Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kesehatan Mental Generasi Muda dari Perspektif Undang-Undang Kesehatan
6 Maret 2025 10:50 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 1 dari 7 anak dan remaja berusia 10-19 tahun mengalami gangguan mental secara global. Gangguan mental menyumbang 16% dari beban penyakit dan cedera pada remaja berusia 10-19 tahun. Depresi adalah salah satu penyebab utama penyakit dan disabilitas di kalangan remaja. Kecemasan, gangguan perilaku, dan gangguan hiperaktivitas defisit perhatian (ADHD) juga termasuk gangguan umum pada masa kanak-kanak dan remaja. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian keempat pada kelompok usia 15-29 tahun secara global. WHO memperkirakan lebih dari 700 ribu orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan dapat dicegah. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas adalah sekitar 6,1%. WHO dan berbagai studi menunjukkan adanya tren peningkatan masalah kesehatan mental di kalangan remaja dan dewasa muda secara global.
ADVERTISEMENT
Secara global, sebagian besar remaja dengan masalah kesehatan mental tidak mencari atau menerima bantuan. WHO menyebutkan bahwa di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, lebih dari 90% orang dengan gangguan mental tidak mendapatkan perawatan. Di negara berpenghasilan tinggi, kesenjangan perawatan juga signifikan. Stigma sosial terkait masalah kesehatan mental, kurangnya kesadaran, kesulitan akses layanan, dan biaya menjadi hambatan utama bagi generasi muda untuk mencari bantuan.
Jika dibandingkan dengan data dekade sebelumnya, ahli dan organisasi kesehatan mental meyakini bahwa prevalensi gangguan mental pada generasi muda cenderung meningkat. Faktor-faktor seperti perubahan sosial, tekanan ekonomi, teknologi, dan efek pandemi berkontribusi pada tren ini. Di beberapa negara dan wilayah, data menunjukkan peningkatan tingkat bunuh diri pada kelompok usia muda dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Masalah kesehatan mental pada generasi muda adalah isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Riwayat keluarga dengan gangguan mental dapat meningkatkan kerentanan seseorang untuk mengalami masalah serupa. Gen memengaruhi struktur dan fungsi otak, serta regulasi neurotransmiter yang berperan dalam suasana hati, emosi, dan perilaku. Jika ada anggota keluarga dekat (orang tua, saudara kandung) yang memiliki gangguan seperti depresi, bipolar, skizofrenia, atau gangguan kecemasan, risiko generasi muda untuk mengembangkan kondisi serupa menjadi lebih tinggi.
Pengalaman traumatis, terutama di usia muda, memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental jangka panjang. Trauma bisa berupa kekerasan fisik, seksual, emosional, pengabaian, kecelakaan serius, bencana alam, atau kehilangan orang yang dicintai. Trauma dapat mengubah struktur dan fungsi otak, sistem saraf, dan respons stres. Hal ini dapat menyebabkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), depresi, kecemasan, gangguan disosiatif, dan masalah kesehatan mental lainnya. Trauma yang tidak diatasi di masa muda dapat terus berdampak hingga dewasa.
ADVERTISEMENT
Remaja sangat rentan terhadap tekanan dari teman sebaya. Tekanan ini bisa bersifat positif (misalnya, mendorong untuk berprestasi) atau negatif (misalnya, mendorong perilaku berisiko atau tidak sehat). Tekanan teman sebaya yang negatif, seperti ajakan untuk menggunakan narkoba, alkohol, seks bebas, bullying, atau perilaku menyimpang lainnya, dapat menimbulkan konflik nilai, rasa bersalah, stres, kecemasan, dan depresi. Rasa takut ditolak atau tidak diterima oleh kelompok teman sebaya juga bisa memperkuat tekanan tersebut.
