Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mandatory Spending Bidang Kesehatan, Apakah Perlu?
3 Maret 2024 15:04 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh Undang-Undang. Salah satu tujuan dari mandatory spending adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Di Indonesia, pengaturan mengenai mandatory spending dalam tata kelola keuangan Pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (4);
2. Alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26% (dua puluh enam persen) dari penerimaan dalam negeri neto sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
3. Alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) dengan perhitungan yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
4. Alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% (lima persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
ADVERTISEMENT
5. Alokasi anggaran untuk otonomi khusus sesuai dengan Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2% (dua persen) dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
Pada dasarnya, mandatory spending di bidang kesehatan merupakan salah satu implementasi dari Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Secara khusus, mandatory spending dalam bidang kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 171, yang mengamanatkan pemerintah secara mutlak untuk mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 5% (lima persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di luar gaji. Sementara, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diamanatkan untuk mengalokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji. Tujuan dari mandatory spending di bidang kesehatan ini secara tegas dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 171, yaitu untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Namun, meskipun persentase dari mandatory health spending telah secara tegas diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, faktanya mandatory spending dalam bidang kesehatan di Indonesia belum memenuhi ketentuan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dari Antonia Morita Iswari Saktiawati/Universitas Gadjah Mada dan Ari Probandari/Universitas Sebelas Maret, mandatory health spending Indonesia hanya 2,7-4,9% pada 2012-2019, dan 6,6-9,4% pada 2020-2022, naik pada saat pandemi Covid 19.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 8 Agustus 2023, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Undang-Undang ini mencabut 11 (sebelas) undang-undang, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak mengatur mengenai mandatory spending dalam bidang kesehatan. Penghapusan mandatory health spending ini menimbulkan pro dan kontra.
Menteri Kesehatan dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa mandatory health spending tidak berdampak secara signifikan terhadap kesehatan penduduk Indonesia. Beliau mengambil contoh beberapa negara yang menerapkan kebijakan mandatory health spending (misalnya, Kuba dan Amerika Serikat), rata-rata angka harapan hidupnya tidaklah tinggi. Sebaliknya, di beberapa negara yang tidak menerapkan mandatory health spending (misalnya, Korea Selatan dan Jepang), rata-rata angka harapan hidup penduduknya jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang menerapkan mandatory health spending. Selain itu, selama ini, terjadi pemaknaan yang keliru dalam pelaksanaan mandatory health spending karena fokusnya adalah ke spending (menghabiskan anggaran) dan bukan fokus ke program.
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak memberikan sanggahan terhadap pernyataan dari Menteri Kesehatan tersebut. Salah satu sanggahan disampaikan melalui hasil penelitian dari Antonia Morita Iswari Saktiawati/Universitas Gadjah Mada dan Ari Probandari/Universitas Sebelas Maret. Hasil penelitian itu pada dasarnya menyatakan bahwa cara pandang dari Menteri Kesehatan, yang hanya fokus pada pengaruh belanja kesehatan per kapita terhadap usia harapan hidup, adalah kurang akurat. Adapun Angka Harapan Hidup (AHH) dipengaruhi beberapa faktor yang signifikan, yaitu
1. Faktor sosiodemografik: angka kematian bayi, tingkat literasi, pendidikan, status sosioekonomi, pertumbuhan populasi, dan kesetaraan gender;
2. Faktor makrooekonomi: Produk Domestik Bruto (PDB), Koefisien Gini atau ukuran ketidakmerataan, pendapatan per kapita, tingkat pengangguran, dan laju inflasi;
3. Sumber daya kesehatan: fasilitas pelayanan kesehatan, jumlah sumber daya manusia kesehatan, pengeluaran kesehatan masyarakat, angka kematian, prevalensi perokok, tingkat polusi, dan ketercakupan vaksinasi.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut secara tegas menyatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat adalah sebuah anomali. Penyebab Angka Harapan Hidup (AHH) Amerika Serikat rendah adalah:
1. Tidak semua penduduk di Amerika Serikat memiliki akses terhadap layanan kesehatan (Amerika Serikat tidak memiliki asuransi kesehatan umum), dan sistem kesehatan di Amerika Serikat tidak mendorong penduduk untuk mengakses layanan kesehatan;
2. Tingginya pengeluaran kesehatan secara pribadi menyebabkan hampir setengah penduduk dewasa usia kerja menghindari atau terlambat mengakses layanan kesehatan;
3. Pengeluaran kesehatan di Amerika Serikat yang tinggi disebabkan oleh mahalnya biaya layanan kesehatan;
4. Pencegahan dan manajemen penyakit kronik tidak optimum, ditandai dengan tidak adanya kapasitas penanganan penyakit yang komprehensif, berkelanjutan, dan terkoordinasi;
ADVERTISEMENT
5. Banyak penduduk Amerika Serikat mengalami keterbatasan akses pelayanan kesehatan primer yang efektif karena investasi yang rendah di bidang pelayanan primer selama bertahun-tahun, dan pasokan penyedia layanan kesehatan yang tidak mencukupi.
