Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
14 Ramadhan 1446 HJumat, 14 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Menyikapi Peredaran Obat Palsu Melalui Undang-Undang Kesehatan
13 Maret 2025 14:21 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai publikasinya, WHO memperkirakan bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, 1 dari 10 produk medis (termasuk obat-obatan) adalah substandard atau palsu. Hal ini berarti sekitar 10% produk medis di negara-negara ini berpotensi membahayakan pasien. Untuk kategori obat-obatan tertentu di negara-negara berkembang, angka ini bisa jauh lebih tinggi. WHO menyebutkan bahwa untuk obat antimalaria palsu, diperkirakan mencapai 30-50% di beberapa wilayah Afrika. Dalam laporan "A Study on the Public Health and Socioeconomic Impact of Substandard and Falsified Medical Products," WHO memperkirakan perdagangan obat palsu global bernilai miliaran dolar AS per tahun.
ADVERTISEMENT
BPOM rutin menggelar operasi berskala nasional seperti Operasi Stormbreaker. Operasi ini bertujuan untuk menindak tegas peredaran obat dan makanan ilegal, termasuk obat palsu, di seluruh Indonesia. Beberapa jenis obat palsu yang paling sering ditemukan dalam operasi ini.
Obat disfungsi ereksi (obat kuat pria) adalah salah satu jenis obat palsu yang paling sering ditemukan di Indonesia. Permintaan yang tinggi, harga yang mahal, dan persepsi bahwa obat ini "aman" (padahal bisa berbahaya jika palsu) menjadikannya target utama pemalsuan. Contoh: Sildenafil (Viagra palsu), Tadalafil (Cialis palsu), dan berbagai merek obat kuat ilegal lainnya yang tidak terdaftar dan seringkali mengandung bahan kimia berbahaya atau dosis yang tidak tepat.
Antibiotik palsu adalah masalah serius karena dapat menyebabkan resistensi antibiotik, kegagalan pengobatan infeksi, dan penyebaran penyakit menular yang lebih luas. Contoh: Amoxicillin palsu, Ciprofloxacin palsu, Azithromycin palsu, dan antibiotik generik lainnya. Obat penyakit gaya hidup (life style diseases), yaitu obat-obatan untuk penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol tinggi juga sering dipalsukan karena pangsa pasar yang besar dan penggunaan jangka panjang. Contoh: Metformin palsu (untuk diabetes), Amlodipine palsu (untuk hipertensi), Simvastatin palsu (untuk kolesterol). Obat pereda nyeri, terutama yang dijual bebas (OTC) dan obat keras (resep), juga sering dipalsukan. Contoh: Paracetamol palsu, Ibuprofen palsu, Tramadol palsu, dan obat pereda nyeri resep lainnya.
ADVERTISEMENT
Obat-obatan yang seharusnya hanya diperoleh dengan resep dokter dan memiliki efek psikotropika seringkali dipalsukan dan dijual secara ilegal. Contoh: Diazepam palsu, Alprazolam palsu, obat penenang palsu lainnya, dan bahkan narkotika yang dipalsukan sebagai obat. Suplemen kesehatan dan obat tradisional juga sering dipalsukan karena regulasi yang lebih longgar dibandingkan obat resep, serta kepercayaan masyarakat terhadap produk "alami". Contoh: Suplemen pelangsing palsu, suplemen penambah stamina palsu, obat tradisional ilegal yang mengandung bahan kimia obat (BKO) berbahaya.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menetapkan beberapa prinsip dasar yang menjadi landasan bagi regulasi farmasi di Indonesia. UU ini menekankan bahwa semua sediaan farmasi yang beredar di Indonesia harus memenuhi standar keamanan, khasiat (efektivitas), dan mutu (kualitas) yang ditetapkan. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat yang tidak aman atau tidak efektif. UU Kesehatan mengamanatkan pengawasan yang dilakukan secara menyeluruh, baik sebelum produk obat diizinkan beredar di pasar (pengawasan pre-market melalui proses registrasi) maupun setelah produk beredar (pengawasan post-market terhadap peredaran, produksi, dan iklan). Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang beredar tetap memenuhi standar mutu dan tidak membahayakan masyarakat. UU ini juga menekankan perlunya regulasi terhadap informasi dan promosi obat agar tidak menyesatkan masyarakat dan mendorong penggunaan obat yang rasional dan tepat. UU Kesehatan memberikan landasan hukum untuk penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran di bidang farmasi, termasuk peredaran obat ilegal dan palsu.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah kerangka hukum baru dan masih memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut (Peraturan Pemerintah dan Peraturan BPOM) agar implementasinya efektif.
Obat palsu memiliki konsekuensi kesehatan, baik secara langsung bagi individu yang mengonsumsinya, maupun secara luas bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Obat palsu mungkin tidak mengandung bahan aktif sama sekali, atau mengandung bahan aktif dalam dosis yang tidak tepat (terlalu rendah). Akibatnya, penyakit yang seharusnya diobati tidak sembuh, bahkan bisa bertambah parah karena keterlambatan penanganan yang tepat. Misalnya, seseorang yang mengonsumsi antibiotik palsu untuk infeksi bakteri tidak akan sembuh, infeksinya bisa menyebar, dan kondisi kesehatannya memburuk.
