Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mampukah Hukum Mengatasi Jerat Phantom Billing dalam JKN?
22 Desember 2024 9:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Phantom billing telah menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan BPJS Kesehatan. Diperlukan sinergi antara Pemerintah, aparat penegak hukum, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, dan masyarakat untuk memberantasnya. Regulasi yang kokoh dan penegakan hukum yang efektif adalah dua sisi mata uang dalam upaya mewujudkan sistem jaminan kesehatan yang bersih dan akuntabel.”
ADVERTISEMENT
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) adalah sebuah badan hukum publik yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini bertujuan memberikan jaminan kesehatan yang komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga setiap warga negara memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa terbebani masalah biaya. BPJS Kesehatan bertindak sebagai penyelenggara utama program JKN. Artinya, BPJS Kesehatan bertanggung jawab atas pengelolaan dana, pendaftaran peserta, pembayaran klaim fasilitas kesehatan, dan pengawasan mutu layanan. JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan menganut asas gotong royong, di mana peserta yang mampu secara ekonomi membantu membiayai peserta yang kurang mampu. Hal ini diwujudkan melalui mekanisme pembayaran iuran yang proporsional berdasarkan tingkat pendapatan. Pada dasarnya, seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS Kesehatan memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang cukup luas, mulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik pratama, dokter keluarga) hingga pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjut (rumah sakit). Manfaat yang dijamin meliputi rawat jalan, rawat inap, persalinan, obat-obatan, dan tindakan medis lainnya sesuai indikasi medis.
ADVERTISEMENT
Fraud atau kecurangan dalam konteks BPJS Kesehatan merujuk pada tindakan yang disengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial secara tidak sah dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tindakan ini melanggar ketentuan yang berlaku dan dapat merugikan berbagai pihak, termasuk peserta, BPJS Kesehatan, dan negara. Beberapa bentuk fraud yang umum terjadi dalam sistem BPJS Kesehatan antara lain adalah klaim fiktif atau palsu (mengajukan klaim untuk pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diberikan atau tidak pernah ada, dalam hal ini termasuk phantom billing), upcoding (menaikkan kode diagnosis atau prosedur medis untuk mendapatkan pembayaran yang lebih tinggi dari yang seharusnya), unbundling (memecah satu prosedur medis menjadi beberapa prosedur terpisah untuk mendapatkan pembayaran yang lebih tinggi), dan excessive usage (penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan atau tidak perlu, misalnya pemeriksaan atau tindakan medis yang tidak dibutuhkan secara medis).
ADVERTISEMENT
Phantom billing merupakan salah satu bentuk fraud dalam BPJS Kesehatan. Secara sederhana, phantom billing dapat diartikan sebagai klaim tagihan fiktif atau palsu atas pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak pernah diberikan kepada pasien. Contohnya, klaim atas pasien fiktif (rumah sakit atau fasilitas kesehatan mengajukan klaim untuk pasien yang sebenarnya tidak pernah dirawat atau berobat di sana), klaim atas tindakan medis yang tidak dilakukan (rumah sakit atau fasilitas kesehatan mengajukan klaim untuk tindakan medis atau prosedur yang sebenarnya tidak pernah dilakukan kepada pasien), dan klaim atas obat atau alat kesehatan yang tidak diberikan (rumah sakit atau fasilitas kesehatan mengajukan klaim untuk obat-obatan atau alat kesehatan yang sebenarnya tidak pernah diberikan kepada pasien).