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) yang menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara dengan pengeluaran belanja kesehatan terbesar di dunia dan memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 76 tahun dengan pengeluaran kesehatan USD 6.600/kapita/tahun. Di sisi lain, Jepang mencapai outcome yang lebih efisien, yaitu 84 tahun dengan pengeluaran belanja kesehatan USD 3.300/kapita/tahun. Dengan demikian, terdapat faktor lain yang harus diperhatikan dalam melihat dampak belanja kesehatan terhadap indikator kesehatan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Angka Harapan Hidup (AHH) Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Indonesia berada pada rentang 63,7-76,9 tahun pada 2022. Rentang Angka Harapan Hidup (AHH) ini bergantung pada jenis kelamin dan provinsinya. Angka Harapan Hidup (AHH) terendah dimiliki laki-laki di Sulawesi Barat (63,7 tahun), sedang Angka Harapan Hidup (AHH) tertinggi dimiliki oleh perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta (76,9 tahun). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Angka Harapan Hidup (AHH) Indonesia adalah 71,3 tahun, lebih rendah dibanding rata-rata Angka Harapan Hidup (AHH) global yang mencapai 73 tahun. Lima negara yang mempunyai Angka Harapan Hidup (AHH) paling tinggi adalah Jepang (84,3 tahun), Swiss (83,5 tahun), Korea Selatan (83,3 tahun), Spanyol (83,2 tahun), dan Singapura (83,2 tahun).
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kesempatan, Juru Bicara Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa ketiadaan persentase angka mandatory spending di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, bukan berarti anggaran kesehatan tersebut tidak ada. Anggaran kesehatan tetap ada dan tersusun secara rapi berdasarkan Rencana Induk Kesehatan yang berbasis kinerja serta berfokus terhadap input, output dan outcome yang akan dicapai. Dengan rancangan seperti ini, diharapkan: tujuan dari anggaran kesehatan lebih jelas, yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi tingginya; anggaran kesehatan lebih tepat sasaran; dan terwujud pembagian peran antara pusat serta daerah.
Pendanaan kesehatan diatur di dalam Bab XIII Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Alokasi anggaran kesehatan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dituangkan dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan, ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, penyusunannya dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rencana Induk Bidang Kesehatan harus memperhatikan penganggaran berbasis kinerja, yaitu prinsip dan kaidah penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, termasuk di bidang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
ADVERTISEMENT
Penulis berkesimpulan bahwa mandatory spending di bidang kesehatan (mandatory health spending) bersifat dilematis. Di satu sisi, salah satu alasan pemerintah menghapus kebijakan mandatory spending kesehatan adalah capaian indikator kesehatan yang tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah anggaran yang dikeluarkan. Namun, di sisi lain, mandatory health spending tetap memiliki beberapa manfaat, salah satunya adalah memberikan kepastian hukum terkait dengan jumlah anggaran untuk pos belanja tertentu.
Dalam hal ini, penulis merekomendasikan 2 (dua) hal yang sifatnya adalah pilihan. Pertama, mandatory health spending tetap dipertahankan dengan memperbaiki fungsi pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah. Kedua, apabila mandatory health spending memang dihapus maka Pemerintah harus: memberikan pedoman yang jelas mengenai penganggaran berbasis kinerja di bidang kesehatan; menentukan prioritas indikator kesehatan yang mudah diukur untuk monitoring dan evaluasi capaian kinerja; dan melakukan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT