Konten dari Pengguna

Menelisik Regulasi dan Dampak PPN 12% Sektor Kesehatan

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
23 Desember 2024 12:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“PPN 12% di sektor kesehatan membawa dampak. Mitigasi yang tepat dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk memastikan agar kebijakan ini tidak memperburuk akses dan kualitas layanan kesehatan, serta tetap sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan nasional.”
ADVERTISEMENT
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN merupakan pajak tidak langsung, artinya beban pajak ditanggung oleh konsumen akhir, tetapi pemungutan dan penyetorannya ke kas negara dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu produsen, distributor, atau pedagang. Objek PPN adalah Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Namun, ada beberapa barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN, misalnya barang kebutuhan pokok tertentu dan jasa pelayanan kesehatan tertentu. Mekanisme pemungutan PPN menggunakan sistem invoice atau faktur pajak. Setiap PKP yang menjual BKP/JKP wajib menerbitkan faktur pajak. PPN yang dibayar oleh pembeli (PPN Masukan) dapat dikreditkan dengan PPN yang dipungut dari penjualan (PPN Keluaran). Selisihnya disetorkan ke kas negara. Tarif PPN di Indonesia saat ini adalah 11% (sejak April 2022) dan akan naik menjadi 12% pada tahun 2025 sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
ADVERTISEMENT
PPN dipungut dari berbagai sektor ekonomi, sehingga memberikan sumber pendapatan yang relatif stabil dan tidak terlalu bergantung pada satu sektor saja. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas fiskal negara. PPN memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pendapatan dari PPN digunakan untuk membiayai berbagai program pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial lainnya. Mekanisme invoice pada PPN mendorong kepatuhan pajak karena setiap transaksi tercatat dan dapat diaudit. Hal ini membantu mengurangi praktik penggelapan pajak. Pendapatan dari PPN dapat digunakan untuk membiayai investasi publik dan pembangunan infrastruktur, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% merupakan bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021. Kenaikan ini dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025. Tujuan utama dari kenaikan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai berbagai program pemerintah dan menjaga stabilitas fiskal. Meskipun secara umum tarif PPN akan naik menjadi 12%, penting untuk dicatat bahwa tidak semua layanan kesehatan akan dikenakan PPN 12%. Pemerintah telah menetapkan pengecualian untuk beberapa jenis layanan kesehatan, terutama yang bersifat mendasar dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Sebagian besar layanan kesehatan yang bersifat dasar dan esensial kemungkinan besar akan tetap dikecualikan dari PPN. Ini termasuk layanan di rumah sakit pemerintah, puskesmas, dan layanan kesehatan dasar lainnya. Obat-obatan tertentu yang disubsidi pemerintah juga kemungkinan besar akan tetap bebas PPN. PPN 12% kemungkinan akan dikenakan pada layanan kesehatan premium atau layanan kesehatan yang bersifat mewah. Contohnya adalah, pelayanan medis di rumah sakit atau klinik dengan fasilitas dan layanan eksklusif. Misalnya, kamar VIP atau VVIP, penggunaan peralatan medis canggih yang spesifik, dan layanan dokter spesialis dengan reputasi tinggi. PPN 12% juga dikenakan terhadap tindakan medis atau perawatan tertentu yang berbiaya tinggi. Contohnya, operasi dengan teknologi robotik, perawatan estetika invasif, atau program kesehatan personal yang sangat eksklusif. Pengenaan PPN pada layanan kesehatan premium bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan, di mana kelompok masyarakat yang mampu membayar lebih berkontribusi lebih besar kepada negara. Selain itu, pendapatan dari PPN ini dapat digunakan untuk mensubsidi layanan kesehatan yang lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan PPN pada layanan kesehatan premium berpotensi meningkatkan biaya layanan tersebut bagi konsumen. Namun, dampaknya diharapkan terbatas pada kelompok masyarakat yang menggunakan layanan premium. Pemerintah berupaya meminimalisir dampak pada masyarakat luas dengan tetap mengecualikan layanan kesehatan dasar dari PPN.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi memengaruhi harga obat-obatan dan alat kesehatan, meskipun dampaknya tidak serta merta langsung dan merata ke semua jenis obat dan alat kesehatan. Sebagian besar obat-obatan yang dijual di apotek dan toko obat, serta alat kesehatan yang dijual bebas, dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak (BKP). Artinya, transaksi jual beli barang-barang ini dikenakan PPN. Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, harga jual obat dan alat kesehatan tersebut berpotensi naik sebesar 1% dari harga sebelum PPN (atau sekitar 9% dari nilai PPN sebelumnya). Obat-obatan yang ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan seharusnya tidak terpengaruh oleh kenaikan PPN karena biaya obat tersebut ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk memitigasi dampak kenaikan PPN terhadap harga obat dan alat kesehatan, misalnya dengan memberikan subsidi atau insentif kepada produsen atau distributor, atau dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk obat-obatan tertentu.
