Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Mengawal Hak Akses Penyandang Tunanetra Melalui Regulasi
6 Januari 2025 17:42 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Peringatan Hari Braille Sedunia bukan sekadar seremonial, melainkan momentum untuk mewujudkan inklusi penyandang disabilitas netra. Regulasi adalah fondasi yang kuat, tetapi implementasi yang efektif dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas adalah kuncinya.”
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 4 Januari, dunia memperingati Hari Braille Sedunia. Lebih dari sekadar perayaan, hari ini adalah momen refleksi dan penghargaan atas warisan luar biasa Louis Braille. Ia adalah seorang visioner yang mengubah lanskap literasi bagi jutaan tunanetra di seluruh dunia. Penemuannya, sistem tulisan Braille, telah membuka pintu pengetahuan, kemandirian, dan kesempatan yang sebelumnya sulit dijangkau. Tanggal 4 Januari dipilih sebagai penghormatan atas hari kelahiran Louis Braille, dan sejak diresmikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada November 2018 dan pertama kali dirayakan pada 4 Januari 2019, Hari Braille Sedunia telah menjadi pengingat global tentang pentingnya hak-hak penyandang tunanetra dan perlunya aksesibilitas yang lebih baik.
Tema Hari Braille Sedunia tahun 2025, “Mewujudkan Aksesibilitas Tanpa Batas untuk Penyandang Tunanetra,” adalah seruan aksi bagi kita semua. Tema ini mengajak kita untuk bekerja sama menciptakan dunia yang benar-benar inklusif, di mana tunanetra memiliki akses dan kesempatan yang setara dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan dan pekerjaan hingga partisipasi sosial dan budaya, Braille hadir sebagai jembatan yang menghubungkan tunanetra dengan dunia di sekeliling mereka. Sebagai sistem baca tulis taktil yang unik, Braille adalah kunci utama yang membuka pintu pengetahuan, informasi, kemandirian, dan kesempatan bagi tunanetra.
ADVERTISEMENT
Kisah Braille dimulai pada awal abad ke-19 di Prancis. Louis Braille, seorang anak laki-laki yang kehilangan penglihatannya akibat kecelakaan di usia yang sangat muda, mengalami sendiri betapa sulitnya mengakses informasi tanpa sistem baca tulis yang memadai bagi tunanetra. Pada masa itu, metode pembelajaran bagi tunanetra masih sangat terbatas dan tidak efektif. Louis kecil merasakan betul frustrasi dan keterbatasan yang dialami oleh teman-teman sebayanya yang juga tunanetra. Suatu hari, Louis mendengar tentang sistem "tulisan malam" yang digunakan oleh militer Prancis untuk berkomunikasi dalam gelap. Sistem ini menggunakan titik-titik timbul pada kertas tebal, memungkinkan para prajurit untuk membaca pesan tanpa cahaya. Inilah titik balik dalam hidup Louis. Ia terinspirasi oleh sistem ini dan mulai bereksperimen untuk menciptakan sistem yang lebih sederhana dan efisien yang dapat digunakan oleh tunanetra untuk membaca dan menulis. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan uji coba, pada tahun 1824, di usia 15 tahun, Louis Braille berhasil menyelesaikan sistem Braille yang kita kenal sekarang. Sistem ini didasarkan pada sel enam titik timbul, yang memungkinkan representasi 64 karakter berbeda, termasuk huruf, angka, tanda baca, dan simbol musik. Penemuan ini merevolusi dunia literasi bagi tunanetra.
ADVERTISEMENT
Penemuan Braille bukan hanya sekadar inovasi teknis, tetapi juga sebuah tindakan pemberdayaan. Sistem ini memberikan tunanetra kemampuan untuk membaca dan menulis secara mandiri, membuka akses ke dunia pendidikan, literatur, dan informasi yang sebelumnya sulit dijangkau. Braille bukan hanya sekadar kode; ia adalah alat yang memungkinkan tunanetra untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat, berkontribusi pada dunia, dan meraih potensi mereka sepenuhnya.
Dalam konteks pendidikan, Braille bukan sekadar metode membaca dan menulis. Braille adalah fondasi literasi dan kemandirian bagi siswa dan mahasiswa tunanetra. Bayangkan tantangan yang dihadapi seorang siswa yang tidak dapat mengakses buku pelajaran, materi kuliah, atau catatan yang sama dengan teman-temannya yang awas. Tanpa Braille, mereka akan sangat bergantung pada bantuan orang lain, membatasi kemampuan mereka untuk belajar secara mandiri dan mengembangkan potensi mereka. Braille hadir sebagai solusi, menjembatani kesenjangan dan membuka pintu menuju pendidikan yang setara. Dengan Braille, siswa tunanetra dapat membaca dan menulis secara mandiri, membangun fondasi literasi yang kokoh. Akses ke berbagai materi pembelajaran dalam format Braille memastikan mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses kurikulum dan materi pembelajaran. Lebih dari itu, proses perabaan dan penerjemahan titik-titik Braille melatih kemampuan kognitif, seperti pemahaman, analisis, memori, dan konsentrasi. Partisipasi aktif di kelas pun menjadi lebih inklusif. Siswa dapat membaca teks, mengerjakan latihan, dan berdiskusi tanpa bergantung pada bantuan orang lain, meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian mereka. Pendidikan inklusif yang didukung oleh Braille membuka peluang bagi penyandang tunanetra untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dan berkarir di berbagai bidang profesional, mewujudkan kesetaraan dan inklusi dalam dunia pendidikan. Contohnya, seorang siswa tunanetra yang mahir membaca notasi musik Braille dapat belajar memainkan alat musik dan bahkan bergabung dengan orkestra.
