Konten dari Pengguna

Mengenal Disiplin dan Penegakan Disiplin dalam Profesi Dokter

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
4 Oktober 2024 14:48 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disiplin merupakan intisari dari sebuah profesi. Hal ini dikarenakan disiplin mempunyai ruang lingkup pengaturan mengenai bagaimana sebuah profesi mengemban amanah profesinya dan melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Terkait dengan dokter, maka disiplin mengatur mengenai bagaimana seorang dokter harus bersikap dan bertindak secara profesional dalam melaksanakan profesinya. Oleh karena itu, hal yang diatur di dalam disiplin dokter adalah mengenai standar kualitas dalam melaksanakan tindakan medis dan penegakan disiplin dalam menjaga mutu profesi dokter.
ADVERTISEMENT
Disiplin keilmuan fokusnya adalah mengenai ketaatan dokter dan dokter gigi terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, peraturan telah memperjelas ruang lingkup dari pelanggaran disiplin. Pasal 3 Peraturan Konsil Kedokteran Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa bentuk pelanggaran disiplin meliputi: melakukan Praktik Kedokteran dengan tidak kompeten; tidak merujuk pasien kepada Dokter atau Dokter Gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai; mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut; menyediakan Dokter atau Dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut; menjalankan Praktik Kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien; tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien; melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien; tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran; melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya; tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja; melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau keluarganya; menjalankan Praktik Kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara Praktik Kedokteran yang layak; melakukan penelitian dalam Praktik Kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah; tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; membuka rahasia kedokteran; membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut; turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati; meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan terhadap pasien dalam penyelenggaraan Praktik Kedokteran; menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya; menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan, atau memberikan resep obat/alat kesehatan; mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan pelayanan yang dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan; adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya; berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; tidak jujur dalam menentukan jasa medis; tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI/MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran disiplin merupakan pelanggaran terhadap penerapan keilmuan dari dokter dan dokter gigi. Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang jelas dan tegas antara pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum. Pelanggaran disiplin, belum tentu merupakan pelanggaran hukum. Sebagai contoh, salah satu bentuk pelanggaran disiplin adalah dokter yang menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten. Misalnya, ada seorang dokter pria, di pagi hari menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi fisik dan mental yang kurang prima karena semalam tidak tidur akibat bertengkar dengan istrinya. Artinya, dokter ini sudah masuk dalam kategori menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental yang tidak memadai. Dalam kondisi seperti ini, telah terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter tersebut. Namun, apakah hal ini merupakan pelanggaran hukum? Belum tentu. Apabila dokter tersebut telah melaksanakan inspanningsverbintennis (upaya terbaik dalam praktik kedokteran) dan tidak menimbulkan kerugian bagi pasien maka kondisi dokter tersebut bukan merupakan pelanggaran hukum, tetapi merupakan pelanggaran disiplin.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran disiplin tidak identik dengan pelanggaran hukum, hal demikian dapat kita lihat pada bentuk Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang menyebutkan bahwa Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) bukan merupakan hasil dari pemeriksaan adanya pelanggaran hukum perdata (onrechtmatigedaad) maupun pelanggaran hukum pidana (wetderrechtelijk). Kemanfaatan dibukanya peluang mengadukan dokter dari sisi pelanggaran disiplin lebih ditujukan untuk memberikan perlindungan dan pembinaan baik terhadap dokter, rumah sakit, maupun pasien.
Dalam beberapa Putusan Pengadilan, Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) ada yang dijadikan bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim di pengadilan dan ada yang dikesampingkan oleh Majelis Hakim di pengadilan.