ADVERTISEMENT
Rumah sakit, klinik, dan fasilitas kesehatan lainnya yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan akan terdampak oleh kenaikan PPN pada barang dan jasa yang mereka gunakan dalam operasionalnya. Ini termasuk peralatan medis, bahan habis pakai medis, obat-obatan (meskipun sebagian besar ditanggung, beberapa obat di luar formularium akan terdampak), perlengkapan kantor, jasa pemeliharaan, dan lain-lain. Kenaikan biaya operasional ini dapat menekan margin keuntungan fasilitas kesehatan dan berpotensi memengaruhi kualitas layanan yang diberikan kepada peserta JKN. Jika biaya operasional fasilitas kesehatan meningkat karena PPN, mereka mungkin akan mengajukan klaim yang lebih tinggi ke BPJS Kesehatan untuk mengkompensasi kenaikan biaya tersebut. Hal ini dapat membebani keuangan BPJS Kesehatan dan berpotensi mengganggu keberlanjutan program jika tidak diantisipasi dengan baik. Kenaikan PPN pada bahan baku dan proses produksi obat-obatan dan alat kesehatan dapat memengaruhi harga jual produk-produk tersebut. Meskipun obat-obatan yang masuk dalam formularium JKN harganya dinegosiasikan, kenaikan harga di tingkat produsen dapat memengaruhi proses negosiasi harga di masa mendatang dan berpotensi meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk pengadaan obat dan alat kesehatan. Jika dampak kenaikan PPN pada biaya operasional fasilitas kesehatan cukup signifikan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menyesuaikan tarif INA-CBG (Indonesia Case Based Groups), yaitu sistem pembayaran klaim rumah sakit oleh BPJS Kesehatan. Penyesuaian ini bertujuan untuk memastikan bahwa fasilitas kesehatan tetap dapat memberikan layanan yang berkualitas kepada peserta JKN. Namun, penyesuaian tarif ini juga perlu dipertimbangkan dengan matang agar tidak membebani keuangan BPJS Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah mitigasi untuk meminimalkan dampak tersebut. Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok, agar kenaikan PPN tidak memicu inflasi yang berlebihan. Hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, serta pengawasan terhadap rantai distribusi dan ketersediaan barang. Pemerintah perlu melakukan efisiensi dalam penggunaan anggaran negara, dengan memprioritaskan belanja yang produktif dan mengurangi belanja yang kurang prioritas. Hal ini penting untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan meminimalisir kebutuhan untuk menaikkan pajak di masa mendatang. Pemerintah perlu memastikan bahwa program-program subsidi dan bantuan sosial, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan pangan non-tunai (BPNT), dan subsidi energi, tepat sasaran dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Memperkuat program jaminan sosial, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan jaminan sosial ketenagakerjaan, untuk memberikan perlindungan yang lebih komprehensif kepada masyarakat terhadap risiko ekonomi dan sosial. Pemerintah perlu melakukan pengendalian harga obat dan alat kesehatan, terutama obat generik dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk penyakit kronis, agar tetap terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah perlu mengkomunikasikan secara transparan dan efektif kepada masyarakat mengenai alasan kenaikan PPN, dampak yang mungkin timbul, dan langkah-langkah mitigasi yang diambil. Hal ini penting untuk mengurangi kekhawatiran dan menjaga kepercayaan masyarakat. Hal yang terpenting adalah pemerintah harus melakukan evaluasi berkala terhadap dampak kenaikan PPN dan melakukan penyesuaian kebijakan jika diperlukan.
ADVERTISEMENT
Implementasi PPN 12% di sektor kesehatan menghadirkan lanskap yang kompleks. Meskipun layanan kesehatan dasar terlindungi, dampak tidak langsung pada biaya operasional fasilitas kesehatan, harga obat dan alat kesehatan, serta daya beli masyarakat tetap menjadi perhatian serius. Regulasi yang ada perlu ditinjau secara berkala dan langkah-langkah mitigasi yang komprehensif, seperti pengendalian harga, penguatan JKN, dan program bantuan sosial yang tepat sasaran, mutlak diperlukan untuk memastikan akses layanan kesehatan yang adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama di tengah tantangan ekonomi global.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/pajak-adonan-bermain-kantor-pajak-1015399/