Konten dari Pengguna

Kontroversi Terapi Hormon Pengganti (THP) di Mata Regulasi

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
22 Desember 2024 18:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Keputusan penggunaan THP harus didasari pertimbangan matang antara manfaat dan risiko, dengan konsultasi dokter sebagai kuncinya. Selain itu, dibutuhkan regulasi untuk menjamin standar klinis, mutu obat, penelitian berkelanjutan, dan edukasi publik.”
ADVERTISEMENT
Menopause adalah tahap alami dalam kehidupan wanita yang menandai berakhirnya siklus menstruasi. Secara medis, menopause didefinisikan sebagai berhentinya menstruasi selama 12 bulan berturut-turut, yang menandakan berakhirnya masa reproduksi wanita. Umumnya, menopause terjadi pada wanita berusia antara 45 hingga 55 tahun, meskipun bisa juga terjadi lebih awal atau lebih lambat. Menopause terjadi karena penurunan alami produksi hormon estrogen dan progesteron oleh ovarium. Hormon-hormon ini berperan penting dalam mengatur siklus menstruasi. Ketika produksi hormon menurun, siklus menstruasi menjadi tidak teratur dan akhirnya berhenti.
Terapi Hormon Pengganti (THP) yang dalam bahasa Inggris disebut Hormone Replacement Therapy (HRT) adalah terapi medis yang digunakan untuk meredakan gejala menopause dengan menggantikan hormon yang produksinya menurun, terutama estrogen dan progesteron. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menopause terjadi ketika ovarium berhenti memproduksi hormon-hormon ini secara signifikan sehingga menyebabkan berbagai gejala yang mengganggu. Ada dua jenis THP, yaitu Estrogen Therapy (ET) dan Estrogen-Progesterone Therapy (EPT). Estrogen Therapy hanya mengandung hormon estrogen dan biasanya diresepkan untuk wanita yang telah menjalani histerektomi (operasi pengangkatan rahim). Sedangkan Estrogen-Progesterone Therapy mengandung kombinasi hormon estrogen dan progesteron (progestin) serta biasanya diresepkan untuk wanita yang masih memiliki rahim.
ADVERTISEMENT
THP terbukti efektif dalam mengurangi beberapa gejala menopause, terutama yang disebabkan oleh penurunan kadar estrogen. Hasil penelitian yang diterbitkan dalam The Cochrane Library menunjukkan bahwa estrogen efektif dalam mengurangi hot flashes. Hot flashes (rasa panas tiba-tiba) adalah gejala yang paling umum dialami wanita menopause. Hot flashes ditandai dengan sensasi panas yang tiba-tiba di wajah, leher, dan dada, disertai dengan keringat dan kulit memerah. Intensitas dan frekuensi hot flashes bervariasi pada setiap wanita. Studi Women's Health Initiative (WHI) menyatakan bahwa THP tidak hanya efektif dalam mengurangi hot flashes, tetapi juga efektif dalam mengatasi keringat malam. Berkeringat di malam hari, mirip dengan hot flashes, tetapi terjadi saat tidur. Hal ini dapat mengganggu kualitas tidur dan menyebabkan kelelahan di siang hari. Selain itu, THP yang diberikan secara lokal (krim, cincin vagina, atau tablet vagina), efektif dalam mengatasi kekeringan vagina yang dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. THP juga dapat membantu mencegah pengeroposan tulang dan mengurangi risiko patah tulang pada wanita pascamenopause, terutama risiko patah tulang panggul dan tulang belakang. Beberapa wanita menyatakan perbaikan mood, penurunan iritabilitas, dan pengurangan gejala depresi setelah mulai melakukan THP. Kondisi ini terkait dengan peran estrogen dalam mengatur neurotransmiter di otak yang memengaruhi suasana hati. Kesimpulannya, THP memberikan peningkatan kualitas hidup yang signifikan bagi wanita yang mengalami gejala menopause dengan meredakan gejala yang mengganggu, meningkatkan kualitas tidur, memperbaiki mood, dan mencegah pengeroposan tulang.