Media sosial, meskipun memiliki manfaat, juga dapat menjadi sumber tekanan yang signifikan bagi kesehatan mental generasi muda. Paparan terus-menerus terhadap feed media sosial yang seringkali menampilkan kehidupan yang diidealkan, perbandingan sosial yang konstan, cyberbullying, fear of missing out (FOMO), dan tekanan untuk mendapatkan validasi online (like, komentar) dapat memicu kecemasan, depresi, rendah diri, dan masalah citra tubuh. Remaja yang terus-menerus membandingkan diri dengan influencer atau teman-temannya di media sosial yang tampak sempurna, sukses, dan bahagia dapat merasa tidak percaya diri, tidak puas dengan diri sendiri, dan mengembangkan depresi.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara umum, diharapkan menguatkan paradigma kesehatan yang tidak hanya fokus pada kuratif (pengobatan penyakit) tetapi juga pada promotif (peningkatan kesehatan) dan preventif (pencegahan penyakit). Dalam konteks kesehatan mental, hal ini sangat penting karena kesehatan mental tidak hanya dilihat sebagai ketiadaan gangguan jiwa, tetapi sebagai kondisi sejahtera mental yang optimal. Potensi kekuatan UU ini adalah memasukkan kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesehatan secara menyeluruh, tidak terpisah sebagai isu sampingan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memiliki potensi besar untuk menjadi landasan hukum yang kuat dalam upaya meningkatkan kesehatan mental generasi muda di Indonesia.
Meskipun demikian, terdapat beberapa potensi kelemahan dalam UU Kesehatan terkait dengan kesehatan mental. UU Kesehatan sebagai undang-undang omnibus law yang luas cakupannya, tentunya kurang detail dalam mengatur aspek-aspek spesifik kesehatan mental. Beberapa area penting belum tercover secara memadai dalam UU Kesehatan terkait kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan belum secara detail mengatur program kesehatan mental yang komprehensif di lingkungan pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Kesehatan mental di tempat kerja, khususnya bagi generasi muda yang baru memasuki dunia kerja dan rentan terhadap stres kerja, belum mendapatkan perhatian yang cukup di dalam UU Kesehatan. Dampak teknologi digital dan media sosial pada kesehatan mental generasi muda adalah isu yang relevan saat ini. UU Kesehatan belum cukup adaptif dalam mengatur aspek ini. UU Kesehatan harus memastikan bahwa kebutuhan kesehatan mental kelompok rentan dan marginal (misalnya, anak jalanan, penyandang disabilitas, kelompok minoritas, pengungsi, korban kekerasan) terakomodasi.
Masalah implementasi dan penegakan hukum selalu menjadi tantangan dalam setiap undang-undang, termasuk UU Kesehatan. Implementasi program kesehatan mental yang komprehensif memerlukan sumber daya yang signifikan. Permasalahannya, saat ini terdapat keterbatasan sumber daya (manusia, anggaran, fasilitas) dalam pengelolaan kesehatan mental. Psikiater, psikolog klinis, perawat jiwa, pekerja sosial masih terbatas jumlahnya dan tidak merata distribusinya di Indonesia. Alokasi anggaran untuk kesehatan mental seringkali masih rendah dibandingkan dengan penyakit fisik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Jumlah fasilitas rawat jalan dan rawat inap kesehatan mental yang memadai masih terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil.
ADVERTISEMENT
Stigma dan diskriminasi di masyarakat masih menjadi hambatan besar dalam implementasi UU Kesehatan terkait kesehatan mental. Masyarakat enggan mencari bantuan karena takut stigma. Tenaga kesehatan dan tenaga medis kurang sensitif dan tidak terlatih dalam menangani masalah kesehatan mental yang disebabkan karena stigma. Kebijakan dan program kesehatan mental tidak efektif karena tidak mempertimbangkan aspek budaya dan stigma di masyarakat.
UU Kesehatan belum memiliki kerangka regulasi yang memadai untuk mengatasi permasalahan mengenai dampak negatif media sosial dan teknologi digital pada kesehatan mental generasi muda. UU Kesehatan harus melakukan beberapa adaptasi yang meliputi: mengatur platform media sosial agar lebih bertanggung jawab terhadap konten yang merugikan kesehatan mental; mempromosikan literasi digital dan penggunaan media sosial yang sehat di kalangan generasi muda, dan memanfaatkan teknologi digital (telemedicine, aplikasi) untuk memperluas akses layanan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Untuk memaksimalkan efektivitas UU Kesehatan dalam meningkatkan kesehatan mental generasi muda, perlu adanya peraturan pelaksana yang lebih detail dan spesifik, alokasi sumber daya yang memadai, penguatan koordinasi dan pengawasan, upaya penghapusan stigma, serta mekanisme adaptasi yang berkelanjutan terhadap perkembangan zaman dan tantangan baru.