Beberapa Putusan Pengadilan menjadikan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai bahan pertimbangan. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.JKT.BRT jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 614/Pdt/2016/PT.DKI jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 42 K/Pdt/2018, Majelis Hakim mempertimbangkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang menyatakan bahwa dokter anestesi telah melakukan pelanggaran disiplin. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 484/Pdt.G/2013/PN.JKT.Sel, Majelis Hakim mempertimbangkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Atas Pengaduan Nomor 09/P/MKDKIV/22011 tanggal 5 Juni 2013, dimana dokter melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf f dan h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yaitu tidak melakukan persiapan operasi dengan baik dan tidak memberikan penjelasan tetang resiko tindakan sektio keempat kalinya. Menindaklajuti Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tersebut, Konsil Kedokteran Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor 19/KKI/KEP/VI/2013 tanggal 26 Juni 2013 Tentang Pelaksanaan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia telah mencabut Surat Tanda Registrasi Dokter. Dalam Putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa telah terbukti terjadi Perbuatan Melawan Hukum. Tergugat (dokter, Rumah Sakit dan Pemilik Rumah Sakit) secara tanggung renteng membayar kerugian immateriil yang diderita Penggugat sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
ADVERTISEMENT
Namun, dalam beberapa Putusan Pengadilan, Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dikesampingkan oleh pengadilan. Beberapa Putusan Pengadilan yang mengesampingkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah sebagai berikut. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 312/Pdt.G/2014/PN.JKT.Sel jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI, terdapat Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang menyatakan bahwa dokter telah melakukan pelanggaran disiplin. Menanggapi Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tersebut, tergugat (dokter) dalam persidangan menyampaikan bahwa ukuran Perbuatan Melawan Hukum dokter adalah berdasarkan Undang-Undang dan bukan berdasarkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengesampingkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 66/PDT/2016/PT.DKI jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1001 K/Pdt/2017, terdapat Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang menyatakan bahwa dokter telah melanggar disiplin. Berdasarkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Atas Pengaduan Nomor 09/P/MKDKIV/22011 tanggal 5 Juni 2013, dokter dinyatakan telah melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf f dan h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yaitu tidak melakukan persiapan operasi dengan baik dan tidak memberikan penjelasan tetang risiko tindakan sektio keempat kalinya. Konsil Kedokteran Indonesia menindaklanjuti Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dengan Surat Keputusan Nomor 19/KKI/KEP/VI/2013 tanggal 26 Juni 2013 Tentang Pelaksanaan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dengan mencabut Surat Tanda Registrasi Dokter. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) mengesampingkan keterangan Ahli (Seorang Dokter Spesialis Kandungan dan Guru Besar) yang dihadirkan dalam persidangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam pemeriksaan di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Guru Besar tersebut menyatakan tidak ada pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Dokter. Pengadilan Tinggi mengesampingkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan mempertimbangkan keterangan Ahli tersebut. Menurut Majelis Hakim, Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) hanya berada di ranah disiplin dan bukan merupakan ranah hukum, yaitu Perbuatan Melawan Hukum. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 71/Pdt.G/2012/PN.JBI. jo Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 63/PDT/2013/PT.Jbi jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1361 K/Pdt/2014, penggugat (pasien) mengajukan bukti baru (novum) bahwa dokter telah diputuskan bersalah oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam Putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa tidak terbukti telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum dan malpraktik medis yang dilakukan oleh dokter. Dalam Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 699 PK/Pdt/2017, alasan penggugat (pasien) mengajukan peninjauan kembali adalah adanya Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tentang pencabutan Surat Tanda Registrasi Dokter karena Dokter melanggar Pasal 3 (2) huruf f Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011. Dokter telah melakukan pelanggaran disiplin berdasarkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam Putusannya, Majelis Hakim mengesampingkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tersebut. Majelis Hakim menyatakan bahwa Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) bukan merupakan keputusan yang menyangkut bidang hukum sehingga tidak dapat diartikan adanya pelanggaran dan/atau kesalahan di bidang hukum. Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2811 K/Pdt/2012, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) telah memutuskan bahwa dokter melanggar disiplin, yaitu tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarga pasien dalam melakukan praktik kedokteran. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) merekomendasikan pencabutan Surat Tanda Registrasi Dokter atau Surat Izin Praktik Dokter selama 3 (tiga) bulan). Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tersebut ranahnya adalah disiplin. Menurut Majelis Hakim, tindakan medis dokter sudah sesuai dengan ketentuan Standar Pelayanan Rumah Sakit sebagaimana yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengimplementasikan dan menegakkan disiplin, maka dibentuklah Majelis Disiplin bagi profesi dokter. Pada awalnya, Majelis ini diatur di dalam Bab VIII Pasal 55-70 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam undang-undang tersebut, Majelis ini dikenal dengan nama “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)” yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dan berwenang untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Kemudian, pada tanggal 8 Agustus 2023, lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mencabut 11 (sebelas) Undang-Undang, termasuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam undang-undang ini, Majelis ini dikenal dengan nama “Majelis” yang diatur di dalam Bagian Kesebelas, Paragraf 1, Pasal 304-309 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Undang-Undang Kesehatan mengamanahkan pembentukan Peraturan Pemerintah sehingga pada tanggal 26 Juli 2024, ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini, Majelis ini diatur di dalam Bagian Kedelapan Paragraf 1 Pasal 712-720 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan dikenal dengan nama “Majelis Disiplin Profesi.”
