Konten dari Pengguna

Menjadikan Telemedicine sebagai Ujung Tombak Pelayanan Medis, Mungkinkah?

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
19 Februari 2024 14:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bidang kesehatan merupakan sebuah bidang kehidupan yang sifatnya primer karena dibutuhkan oleh setiap manusia, apapun latar belakang sosial dan strata ekonominya. Oleh karena itu, pelayanan medis merupakan inti dari pelayanan kesehatan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Berangkat dari pelajaran berharga yang diperoleh pasca Pandemi Covid 19 maka kehadiran telemedicine diharapkan hadir sebagai ujung tombak dari pelayanan medis. Pro dan kontra penyelenggaraan telemedicine dalam pelayanan medis merupakan suatu keniscayaan. Terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan bagi regulator dan penyelenggara telemedicine untuk meminimalisir potensi terjadinya permasalahan hukum yaitu: menjadikan standar profesi kedokteran sebagai pondasi dalam penyelenggaraan telemedicine; menjadikan informed consent sebagai tiang utama dalam penyelenggaraan telemedicine; menjadikan rahasia kedokteran sebagai bangunan utama dalam penyelenggaraan telemedicine; dan menjadikan rekam medis sebagai potret dalam penyelenggaraan telemedicine.
ADVERTISEMENT
Telemedicine dalam Lintasan Sejarah
Secara historis, hingga saat ini belum dapat dipastikan mengenai awal penerapan telemedicine dalam pelayanan medis. Karen M Zundel dalam tulisannya di sebuah jurnal pada tahun 1996 dengan judul, “Telemedicine: History, Applications, and Impact on Librarianship,” menyatakan bahwa secara konsep, telemedicine telah diperkenalkan sebelum abad ke-19. Penerapan telemedicine menggunakan teknologi informasi dan komunikasi mulai dilakukan oleh Amerika Serikat ketika Perang Sipil. Namun penerapan tersebut hanya sebatas pada penggunaan telegraf untuk memesan persediaan medis dan pendataan korban. Pada tahun 1900-an, mulai dipergunakan telepon dalam penyelenggaraan telemedicine. Pada tanggal 7 Februari 1906, Einthoven mentransmisikan penelusuran Electrocardiogram (EKG) melalui saluran telepon. Pada tahun 1940, hasil gambar radiologi dikirim antar kota di Pennsylvania melalui transmisi telepon. Kemudian pada tahun 1950-an, seorang dokter di Kanada membangun teknologi teleradiologi dan digunakan dalam praktiknya di Montreal.
ADVERTISEMENT
Karen M Zundel menyatakan bahwa telemedicine yang saat ini dipergunakan, dikembangkan pertama kali oleh program penerbangan luar angkasa berawak. National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengembangkan telemedicine untuk mengatasi hambatan waktu dan jarak dalam penelitian dan pengembangan telemetri. Pengembangan telemetri ini bertujuan agar para dokter, ilmuwan, dan insinyur NASA dapat memantau fungsi fisiologis para astronot di luar angkasa. Pengembangan telemetri oleh para ilmuwan NASA berawal dari kekhawatiran adanya efek fisiologis yang diakibatkan kondisi nol gravitasi pada astronot. Dengan adanya telemetri, NASA dapat memantau fungsi fisiologis para astronotnya secara konstan, seperti denyut jantung, tekanan darah, laju pernapasan, dan suhu. Telemetri ini dikembangkan dan menghasilkan pengembangan sistem pendukung medis, termasuk sarana untuk mendiagnosis dan mengobati keadaan darurat dalam penerbangan. Pengembangan telemedicine yang dilakukan oleh NASA menjadi sebuah titik bagi para tenaga kesehatan untuk dapat mengembangkan telemedicine dan diterapkan dalam memberikan pelayanan kesehatan di bumi, terlebih di daerah terpencil.