ADVERTISEMENT
Dunia kerja modern didominasi oleh informasi visual, mulai dari dokumen dan presentasi hingga grafik dan diagram. Bagi penyandang tunanetra, akses ke informasi ini sangat penting untuk bersaing dan berprestasi di tempat kerja. Braille berperan penting dalam menjembatani kesenjangan akses informasi ini, menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif.
Akses ke informasi dan materi kerja dalam format Braille memungkinkan penyandang tunanetra bekerja secara mandiri dan efisien, meningkatkan produktivitas dan kepercayaan diri mereka. Materi pelatihan, manual, dokumen, informasi lowongan pekerjaan, dan bahkan komunikasi internal—semuanya dapat diakses melalui Braille. Hal ini memastikan penyandang tunanetra dapat mengikuti pelatihan, meningkatkan keterampilan profesional, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, serta berkomunikasi secara efektif dengan rekan kerja dan atasan. Misalnya, seorang tunanetra yang bekerja sebagai programer dapat menggunakan Braille display untuk membaca dan menulis kode. Penyediaan akses Braille di tempat kerja bukan hanya sekadar fasilitas tambahan, tetapi merupakan wujud nyata dari kesetaraan kesempatan dan non-diskriminasi. Hal ini memungkinkan penyandang tunanetra untuk menunjukkan potensi maksimal mereka dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Akses Braille bukan sekadar kemudahan atau fasilitas tambahan bagi penyandang tunanetra, melainkan merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Hal ini ditegaskan dalam berbagai instrumen hukum dan konvensi internasional, serta diakui oleh banyak negara di dunia. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang diadopsi oleh PBB secara eksplisit mengakui hak penyandang disabilitas untuk mengakses informasi dan komunikasi, termasuk melalui Braille. Pasal 21 CRPD menyatakan bahwa negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menggunakan Braille, bahasa isyarat, dan format serta teknologi komunikasi yang aksesibel lainnya. Di Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Akses Terhadap Ciptaan Bagi Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memperkuat landasan hukum bagi penyediaan akses Braille dalam berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Meskipun landasan hukum dan kesadaran akan pentingnya Braille semakin meningkat, masih terdapat berbagai tantangan dalam implementasinya. Kurangnya kesadaran dan pemahaman di masyarakat umum, stereotip yang masih melekat, serta kurangnya ketersediaan materi Braille dan tenaga ahli yang terlatih merupakan beberapa isu yang perlu diatasi. Oleh karena itu, edukasi publik, kampanye kesadaran, dan advokasi yang berkelanjutan sangat penting. Kita perlu menghilangkan stereotip yang salah tentang disabilitas netra dan Braille, menyebarkan informasi yang akurat dan mudah diakses, serta memastikan isu aksesibilitas mendapat perhatian yang layak dari pembuat kebijakan, penyedia layanan, dan masyarakat luas. Investasi dalam pelatihan guru dan penyediaan materi Braille juga krusial untuk memastikan ketersediaan layanan yang berkualitas bagi penyandang tunanetra.
Di era digital ini, teknologi juga berperan penting dalam mendukung penggunaan Braille. Berbagai perangkat dan aplikasi telah dikembangkan untuk memudahkan akses Braille, seperti Braille display, Braille embosser, dan aplikasi pembaca layar yang dapat mengonversi teks digital ke Braille. Braille display memungkinkan tunanetra untuk membaca teks digital yang ditampilkan dalam bentuk titik-titik Braille yang dapat diraba. Braille embosser mencetak dokumen dalam format Braille. Aplikasi pembaca layar membacakan teks digital dengan suara, yang sangat membantu bagi tunanetra yang belum lancar membaca Braille. Meskipun teknologi terus berkembang, Braille tetap relevan dan penting sebagai fondasi literasi bagi penyandang tunanetra. Teknologi dan Braille tidak saling menggantikan, tetapi saling melengkapi, menciptakan ekosistem inklusi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Akses terhadap Braille bukanlah sekadar fasilitas, melainkan hak asasi manusia yang mendasar. Hari Braille Sedunia mengingatkan akan pentingnya regulasi dalam menjamin pemenuhan hak ini. Dengan regulasi yang kuat dan implementasi yang efektif, tidak hanya memberikan akses terhadap informasi, tetapi juga memberdayakan penyandang disabilitas netra untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat dan mewujudkan potensi sepenuhnya.