ADVERTISEMENT
Titik balik penting dalam sejarah THP adalah publikasi hasil studi Women's Health Initiative (WHI). Hasil studi WHI mengejutkan banyak pihak karena menunjukkan bahwa penggunaan THP dalam jangka panjang justru meningkatkan risiko beberapa kondisi kesehatan serius, antara lain penyakit jantung, stroke, kanker payudara, dan pembekuan darah (thromboemboli vena).
THP meskipun efektif meredakan gejala menopause, tetapi berpotensi meningkatkan risiko beberapa jenis kanker, terutama kanker payudara dan kanker endometrium (kanker lapisan rahim). Risiko ini bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis THP, dosis, dan durasi penggunaan. Studi WHI menunjukkan peningkatan risiko kanker payudara sekitar 26% pada wanita yang menggunakan THP selama rata-rata 5,6 tahun. Estrogen Therapy pada wanita yang masih memiliki rahim secara signifikan meningkatkan risiko kanker endometrium. THP selain mempunyai potensi risiko kanker, juga berpotensi meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung, stroke, dan pembekuan darah (tromboemboli vena). Hasil penelitian WHI menemukan bahwa penggunaan THP meningkatkan risiko penyakit jantung koroner pada wanita yang memulai THP setelah usia 60 tahun atau lebih dari 10 tahun setelah menopause. Sebaliknya, pada wanita yang memulai THP di awal menopause, hasil penelitian WHI tidak menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung. Hasil penelitian WHI juga menunjukkan bahwa peningkatan risiko stroke sekitar 30-40% pada wanita yang menggunakan THP. Seperti halnya penyakit jantung, risiko stroke terkait THP lebih tinggi pada wanita yang memulai THP setelah usia 60 tahun atau lebih dari 10 tahun setelah menopause. Hasil penelitian WHI menunjukkan peningkatan risiko pembekuan darah sekitar dua kali lipat pada wanita yang menggunakan THP. Risiko pembekuan darah terkait THP diperkuat oleh faktor risiko lain, seperti riwayat keluarga pembekuan darah, obesitas, merokok, dan imobilitas yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Kontroversi THP untuk wanita menopause memang kompleks, melibatkan perdebatan tentang manfaat dan risiko, serta interpretasi data penelitian. Untuk mengatasi kontroversi ini dan memastikan keamanan serta efektivitas THP, diperlukan regulasi yang komprehensif dan berbasis bukti. Perlu adanya pedoman klinis nasional yang komprehensif dan berbasis bukti, yang secara jelas merinci indikasi, kontraindikasi, jenis THP, dosis, durasi penggunaan, serta pemantauan yang diperlukan. Pedoman ini harus didasarkan pada tinjauan sistematis terhadap penelitian ilmiah terbaru dan disesuaikan dengan konteks lokal. Pedoman klinis harus diperbarui secara berkala seiring dengan perkembangan penelitian dan informasi baru yang tersedia. Hal ini penting untuk memastikan bahwa praktik klinis selalu didasarkan pada bukti ilmiah terkini. Pedoman klinis harus disosialisasikan dan didiseminasikan secara luas kepada para profesional kesehatan, termasuk dokter umum, spesialis kandungan, dan apoteker. Program edukasi berkelanjutan juga diperlukan untuk memastikan pemahaman dan penerapan pedoman yang tepat. Selain itu, pengawasan dan regulasi obat hormon juga harus diperkuat. Pengawasan yang ketat terhadap kualitas dan keamanan obat hormon mencakup standar produksi, pengujian kualitas, dan pengawasan pasca pemasaran untuk mendeteksi efek samping yang timbul. Label pada kemasan obat hormon harus memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami tentang kandungan, dosis, cara penggunaan, efek samping, dan peringatan penting. Informasi ini harus didasarkan pada bukti ilmiah dan disajikan secara objektif. Regulasi yang komprehensif dan berbasis bukti sangat penting untuk memastikan keamanan serta efektivitasnya. Regulasi ini mencakup standarisasi pedoman klinis, pengawasan obat hormon, penelitian dan monitoring efek samping, edukasi publik, dan perlindungan hak pasien. Kontroversi THP hanya dapat diatasi dengan regulasi yang komprehensif dan berbasis bukti.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/pengambilan-darah-injeksi-2722940/