapannya, penyusunan peraturan pelaksana ini melibatkan partisipasi bermakna dari para pihak (meaningful participation) sehingga menampung permasalahan hukum terkait kesehatan mental dan memberikan solusi hukum yang bermakna serta bermanfaat dalam materi muatannya. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2022 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Pekerjaan atau Jabatan Tertentu perlu ditinjau dan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan untuk memastikan sinkronisasi dan efektivitas. Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pembinaan Rohani, Mental, dan Tradisi di Lingkungan Polri perlu direvisi dengan memasukkan materi kurikulum tentang kesehatan mental, manajemen stres, resiliensi, dan deteksi dini gejala gangguan mental. Selain itu juga harus diatur mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas tentang penanganan anggota kepolisian yang mengalami masalah kesehatan mental, termasuk prosedur rujukan ke tenaga profesional dan mekanisme dukungan di dalam Peraturan Kapolri.
ADVERTISEMENT
Pengakuan secara hukum terhadap aspek kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesehatan secara keseluruhan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan, sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Fondasi ini memberikan landasan yang kuat untuk melindungi hak anggota kepolisian agar mendapatkan layanan kesehatan mental yang memadai. Pengaturan upaya kesehatan jiwa yang komprehensif, mulai dari promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif, memberikan kerangka kerja yang jelas bagi kepolisian untuk mengembangkan program kesehatan mental secara holistik dan berkelanjutan. Meskipun demikian, terdapat kekurangan dan celah dalam implementasi regulasi terkait kesehatan mental di kepolisian.
Anggaran untuk pelatihan Trauma Informed Care (perawatan berbasis trauma) bagi anggota kepolisian sangat terbatas. Padahal, pelatihan ini penting untuk mencegah secondary trauma dan masalah kesehatan mental lainnya. Minimnya alokasi anggaran mencerminkan program kesehatan mental belum menjadi prioritas dan belum dipahaminya tentang Return on Investment (ROI) dari program kesehatan mental. Selain itu, tidak ada program rutin untuk mengukur tingkat stres dan burnout di kalangan anggota kepolisian. Padahal, program ini penting untuk mendeteksi dini masalah dan memberikan intervensi dini (early intervention) yang tepat. Mekanisme pengawasan internal terhadap implementasi program kesehatan mental di kepolisian masih lemah. Tidak ada mekanisme yang efektif untuk memantau, mengevaluasi, dan menindaklanjuti program-program yang ada. Kurangnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas menciptakan ruang bagi moral hazard dan inefisiensi.
ADVERTISEMENT
Terabaikannya kesehatan mental anggota kepolisian bukan sekadar keluhan individu, melainkan sinyal bahaya yang mengancam fondasi institusi kepolisian dan kualitas pelayanan publik. Krisis kesehatan mental yang melanda anggota kepolisian menuntut respons yang cepat dan tepat. Regulasi yang berpihak, dengan alokasi anggaran yang memadai, program preventif yang komprehensif, dan mekanisme pengawasan yang ketat, bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak. Kegagalan untuk bertindak akan berkonsekuensi pada hilangnya potensi sumber daya manusia, penurunan kinerja kepolisian, dan yang lebih tragis, hilangnya nyawa akibat bunuh diri atau tindakan kekerasan lainnya. Saatnya berinvestasi pada kesehatan mental para penegak hukum, demi keamanan dan ketertiban masyarakat yang lebih baik.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/mobil-mengaburkan-mobil-polisi-1850065/