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Majelis dibentuk dalam rangka untuk menegakkan disiplin profesi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perbedaannya dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah terletak pada kewenangan dan ruang lingkup kewenangannya serta bentuk dari Majelis.
Ditinjau dari kewenangannya Majelis berwenang untuk memberikan sanksi disiplin dalam putusannya dan rekomendasi terhadap sanksi pidana maupun perdata (Pasal 306 jo. 308 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Sanksi disiplin berupa: peringatan tertulis; kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di penyelenggara pendidikan di bidang Kesehatan atau Rumah Sakit pendidikan terdekat yang memiliki kompetensi untuk melakukan pelatihan tersebut; penonaktifan STR untuk sementara waktu; dan/atau rekomendasi pencabutan SIP (Pasal 306 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Jadi, kewenangan Majelis lebih besar apabila dibandingkan dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) karena Majelis ini berwenang memberikan rekomendasi terkait dengan sanksi pidana maupun pertanggungjawaban perdata. Terkait dengan sanksi pidana, rekomendasi Majelis berupa rekomendasi dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan karena pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional (Pasal 308 (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Kesimpulannya, terkait dengan sanksi pidana, Majelis ini melaksanakan fungsi penyelidikan yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam pertanggungjawaban perdata, rekomendasi Majelis berupa rekomendasi pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional (Pasal 308 (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Kewenangan Majelis yang besar ini juga semakin dipertegas dalam pengaturan mengenai jangka waktu pemeriksaan di Majelis, dimana dinyatakan bahwa apabila majelis tidak memberikan rekomendasi dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima, maka Majelis dianggap telah memberikan rekomendasi untuk dapat dilakukan penyidikan atas tindak pidana (Pasal 308 (7) (8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari ruang lingkup kewenangannya, Majelis ini ruang lingkup kewenangannya adalah meliputi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (Pasal 304 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Tenaga Medis meliputi dokter dan dokter gigi, termasuk juga spesialisnya dan subspesialisnya (Pasal 198 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Tenaga Kesehatan meliputi: tenaga psikologi klinis (psikolog klinis); tenaga keperawatan (perawat vokasi, ners, dan ners spesialis); tenaga kebidanan (bidan vokasi dan bidan profesi); tenaga kefarmasian (tenaga vokasi farmasi, apoteker, dan apoteker spesialis); tenaga kesehatan masyarakat (tenaga kesehatan masyarakat, epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, serta tenaga administratif dan kebijakan kesehatan); tenaga kesehatan lingkungan (tenaga sanitasi lingkungan dan entomolog kesehatan); tenaga gizi (nutrisionis dan dietisien); tenaga keterapian fisik (fisioterapis, terapis okupasional, terapis wicara, dan akupunktur); tenaga keteknisian medis (perekam medis dan informasi kesehatan, teknisi kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, serta audiologis); tenaga teknik biomedika (radiografer, elektromedis, tenaga teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, dan ortotik prostetik); tenaga kesehatan tradisional (tenaga kesehatan tradisional ramuan atau jamu, tenaga kesehatan tradisional pengobat tradisional, dan tenaga kesehatan tradisional interkontinental); dan Tenaga Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. (Pasal 199 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari bentuknya Majelis ini dapat dapat bersifat permanen atau ad hoc dan dibentuk oleh Menteri Kesehatan (Pasal 304 (2) (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
Perbedaan lainnya adalah diperkenalkannya keadilan restoratif dan peninjauan kembali terkait dengan fungsi serta kewenangan Majelis. Aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif bagi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan dan terdapat dugaan tindak pidana (Pasal 306 (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Sedangkan, Putusan Majelis dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri Kesehatan dalam hal: ditemukan bukti baru; kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa (Pasal 307 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Subyek hukum yang dapat mengajukan pengaduan kepada Majelis juga berbeda dengan pengaturan sebelumnya. Subyek hukum tersebut hanyalah meliputi pasien atau keluarganya (Pasal 305 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan). Jadi, subyek hukum tersebut limitatif dan berbeda dengan pengaturan terdahulu yang membuka kesempatan kepada setiap orang, yaitu setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran (Pasal 66 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/wanita-keadilan-hukum-keadilan-2388500/