Konten dari Pengguna

Pentingnya Pengawasan Obat untuk Meminimalisir Sindrom Stevens-Johnson

wahyu andrianto
Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
6 Februari 2025 9:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah pengingat akan kompleksitas interaksi antara obat, tubuh manusia, dan regulasi yang mengawasinya. Perlindungan pasien dari efek samping obat yang berpotensi fatal seperti SJS, bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah melalui regulasi, tetapai juga merupakan kewajiban industri farmasi. Keseimbangan antara inovasi obat yang membawa harapan baru, dengan kehati-hatian dan transparansi informasi efek samping obat adalah kunci. Sinergi antara regulasi, praktik industri farmasi yang bertanggung jawab, dan kesadaran masyarakat adalah fondasi utama untuk mencegah terjadinya SJS dan melindungi kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah kelainan langka dan serius pada kulit serta selaput lendir yang biasanya disebabkan oleh reaksi alergi atau efek samping obat-obatan. SJS menyebabkan kulit melepuh dan mengelupas, mirip dengan luka bakar. Kondisi ini dapat memengaruhi fungsi mata, mulut, hidung, dan alat kelamin. Dalam kasus yang parah, SJS berpotensi mengancam jiwa.
SJS menyebabkan kerusakan parah pada kulit, lapisan terluar kulit (epidermis) terkelupas dari lapisan di bawahnya (dermis). Hal ini menyebabkan luka terbuka yang luas, meningkatkan risiko infeksi bakteri dan komplikasi serius lainnya. Kehilangan cairan tubuh melalui luka pada kulit dapat menyebabkan dehidrasi berat, yang dapat mengganggu fungsi organ-organ penting seperti ginjal dan jantung. Luka terbuka pada kulit sangat rentan terhadap infeksi bakteri. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan sepsis, kondisi yang mengancam jiwa. SJS dapat memengaruhi fungsi mata, menyebabkan peradangan, luka pada kornea, dan bahkan kebutaan jika tidak ditangani dengan tepat. Dalam beberapa kasus, SJS dapat memengaruhi saluran pernapasan, menyebabkan kesulitan bernapas dan bahkan gagal napas. SJS dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang, seperti jaringan parut pada kulit, gangguan penglihatan, dan masalah psikologis akibat trauma yang dialami.
ADVERTISEMENT
Penyebab utama SJS adalah reaksi alergi atau efek samping obat-obatan. Meskipun tidak semua orang yang mengonsumsi obat-obatan ini akan mengalami SJS, beberapa jenis obat memiliki risiko lebih tinggi untuk memicu reaksi ini. Beberapa golongan obat yang perlu diwaspadai adalah sebagai berikut: Antibiotik (Sulfonamida, Penisilin, Sefalosporin, Tetrasiklin), Obat Antikejang (Fenitoin, Karbamazepin, Lamotrigin, Asam Valproat, Obat), Antiinflamasi Nonsteroid (Ibuprofen, Naproxen, Piroxicam, Meloxicam), Obat Asam Urat (Allopurinol), Obat Antiretroviral (Nevirapine, Abacavir), Klorpromazin (obat antipsikotik), Kinin (obat malaria), dan beberapa jenis obat herbal serta suplemen.
Selain jenis obat, ada beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami SJS. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi terhadap obat tertentu memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami SJS jika mengonsumsi obat tersebut lagi atau obat lain yang serupa. Orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, HIV/AIDS, atau penyakit autoimun tertentu mungkin lebih rentan terhadap SJS. Beberapa orang memiliki predisposisi genetik yang membuat mereka lebih rentan terhadap reaksi obat yang menyebabkan SJS.
ADVERTISEMENT
Gejala SJS biasanya dimulai dengan demam, sakit tenggorokan, dan batuk. Beberapa hari kemudian, muncul ruam merah pada kulit yang terasa gatal dan nyeri. Ruam ini dapat berkembang menjadi lepuhan yang mudah pecah dan meninggalkan luka terbuka. Selain kulit, SJS juga dapat memengaruhi selaput lendir, seperti pada mulut, mata, hidung, dan alat kelamin. Gejala pada selaput lendir meliputi luka dan sariawan pada mulut, mata merah dan berair, luka pada hidung yang menyebabkan mimisan, luka pada alat kelamin yang menyebabkan nyeri saat buang air kecil. Dalam kasus yang parah, SJS dapat menyebabkan pengelupasan kulit yang luas, mirip dengan luka bakar. Kondisi ini sangat berbahaya dan dapat mengancam jiwa.
SJS adalah kondisi darurat medis yang memerlukan penanganan intensif di rumah sakit. Penanganan SJS adalah untuk menghentikan penggunaan obat yang dicurigai sebagai penyebab SJS, mengganti cairan tubuh yang hilang akibat pengelupasan kulit, mencegah dan mengatasi infeksi, mengurangi nyeri dan peradangan, merawat luka pada kulit dan selaput lendir.