ADVERTISEMENT
Phantom billing menyebabkan kebocoran dana BPJS Kesehatan secara langsung. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pelayanan kesehatan yang riil, justru digunakan untuk membayar klaim fiktif. Jumlah kerugian ini bisa sangat besar, bahkan berpotensi mencapai triliunan rupiah jika tidak ditangani dengan serius. Karena dana BPJS Kesehatan sebagian berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui subsidi pemerintah, maka phantom billing secara tidak langsung membebani keuangan negara. Uang pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau program-program lain, justru terpakai untuk menutupi kerugian akibat fraud. Phantom billing menyebabkan alokasi sumber daya di sektor kesehatan menjadi tidak efisien. Dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, memperluas cakupan jaminan, atau meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan, justru hilang. Jika praktik phantom billing terus dibiarkan, dapat menyebabkan defisit keuangan yang signifikan bagi BPJS Kesehatan. Hal ini dapat mengganggu kemampuan BPJS Kesehatan untuk membayar klaim dari fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Dalam jangka panjang, jika phantom billing tidak terkendali, dapat mengancam keberlangsungan program JKN secara keseluruhan. Program yang seharusnya menjadi jaring pengaman sosial di bidang kesehatan dapat kolaps karena praktik kecurangan.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, KPK menemukan indikasi kuat praktik phantom billing di beberapa rumah sakit swasta. Modusnya beragam, di antaranya manipulasi klaim operasi katarak. Rumah sakit mengklaim telah melakukan operasi katarak pada jumlah pasien yang lebih banyak dari yang sebenarnya. Selain itu juga klaim fiktif layanan fisioterapi dimana rumah sakit mengajukan klaim untuk layanan fisioterapi yang sebenarnya tidak pernah diberikan kepada pasien. Data pasien yang pernah berobat di rumah sakit dicatut dan digunakan untuk membuat klaim fiktif seolah-olah pasien tersebut rutin menjalani fisioterapi.
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Kecurangan dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan secara spesifik mengatur tentang pencegahan dan penanganan fraud dalam JKN, termasuk phantom billing. Permenkes ini merupakan landasan hukum yang penting untuk menindak praktik kecurangan. Meskipun Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 telah mendefinisikan phantom billing, perlu diperjelas lagi ruang lingkupnya, termasuk variasi modus operandi yang mungkin terjadi, seperti penggunaan data pasien yang sudah meninggal, penggunaan data pasien yang tidak pernah menerima layanan, dan klaim ganda atas layanan yang sama. Regulasi perlu memperluas klasifikasi fraud di luar phantom billing, seperti upcoding, unbundling, double billing, dan kickback, dengan definisi yang lebih detail dan contoh-contoh kasus yang spesifik. Hal ini akan membantu memudahkan identifikasi dan penindakan berbagai bentuk kecurangan. Selain itu, penguatan sanksi dan penegakan hukum juga harus dilakukan. Sanksi administratif yang ada saat ini dirasa kurang efektif. Teguran, peringatan, dan pencabutan izin, dinilai kurang memberikan efek jera bagi pelaku phantom billing. Perlu adanya sanksi pidana yang lebih tegas untuk memberikan efek jera yang signifikan. Regulasi perlu memperjelas mekanisme penegakan hukum, termasuk prosedur investigasi, penuntutan, dan peradilan, serta memperkuat koordinasi antar lembaga penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, KPK). Perlu dipertimbangkan pelibatan lembaga independen dalam pengawasan dan penindakan fraud untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Selain penguatan regulasi dan penegakan hukum, penggunaan teknologi canggih dalam proses penegakan hukum adalah mutlak. Harus dilakukan pengembangan sistem data analytics dan AI yang lebih canggih untuk menganalisis data klaim secara real-time dan mendeteksi pola-pola yang mencurigakan, seperti klaim yang tidak wajar, data pasien yang fiktif, atau tindakan medis yang tidak sesuai indikasi. Sistem whistleblowing berbasis teknologi yang aman dan anonim harus direalisasikan, agar masyarakat dapat dengan mudah dan aman melaporkan dugaan phantom billing. Teknologi blockchain dapat diterapkan untuk meningkatkan transparansi dan keamanan data klaim, serta mencegah manipulasi data. Perlu juga dipertimbangkan untuk mengembangkan aplikasi mobile yang memungkinkan masyarakat memantau data klaim mereka sendiri dan melaporkan jika ada ketidaksesuaian.
Phantom billing merupakan kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat. Regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memberantas praktik ini. Tanpa tindakan yang mendesak dan komprehensif, keberlanjutan program JKN dan hak rakyat atas kesehatan yang layak akan terancam.
ADVERTISEMENT