ADVERTISEMENT
Hamidreza Shirzadfar dalam tulisannya di sebuah jurnal pada tahun 2017 dengan judul, “The Evolution and Transformation of Telemedicine,” menyatakan bahwa telemedicine mulai berkembang secara komersil pada tahun 1950, ketika mulai adanya televisi. Telemedicine menggunakan televisi dengan sirkuit tertutup dan telekomunikasi menggunakan video diakui oleh medis dalam pengaturan klinisnya.Video interaktif pertama kali terjadi pada tahun 1964 antara Nebraska Psychiatric Institute di Omaha, Amerika Serikat, dengan Rumah Sakit Norfolk, yang berjarak 112 mil. Sistem telemedicine pertama yang menghubungkan dokter dengan pasien dilakukan pada tahun 1967, menghubungkan Klinik Medis di Bandara Logan, Boston, Amerika Serikat, dengan Rumah Sakit Umum Massachusetts. Pada masa ini, penelitian menunjukkan bahwa pengambilan diagnosis secara jarak jauh dimungkinkan secara interaktif. Selain itu, catatan medis dan data laboratorium juga berhasil ditransmisikan. Telemedicine makin berkembang pada tahun 1990-an, saat di mana internet menjadi sarana untuk berkomunikasi dan pertukaran informasi. Internet menjadi pijakan bagi perkembangan sistem telemedicine. Perkembangan telemedicine, berupa video konsultasi dan pengiriman gambar hasil diagnosis lebih cepat ditransmisikan dengan adanya internet. Telemedicine menggunakan internet dianggap lebih mudah dan murah dalam pertukaran dan penyimpanan data klinis ataupun dalam melakukan konsultasi jarak jauh.
ADVERTISEMENT
Pengertian dan Ruang Lingkup Telemedicine
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa istilah “Telemedicine” pertama kali diciptakan pada tahun 1970, yang secara harfiah bermakna “penyembuhan jarak jauh”. World Health Organization (WHO) mendefinisikan telemedicine sebagai, “The delivery of health care services, where distance is a critical factor, by all health care professionals using information and communication technologies for the exchange of valid information for diagnosis, treatment and prevention of disease and injuries, research and evaluation, and for the continuing education of health care providers, all in the interests of advancing the health of individuals and their communities.”
Jamal H. Mahar dalam tulisannya di sebuah jurnal pada tahun 2018 dengan judul, “Telemedicine: Past, Present, Future,” membagi telemedicine menjadi 2 (dua) bentuk yaitu Real Time dan Store and Forward. Real Time (synchronous telemedicine) dapat berbentuk sederhana, seperti penggunaan telepon, atau bentuk yang lebih kompleks seperti penggunaan robot bedah. Synchronous telemedicine memerlukan kehadiran kedua pihak pada waktu yang sama, untuk itu diperlukan media penghubung antara kedua belah pihak yang dapat menawarkan interaksi real time sehingga salah satu pihak bisa melakukan penanganan kesehatan. Store and Forward (asynchronous telemedicine) meliputi pengumpulan data medis dan pengiriman data medis kepada dokter (spesialis) pada waktu yang tepat untuk dilakukan evaluasi secara offline. Jenis telemedicine ini tidak memerlukan kehadiran kedua belah pihak dalam waktu yang sama. Store and Forward melibatkan transfer gambar, video, dan informasi klinis lainnya yang dapat dipantau oleh tenaga kesehatan penyedia di lain waktu.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan buku yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia pada tahun 2018, dengan judul “Telemedisin, Rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia untuk Masa Depan Digitalisasi Kesehatan di Indonesia,” secara garis besar, ragam model telemedicine meliputi:
1. Tele-expertise: telemedis yang menghubungkan antara dokter umum dengan dokter spesialis atau antara spesialis, misal interpretasi hasil radiologi, atau second opinion;