ADVERTISEMENT
BPOM memegang peranan penting dalam siklus hidup obat, mulai dari pengembangan hingga pemantauan setelah obat beredar di pasaran. BPOM mengevaluasi data uji klinis obat baru secara cermat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa obat tersebut aman dan efektif untuk digunakan manusia. Proses ini melibatkan analisis terhadap hasil penelitian, metodologi uji klinis, serta potensi efek samping yang mungkin timbul. Selain keamanan dan efektivitas, BPOM juga menilai mutu obat. Mutu obat mencakup berbagai aspek, seperti komposisi bahan, proses produksi, stabilitas, dan kemasan. BPOM memastikan bahwa obat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. BPOM memiliki sistem farmakovigilans yang berfungsi untuk memantau keamanan obat setelah beredar di pasaran. Sistem ini mengumpulkan laporan efek samping obat dari tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat umum. BPOM kemudian menganalisis data tersebut untuk mengidentifikasi potensi risiko obat dan mengambil tindakan yang diperlukan. BPOM juga mengawasi iklan dan promosi obat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan akurat, tidak menyesatkan, dan sesuai dengan bukti ilmiah yang ada. Jika ditemukan obat yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu, atau efektivitas, BPOM dapat memerintahkan penarikan obat tersebut dari pasar. BPOM memiliki wewenang untuk menindak pelaku pelanggaran terkait obat, seperti produksi dan distribusi obat ilegal, obat palsu, atau obat yang tidak memenuhi standar mutu. Tindakan yang dapat diambil antara lain peringatan, denda, penyitaan, hingga pidana.
ADVERTISEMENT
Beberapa peraturan, terkait dengan keamanan obat di Indonesia. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi landasan utama pengaturan kesehatan di Indonesia, termasuk di dalamnya pengaturan tentang obat dan perbekalan kesehatan. UU ini menekankan pada upaya kesehatan yang komprehensif, termasuk perlindungan terhadap keamanan pasien dalam penggunaan obat. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan mengatur persyaratan keamanan, mutu, dan label obat, serta pengawasan terhadap produksi dan peredaran obat. Meskipun terbit sebelum UU No. 17 Tahun 2023, peraturan ini masih relevan dan menjadi acuan teknis dalam pengamanan sediaan farmasi. Peraturan BPOM tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) mengatur standar produksi obat yang baik untuk memastikan mutu dan keamanan obat. CPOB menjadi acuan bagi industri farmasi dalam memproduksi obat yang aman dan berkualitas. Peraturan BPOM tentang Farmakovigilans mengatur sistem farmakovigilans nasional, termasuk mekanisme pelaporan efek samping obat. Sistem ini menjadi penting dalam mengumpulkan data efek samping obat untuk dievaluasi dan ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Industri farmasi memiliki peran penting dalam mencegah Sindrom Stevens-Johnson (SJS) terkait obat. Uji klinis harus dirancang dengan cermat untuk mengidentifikasi potensi risiko SJS, termasuk pemilihan populasi yang tepat, penggunaan kelompok kontrol yang memadai, dan pemantauan efek samping yang ketat. Pertimbangkan untuk memasukkan studi farmakogenetik dalam uji klinis. Studi ini dapat membantu mengidentifikasi individu yang memiliki risiko lebih tinggi mengalami SJS akibat obat tertentu. Uji klinis harus melibatkan jumlah subjek yang cukup besar untuk mendeteksi efek samping yang jarang terjadi, seperti SJS. Informasi pada label dan kemasan obat harus jelas, lengkap, dan mudah dipahami. Informasi ini harus mencakup peringatan tentang risiko SJS, gejala yang perlu diwaspadai, dan tindakan yang harus dilakukan jika terjadi efek samping. Industri farmasi harus menyediakan informasi yang lengkap dan akurat kepada tenaga kesehatan mengenai risiko SJS terkait obat mereka. Informasi ini dapat berupa brosur, materi pelatihan, atau seminar. Industri farmasi harus memiliki sistem farmakovigilans yang efektif untuk memantau keamanan obat setelah dipasarkan. Sistem ini harus mampu mengumpulkan dan menganalisis laporan efek samping obat dari tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat umum. Industri farmasi harus proaktif dalam melaporkan dugaan kasus SJS ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Industri farmasi dapat menyelenggarakan edukasi dan pelatihan bagi tenaga kesehatan mengenai SJS, termasuk gejala, diagnosis, dan penanganannya. Industri farmasi dapat berpartisipasi dalam kampanye edukasi masyarakat mengenai risiko SJS terkait obat.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa tantangan dalam pengawasan obat-obatan. Penegakan hukum terkait pelanggaran regulasi obat perlu ditingkatkan. Kasus obat ilegal, obat palsu, dan pelanggaran lainnya masih ditemukan. Keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun anggaran, dapat menghambat efektivitas pengawasan obat. Koordinasi antar lembaga terkait, seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah, perlu ditingkatkan untuk pengawasan obat yang lebih efektif. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya melaporkan efek samping obat masih perlu ditingkatkan. Banyak kasus efek samping obat yang tidak dilaporkan, sehingga sulit untuk dievaluasi dan ditindaklanjuti.
Terjadinya kasus SJS merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari pasien, obat, maupun sistem regulasi dan praktik industri farmasi. Perlu ada upaya komprehensif dari semua pihak terkait untuk mencegah terjadinya kasus SJS, antara lain dengan meningkatkan pengawasan obat, memperbaiki sistem pelaporan efek samping, memberikan informasi obat yang lebih baik, dan melakukan uji klinis serta pemantauan pasca-pemasaran yang lebih ketat.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/tablet-obat-suplemen-vitamin-5620566/