Obat palsu seringkali dibuat dengan bahan-bahan kimia yang tidak terstandardisasi, berbahaya, atau bahkan beracun. Bahan-bahan ini bisa menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan kesehatan, mulai dari reaksi alergi, kerusakan organ (seperti hati atau ginjal), gangguan sistem saraf, hingga kanker. Beberapa kasus bahkan ditemukan obat palsu yang mengandung bahan-bahan industri yang sama sekali tidak aman untuk dikonsumsi manusia. Kegagalan pengobatan akibat obat palsu, perkembangan resistensi antibiotik, dan komplikasi kesehatan akibat efek samping obat palsu akan meningkatkan beban biaya kesehatan secara signifikan. Pasien berpotensi memerlukan perawatan yang lebih lama dan lebih mahal di rumah sakit, pengobatan penyakit yang lebih kompleks, atau bahkan harus menghadapi cacat permanen akibat dampak obat palsu. Biaya ini tidak hanya ditanggung oleh individu, tetapi juga oleh sistem kesehatan dan negara secara keseluruhan melalui program jaminan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Peredaran obat palsu secara luas dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan secara keseluruhan. Masyarakat menjadi ragu dan tidak percaya lagi dengan kualitas dan keamanan obat-obatan yang tersedia, bahkan yang dijual di fasilitas kesehatan resmi seperti apotek atau rumah sakit. Hal ini bisa membuat masyarakat enggan berobat atau mencari pengobatan yang tepat, sehingga pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan masyarakat secara umum.
Untuk mengatasi peredaran obat palsu, BPOM perlu memperketat proses verifikasi data keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diajukan untuk registrasi. Hal ini termasuk audit on-site ke fasilitas produksi, validasi data uji klinis yang lebih ketat, dan penggunaan teknologi blockchain untuk memastikan keaslian data. BPOM harus memperketat pengawasan terhadap PBF sebagai distributor utama obat, termasuk audit rutin terhadap gudang penyimpanan, sistem pencatatan, dan kepatuhan terhadap standar distribusi yang baik (CDOB - Cara Distribusi Obat yang Baik). BPOM dapat menerbitkan regulasi yang mengatur penjualan obat secara online, termasuk persyaratan perizinan yang ketat bagi e-commerce farmasi, verifikasi apotek online yang sah, pembatasan jenis obat yang boleh dijual online (misalnya, obat resep harus dengan resep online yang valid), dan mekanisme pengawasan serta penindakan terhadap penjualan obat ilegal online. BPOM harus membangun kerja sama yang erat dengan platform e-commerce untuk mencegah penjualan obat ilegal dan palsu di platform mereka. Kerja sama ini bisa berupa pertukaran informasi, mekanisme take-down konten ilegal yang cepat, dan penerapan sistem verifikasi penjual obat online.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus menambah jumlah SDM pengawas BPOM dan lembaga terkait, terutama inspektur farmasi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), analis laboratorium, dan ahli IT. Meningkatkan kompetensi SDM pengawas melalui pelatihan intensif dan berkelanjutan mengenai teknik investigasi, identifikasi obat palsu, teknologi pengawasan, dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dapat menginvestasikan dana untuk modernisasi laboratorium uji obat BPOM di pusat dan daerah. Modernisasi ini meliputi pengadaan peralatan laboratorium yang canggih dan berteknologi tinggi (misalnya, High-Performance Liquid Chromatography-Mass Spectrometry (HPLC-MS), Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS), spektroskopi inframerah, dll) untuk analisis obat palsu secara cepat, akurat, dan komprehensif.
Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Komdigi perlu melakukan kampanye edukasi publik yang masif dan berkelanjutan tentang bahaya obat palsu, cara mengenali obat asli, tempat membeli obat yang aman, dan tindakan yang harus dilakukan jika mencurigai obat palsu. Kampanye ini harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat melalui berbagai media massa (televisi, radio, koran, majalah) dan media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, TikTok) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya obat palsu. Kampanye ini dapat berupa iklan layanan masyarakat, video edukasi, infografis, kuis interaktif, talkshow, dan konten menarik lainnya yang viral dan mudah dibagikan. Saluran pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat harus disediakan, baik secara online (melalui website, aplikasi mobile, media sosial BPOM) maupun offline (nomor telepon hotline, kotak pengaduan di apotek dan fasilitas kesehatan).
ADVERTISEMENT
Dengan regulasi yang lebih ketat dan standar yang tinggi, penegakan hukum yang tegas, pengawasan yang efektif dan didukung sumber daya yang memadai, serta edukasi publik yang luas dan pelibatan masyarakat aktif, diharapkan Indonesia dapat mengurangi peredaran obat palsu dan melindungi kesehatan serta keselamatan seluruh masyarakat. Implementasi rekomendasi ini membutuhkan kemauan politik yang kuat, alokasi anggaran yang memadai, koordinasi lintas sektor yang solid, dan partisipasi aktif dari semua elemen bangsa.