2. Tele-konsultasi: telemedis yang menghubungkan antara pasien dengan dokter;
3. Tele-monitoring : tenaga kesehatan memonitor berbagai parameter tubuh pasien secara virtual;
4. Tele-assistance: memberikan arahan kepada pasien, misal dalam proses rehabilitasi;
5. Tele-robotik: pengendalian jarak jauh terhadap sebuah robot, digunakan dalam telepatologi, atau telesurgery.
Dari garis besar aplikasi tersebut, berbagai bidang kedokteran kemudian mengembangkan ragam model aplikasi telemedicine, di antaranya adalah: teleradiologi, telekardiologi, teleneurologi, telepatologi, telehome-care, teleonkologi, telesurgery, teledermatologi, telepsikiatri, tele-ICU.
ADVERTISEMENT
Aspek Hukum dari Telemedicine
Telemedicine merupakan ujung tombak pelayanan medis. Secara hukum, ada 4 (empat) hal yang harus menjadi perhatian dalam penerapan telemedicine, yaitu: standar profesi kedokteran, informed consent, rahasia kedokteran dan rekam medis.
Standar Profesi Kedokteran sebagai Pondasi dalam Telemedicine
Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie" menjelaskan mengenai unsur-unsur dari Standar Profesi Kedokteran yang terdiri dari:
1. Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama);
2. Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis);
3. Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama);
4. Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama);
5. Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut).
ADVERTISEMENT
Berbuat secara teliti dan seksama merupakan suatu hal mutlak yang harus dipenuhi di dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine. Telemedicine antara dokter-pasien hendaknya dilakukan hanya untuk tindakan preventif, bukan kuratif. Secara konsep, pengguna tidak dapat meminta penegakan diagnosis oleh dokter melalui fitur konsultasi dalam telemedicine karena dikhawatirkan terjadi kesalahan penegakan diagnosis. Telemedicine antara tenaga kesehatan-tenaga kesehatan (misalnya: dokter umum-dokter spesialis, dokter umum-perawat, dsb – sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan) dapat dilakukan untuk tindakan kuratif dengan memperhatikan kompetensi dan kewenangan dari tenaga kesehatan serta ruang lingkup telemedicine. Unsur ketelitian dan kehati-hatian juga harus diperhatikan oleh dokter dalam penyampaian obat kepada pasien, baik berupa peresepan obat maupun rekomendasi obat.
ADVERTISEMENT
Sesuai ukuran medis, artinya telemedicine harus diselenggarakan sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Dokter maupun tenaga kesehatan yang menyelenggarakan telemedicine harus mempunyai kompetensi dan kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan melalui telemedicine. Kompetensi, diperoleh melalui jalur pendidikan (baik melalui jalur pendidikan formal maupun berbagai kursus dan kegiatan ilmiah, khususnya yang telah diakui oleh organisasi profesi). Sedangkan kewenangan merupakan perwujudan dari pengakuan negara terhadap kompetensi tenaga kesehatan. Wujud dari kewenangan dapat berupa Sertifikat Kompetensi, Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik (sebagaimana yang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan kemudian diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan). Permasalahannya, hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kewenangan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan kesehatan melalui telemedicine (misalnya, terkait dengan Surat Izin Praktik Dokter). Organisasi profesi dan Kementerian Kesehatan harus berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melalui regulasi agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui telemedicine senantiasa selaras dengan ukuran medis.
ADVERTISEMENT
Kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine dapat terpenuhi apabila standar kompetensi dan kewenangan tenaga kesehatan telah ditegakkan. Artinya, dalam perkembangannya, harus ada pengaturan mengenai ruang lingkup (batasan-batasan) kewenangan dari tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine. Kewenangan perawat tentunya berbeda dengan dengan kewenangan dokter umum, demikian juga dengan kewenangan dokter umum yang juga berbeda dengan kewenangan dokter spesialis, demikian juga dengan kewenangan antara dokter spesialis dan dokter subspesialis yang berbeda-beda. Organisasi profesi dan Konsil Kedokteran Indonesia berperan besar dalam mewujudkan regulasi yang mengatur mengenai parameter penerapan keilmuan tenaga kesehatan di dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine.
Situasi dan kondisi yang sama dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine, mengandung pengertian bahwa harus disepakati bahwa penyelenggaraan telemedicine yang dilakukan antara pasien-dokter dan tenaga kesehatan-tenaga kesehatan mempunyai aspek hukum yang berbeda. Dalam penyelenggaraan telemedicine antara pasien-dokter, terkandung sifat hubungan yang paternalistik antara pasien dan dokter. Pasien sebagai pihak yang awam dengan ilmu kedokteran dan dengan segala keterbatasan pengetahuannya, sedangkan dokter sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Kemungkinan munculnya miskomunikasi dan misdiagnosis harus dipertimbangkan di dalam hubungan ini. Apalagi, dalam kondisi keterbatasan ruang lingkup hal yang dapat diakomodir melalui telemedicine dan kondisi mayoritas pasien yang secara hukum termasuk pribadi yang depersonalisasi (orang sakit seringkali mengalami depersonalisasi, artinya secara person sudah tidak utuh lagi karena kondisi psikhis yang berbeda dengan orang yang sehat). Dalam penyelenggaraan telemedicine antara tenaga kesehatan-tenaga kesehatan, terkandung sifat hubungan yang partnership. Hubungan hukum antara dokter dengan dokter, maupun dokter dengan perawat merupakan hubungan hukum yang bersifat partner (sejajar) karena masing-masing pihak mempunyai kompetensi dan kewenangan serta independensi profesi. Telemedicine tidak dapat diselenggarakan di dalam situasi gawat darurat karena dalam kondisi gawat darurat harus dilakukan tindakan medis secara langsung dan segera dengan tujuan untuk life saving.
ADVERTISEMENT
Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis, mengandung pengertian bahwa tenaga kesehatan dituntut untuk melakukan upaya maksimal di dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah hukum menuntut tenaga kesehatan untuk melakukan upaya maksimal sesuai dengan standar (inspanningsverbintennis) dan tidak menuntut hasil yang pasti atau keberhasilan di dalam pelayanan medis melalui telemedicine (resultaatsverbintennis). Oleh karena itu, menjadi sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum apabila tenaga kesehatan memberikan garansi keberhasilan atau melakukan tindakan melampaui kompetensi dan kewenangan dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine. Selain itu, menjadi sesuatu hal yang bertentangan dengan kode etik apabila tenaga kesehatan mengiklankan mengenai keberhasilan atau prestasi dalam penyelenggaraan pelayanan medis melalui telemedicine.
ADVERTISEMENT
Informed Consent sebagai Tiang Utama dalam Telemedicine
Informed consent terdiri dari Hak atas Informasi dan Hak untuk Memberikan Persetujuan. Informed consent adalah tiang utama dalam hubungan antara dokter dan pasien. Di Indonesia terdapat peraturan yang secara khusus (lex specialis) mengatur mengenai informed consent yaitu, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, penjelasan yang disampaikan oleh dokter kepada pasien, sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, perkiraan pembiayaan. Dalam tindakan medis yang bersifat konvensional, penjelasan mengenai risiko mempunyai aspek hukum yang kuat. Risiko harus dijelaskan secara proporsional. Penjelasan yang berlebihan mengenai risiko akan menyebabkan pasien membatalkan consent yang telah diberikan. Sebaliknya, penjelasan yang terlalu meminimalisir risiko, berpotensi memunculkan gugatan wanprestasi dalam tindakan medis. Karakteristik dan aspek hukum persetujuan tindakan medis (informed consent) di dalam telemedicine tentunya berbeda dengan persetujuan tindakan medis (informed consent) di dalam tindakan medis yang sifatnya konvensional. Telemedicine antara tenaga kesehatan dengan tenaga kesehatan mengandung unsur kesejajaran (khususnya di dalam pemahaman terhadap berbagai hal teknis dalam bidang kesehatan), sedangkan telemedicine antara dokter-pasien mengandung unsur ketidaksejajaran dan keterbatasan ruang lingkup pemeriksaan melalui telemedicine (mayoritas hanya mengandalkan anamnesa, tanya jawab antara dokter dan pasien). Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, maka perlu untuk diwujudkan adanya Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Informed Consent dalam Telemedicine.
ADVERTISEMENT
Rahasia Kedokteran sebagai Bangunan Utama Telemedicine
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran merupakan peraturan yang secara lex specialis mengatur mengenai rahasia kedokteran. Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran memberikan definisi mengenai rahasia kedokteran, yaitu data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Ruang lingkup rahasia kedokteran dijelaskan di dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran yang menyatakan bahwa ruang lingkup rahasia kedokteran meliputi data dan informasi mengenai identitas pasien, kesehatan pasien (hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran), hal lain yang berkenaan dengan pasien. Rahasia kedokteran dapat bersumber dari pasien, keluarga pasien, pengantar pasien, surat keterangan konsultasi atau rujukan, atau sumber lainnya. Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur mengenai pembukaan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Begitu luasnya ruang lingkup mengenai rahasia kedokteran dan begitu dalamnya aspek hukum mengenai rahasia kedokteran menyebabkan rahasia kedokteran merupakan bangunan utama bagi profesi kedokteran dan telemedicine.
ADVERTISEMENT
Rekam Medis sebagai Potret Penyelenggaraan Telemedicine
Di Indonesia terdapat peraturan yang secara khusus (lex specialis) mengatur mengenai rekam medis, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a Tahun 1989 tentang Rekam Medik, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis, dan terakhir diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa, “Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.”
Dalam penyelenggaraan telemedicine, tentunya keberadaan rekam medis adalah mutlak karena rekam medis selain mempunyai fungsi dalam pendokumentasian, juga mempunyai nilai secara hukum. Dalam penyelenggaraan telemedicine, rekam medis yang dipergunakan adalah rekam medis elektronik. Hingga saat ini belum ada peraturan yang secara khusus mengatur mengenai rekam medis elektronik. Beberapa hal yang perlu diatur di antaranya adalah mengenai penyelenggaraan rekam medis (misalnya: para pihak dan tanggung jawab hukumnya, mekanisme pencatatan dalam rekam medis, mekanisme penyimpanan data, serta tanggung jawab hukum sarana kesehatan) dan keamanan data pasien (misalnya: ruang lingkup hak akses para pihak terhadap data pasien, mekanisme dan ruang lingkup pembukaan data pasien, perlindungan data pasien). Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, maka perlu untuk diwujudkan adanya Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Rekam Medis Elektronik.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Telemedicine merupakan keniscayaan di dalam pelayanan medis. Hal ini juga mempertimbangkan besarnya jumlah penduduk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar urutan keempat di dunia. Dari segi geografis Indonesia memiliki wilayah mencapai 2 juta km2, dengan kondisi tidak menyatu dalam sebuah daratan, melainkan terpisah-pisah menjadi 17508 pulau.
Telemedicine dibangun dengan pondasi standar profesi kedokteran, diperkuat dengan tiang utama berupa informed consent, dan dilengkapi bangunan utama berupa rahasia kedokteran. Bangunan utuh telemedicine tersebut dipotret dengan rekam medis sehingga akan menghasilkan gambaran lengkap mengenai penyelenggaraan telemedicine sesuai dengan kaedah hukum.
Semoga telemedicine dapat menjadi ujung tombak dalam pelayanan medis di Indonesia dan berkontribusi dalam peningkatan derajat kesehatan Masyarakat Indonesia.
Sumber: Universitas Airlangga, Link: https://unair.ac.id/penggunaan-telemedicine-di-fasilitas-kesehatan-selama-pandemi-covid-19/